Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 17 September 2020

CATATAN IPTEK: Wabah dan Kedaulatan Pangan (AHMAD ARIF)


DRAWING/ILHAM KHOIRI

Ahmad Arif, Wartawan Kompas

Tahun ini, cuaca sebenarnya berpihak kepada para petani dari komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Hasil panen pun berlimpah dan nyaris tak ada ledakan hama. Namun, harga jual panenan mereka anjlok hingga titik terendah.

"Harga tomat hanya Rp 1.000 per kilogram, bahkan sampai Rp 500 per kg. Cabai hanya laku Rp 5.000 per kg," kisah Gunarti (45), perempuan petani dari Sedulur Sikep, yang dihubungi pada Selasa (15/9/2020).

Panenan 3.000 pohon melon yang berlimpah. Biasanya paling sedikit menghasilkan Rp 30 juta. Namun, kali ini hanya laku Rp 9 juta. "Alasannya, pasar sepi dan pembeli tidak punya uang, sementara kami juga tidak mungkin kirim sendiri ke kota," ujarnya.

Sayur dan buah tidak bisa bertahan lama sehingga para petani, seperti Gunarti, tak memiliki pilihan lain selain menjualnya. Di banyak daerah lain, bahkan petani membuang sayur-mayur yang ditanamnya karena harga anjlok. "Di saat kahanan (situasi) seperti ini, petani tetap bekerja untuk memenuhi pangan orang kota. Katanya, mereka butuh pangan bergizi agar sehat. Tapi, harga hasil pertanian anjloknya keterlaluan," ungkapnya.‎

Kisah yang dialami Gunarti menunjukkan bagaimana pandemi Covid-19 telah mengganggu pasokan makanan di hampir setiap tingkatan. Fenomena ini menyingkap rapuhnya sistem pangan kita, yang bertumpu pada rantai pasok. Tak hanya di Indonesia, persoalan ini juga terjadi di banyak negara.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto udara hamparan area persawahan yang menghijau di Desa Cilalawi, Kecamatan Sukatani, Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu (25/7/2020). Sejumlah bantuan dan stimulus yang digulirkan pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi di sektor pertanian dinilai belum berdampak signifikan. Pemerintah perlu melindungi area dan produsen pangan demi mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Maximo Torero, Kepala Ekonom Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), menyebutkan, sistem pangan dunia berada di bawah ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya karena pandemi menghambat kemampuan orang untuk memanen, membeli, serta menjual makanan. "Ini adalah krisis pangan amat berbeda dari yang pernah kita lihat," katanya (The Guardian, 9 Juni 2020).

Laporan Program Pangan Dunia PBB (WFP) yang diluncurkan pada bulan April, setidaknya 265 juta orang berisiko kelaparan pada tahun 2020, hampir dua kali lipat pada tahun 2019. Ini terlepas dari fakta bahwa seharusnya ada cukup makanan untuk memberi makan dunia tahun ini karena hasil panen relatif berlimpah.

Segenap masalah yang kita alami saat ini memang tidak melulu disebabkan pandemi. Bahkan sebelum wabah, sistem pangan global gagal di banyak bidang. Menurut perhitungan WFP, sepanjang tahun 2019, sebanyak 135 juta orang di 55 negara menghadapi kelaparan akut, terutama karena keterbatasan akses pada pangan, selain juga dampak konflik dan perubahan iklim.

Pandemi Covid-19 berpotensi menjadi bencana besar bagi jutaan orang yang sudah bergantung pada seutas benang. Ini merupakan pukulan telak bagi jutaan orang lain yang hanya bisa makan jika mereka mendapat upah harian dan banyak di antaranya kini tidak bisa bekerja.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Personel SAR mengemas sayuran untuk dibagikan kepada warga secara gratis di kawasan pusat Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (15/9/2020). Sebanyak 1,6 ton sayur yang dibeli dari petani di kawasan pertanian Wonolelo menggunakan dana bantuan dari Bank BRI dibagikan dalam kegiatan itu oleh personel SAR Grabag.

Kekhawatiran terhadap ancaman krisis pangan juga menguat di Indonesia. Apalagi, sebelum pandemi, sistem pangan kita juga bermasalah sehingga berada dalam posisi rendah untuk Global Food Security Index (GFSI) dan Global Hunger Index (GHI) 2019. Untuk GFSI, Indonesia berada di urutan ke-62 dunia dari 113 negara. Adapun untuk GHI, Indonesia menempati urutan ke-70 dari 117 negara.

Kerentanan pangan di Indonesia terutama karena impor delapan komoditas pangan penting yang terus melaju, sementara konversi lahan pertanian kita menyusut. Padahal, wabah membuat banyak negara yang selama ini menjadi sumber impor pangan kita, misalnya Vietnam untuk beras dan Ukraina untuk gandum, membatasi ekspor.

Kerentanan pangan di Indonesia terutama karena impor delapan komoditas pangan penting yang terus melaju, sementara konversi lahan pertanian kita menyusut.

Jika krisis terus bekepanjangan, harga pangan bisa meliar dan itu bakal jadi pukulan berat bagi negara-neraga yang menggantungkan pangannya dari impor.

Situasi ini yang kemudian menjadi alasan Presiden Joko Widodo mencetak sawah baru di Kalimantan Tengah sebagai bagian dari program lumbung pangan (food estate) pada 9 Juli 2020. Mantan rival politik yang juga Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, ditunjuk mengepalai proyek, yang pernah gagal dilakukan di pengujung Orde Baru ini.

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Petani menyiram lahan di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (1/9/2020). Lahan seluas 6 hektar ini ditanami berbagai macam sayuran untuk dijual ke pasar dalam negeri hingga luar negeri.

Selain menjadi polemik dari aspek ekologi, rencana pembukaan lumbung pangan yang sebagian berada di bekas lahan gambut ini juga mengundang tanda tanya: akankah ini menjawab rapuhnya kedaulatan pangan kita?

Bagi petani kecil seperti Gunarti, lumbung pangan bukanlah jawaban atas permasalahannya selama ini. Apalagi, lumbung pangan ini menurut rencana akan dikelola badan berbasis korporasi petani dan teknologi dan tidak ada hubungannya dengan upaya mengangkat derajat petani.

Benar bahwa pandemi ini mengajarkan pentingnya berdaulat pangan, yang berarti tidak lagi tergantung pada impor. Namun, kedaulatan hanya bisa dilakukan jika para petani juga berdaulat dalam arus besar pembangunan pertanian. Kedaulatan juga mensyaratkan sistem pangan berbasis keberagaman pangan lokal.

Kompas, 16 September 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger