Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 04 September 2020

CATATAN TIMUR TENGAH: Pertarungan Menuju Sykes-Picot Baru di Timur Tengah (MUSTHAFA ABD RAHMAN)


Musthafa Abd Rahman, wartawan seniorKompas

Media-media Arab beberapa waktu terakhir kerap menurunkan tulisan para pakar tentang dinamika geopolitik di kawasan Timur Tengah yang cenderung mengarah ke semacam ingin membangun Sykes-Picot baru di kawasan itu. Sykes-Picot merujuk sebuah perjanjian pada 16 Mei 1916 yang ditandatangani diplomat senior Inggris, Mark Sykes, dan diplomat senior Perancis, Francois Georges-Picot.

Perjanjian tersebut bervisi membangun sistem negara bangsa baru di Timur Tengah sebagai pengganti dari sistem khilafah Dinasti Ottoman yang kalah dalam Perang Dunia I (1914-1918). Perjanjian itu membagi wilayah Dinasti Ottoman di Asia kecil atau Asia Barat (wilayah Timur Tengah sekarang) antara wilayah di bawah pengaruh Inggris dan Perancis, yakni dua negara raksasa saat itu.

Berdasarkan perjanjian Sykes-Picot yang kemudian disetujui Rusia saat itu, adalah Suriah dan Lebanon berada di bawah pengaruh Perancis, serta kawasan Arab Teluk, Irak, Palestina, dan Jordania di bawah pengaruh Inggris. Selama sekitar 100 tahun dari perjanjian Sykes-Picot itu, peta negara bangsa di Timur Tengah berjalan sesuai dengan perjanjian tersebut.

Namun dalam satu dekade terakhir, persisnya pasca-meletusnya musim semi Arab mulai tahun 2010-2011 dan terus berlanjut sampai saat ini, terjadi guncangan politik, keamanan, dan ekonomi yang luar biasa di dunia Arab.

Negara bangsa di dunia Arab yang tercipta dari perjanjian Sykes-Picot itu kini terancam eksistensinya dan bahkan negara bangsa di sebagian dunia Arab telah ambruk. Negara bangsa di Libya, Suriah, Lebanon, Yaman, dan Irak secara de facto sudah buyar.

AFP/OMAR HAJ KADOUR

Pandangan dari udara yang diambil pada 19 Februari 2020 menunjukkan bangunan yang hancur di Kota Ihsim, selatan Idlib, Suriah, akibat konflik berdarah di negara tersebut.

Ambruknya negara bangsa di Libya, Suriah, Lebanon, Yaman, dan Irak membuka peluang pada kekuatan-kekuatan regional ataupun internasional untuk melakukan intervensi dalam upaya berebut pengaruh di negara-negara Arab tersebut. Kekuatan regional, seperti Turki dan Iran, serta kekuatan internasional, seperti Rusia, AS, dan Perancis, kini sedang gencar melakukan intervensi untuk berebut pengaruh di negara-negara Arab itu.

Bahkan, Turki kini sering disebut oleh media-media Arab tengah berupaya membangun Dinasti Ottoman Baru. Turki yang banyak dirugikan oleh perjanjian Sykes-Picot itu ingin mengubur perjanjian yang sudah berusia lebih dari 100 tahun tersebut dan diganti dengan perjanjian baru sesuai dengan realita baru di Timur Tengah.

Perjanjian keamanan dan kemaritiman antara Turki dan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya pimpinan PM Fayez al-Sarraj pada November 2019 dianggap bagian dari upaya Turki membangun peta politik dan ekonomi baru di Timur Tengah.

Aksi Turki yang terus berusaha mengeksploitasi ladang gas di laut Tengah bagian Timur, meskipun ditentang Yunani dan Perancis, juga menunjukkan upaya Turki membangun peta politik dan ekonomi baru di kawasan Timur Tengah.

TURKISH PRESIDENCY VIA AP

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kanan) berjabat tangan dengan pemimpin Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya, Fayez al-Sarraj, dalam pertemuan di Istanbul, Turki, 12 Januari 2020. Turki dan sejumlah negara lain terus berebut pengaruh di Libya.

Turki bersikeras mendapat bagian dari kekayaan gas di Laut Tengah bagian timur yang diperkirakan 120 triliun meter kubik. Turki berdalih, wilayah Siprus Utara yang merupakan bagian dari wilayah Turki memiliki hak atas kekayaan gas di area Laut Tengah bagian timur.

Turki pun juga telah menawarkan bantuan besar-besaran kepada Lebanon untuk biaya pembangunan kembali pelabuhan di Beirut yang hancur lebur akibat ledakan dahsyat pada 4 Agustus lalu sebagai upaya menanamkan pengaruh di negara Arab berpenduduk hampir 7 juta jiwa itu.

Turki telah sukses pula menginjakkan kakinya di kawasan Arab Teluk melalui Qatar berkat aksi Turki mendukung Qatar dalam konflik Arab Teluk pasca-kuartet Arab (Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir) memblokade Qatar pada tahun 2017. Turki sejak tahun 2017 telah memiliki kamp militer dekat kota Doha untuk melindungi keluarga besar Al-Thani yang berkuasa di Qatar.

Di Suriah, Turki menduduki wilayah luas di wilayah Suriah bagian utara, termasuk Provinsi Idlib, dengan dalih memerangi milisi Kurdi dari Unit Pelindung Rakyat (YPG) yang dianggap cabang dari PKK (Partai Pekerja Kurdistan). Turki menetapkan PKK dan YPG sebagai organisasi teroris.

Libya, Lebanon, Suriah, kawasan Laut Tengah, dan kawasan Arab Teluk adalah wilayah yang berada di bawah kontrol atau pengaruh Dinasti Ottoman sebelum perjanjian Sykes-Picot.

Kini Turki dengan berhasil menginjakkan kakinya di Libya, Suriah, laut Tengah bagian Timur, dan kawasan Arab Teluk, berhasil menancapkan pengaruh langsung di sebagian wilayah yang masa lalu berada di bawah kontrol dinasti Ottoman.

AFP/AAREF WATAD

Konvoi militer Turki terlihat diparkir di dekat kota Batabu di jalan raya yang menghubungkan Idlib ke perbatasan Bab al-Hawa Suriah yang berbatasan dengan Turki pada 2 Maret 2020.

Turki tentu akan berusaha segala cara untuk mendapatkan jaminan agar kepentingannya terlindungi di Libya, Suriah, dan kawasan Laut Tengah bagian timur dalam transaksi solusi politik dengan kekuatan regional dan internasional lain di negara-negara Arab tersebut di masa mendatang. Turki tidak mungkin menarik pasukannya dari wilayah Suriah utara, Libya barat, dan Laut Tengah bagian timur, tanpa ada jaminan perlindungan kepentingannya.

Gerakan Iran juga tidak kalah fenomenalnya dibandingkan Turki. Iran melalui loyalisnya kini disebut telah menguasai empat ibu kota negara Arab, yaitu Baghdad, Beirut, Damaskus, dan Sana'a.

Iran menguasai Beirut, ibu kota Lebanon, melalui loyalisnya Hezbollah. Iran juga menguasai ibu kota Yaman, Sana'a, melalui loyalisnya kelompok al-Houthi. Iran menguasai pula ibu kota Suriah, Damaskus melalui hubungan strategisnya dengan rezim Presiden Bashar al-Assad. Iran mengontrol ibu kota Irak, Baghdad melalui kekuatan-kekuatan politik pro Iran di Irak.

Iran pun sering disebut media-media Arab ingin menghidupkan kembali dinasti Persia yang eksis sejak 550-330 sebelum Masehi (SM) hingga tahun 1925 Masehi. Dinasti Persia pada masa jayanya menguasai wilayah luas dari Afrika Utara hingga perbatasan China.

Gerakan ekspansi Turki dan Iran di berbagai wilayah di dunia Arab saat ini merupakan ancaman serius terhadap masa depan perjanjian Sykes-Picot yang notabene ciptaan Barat, persisnya Inggris dan Perancis. Kebetulan Iran, sejak reviolusi Iran tahun 1979 dan Turki sejak Presiden Recep Tayyip Erdogan berkuasa tahun 2002, cenderung melawan Barat.

AFP/AHMAD AL-RUBAYE

Tentara Irak, yang mengenakan topeng dan sarung tangan pelindung melakukan pos pemeriksaan di pintu masuk Kota Sadr timur Baghdad pada 28 Maret 2020. Iran mengontrol ibu kota Irak, Baghdad, melalui kekuatan-kekuatan politik pro Iran di Irak.

Dengan kata lain, gerakan Turki dan Iran saat ini merupakan perlawanan terhadap perjanjian Sykes-Picot, atau ingin mengganti Sykes-Picot lama dengan Sykes-Picot baru yang lebih sesuai dengan kepentingan strategis Turki dan Iran.

Kekuatan lain

Tentu kekuatan lain yang menjadi lawan politik Iran dan Turki juga ingin melindungi kepentingannya dalam peta politik, ekonomi, dan keamanan yang baru nanti.

Tindakan Uni Emirat Arab (UEA) membuka hubungan diplomatik resmi dengan Israel yang diumumkan pada 13 Agustus lalu bisa dibaca sebagai bagian dari upaya UEA melindungi kepentingannya dalam transaksi apa pun di masa mendatang. UEA dan Israel dalam kancah peta geopolitik di Timur Tengah merupakan lawan Turki dan Iran.

UEA dengan menggandeng Israel ingin memberi pesan kepada Turki dan Iran bahwa tidak akan mudah memaksakan kehendak mereka menciptakan peta politik, ekonomi, dan keamanan baru di Timur Tengah tanpa ada kompromi dengan kekuatan lain.

Pertemuan puncak segitiga antara Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi, Raja Jordania Abdullah II, dan PM Irak Mustafa Al-Kadhimi di Amman pada 25 Agustus lalu dinilai sebagai upaya membangun koalisi Arab baru melawan intervensi asing (Turki dan Iran), menyusul lumpuhnya organisasi Liga Arab.

AP PHOTO/ARIEL SCHALIT

Bendera Uni Emirat Arab terpasang di Jembatan Perdamaian, Netanya, Israel, 16 Agustus 2020, untuk merayakan normalisasi hubungan diplomatik kedua negara.

Terbangunnya koordinasi segitiga Mesir, Jordania, dan Irak, bisa dibaca pula untuk mengimbangi kekuatan Turki dan Iran, serta sekaligus sebagai daya tawar untuk melindungi kepentingan bangsa Arab dalam peta politik, ekonomi, dan keamanan baru di Timur Tengah nanti.

Maka, di luar kekuatan Turki dan Iran, kini lahir kekuatan regional baru, yaitu duet Israel-UEA dan koordinasi segitiga Mesir-Jordania-Irak, yang akan membuat semakin seru pertarungan membangun peta politik, ekonomi, dan keamanan baru di Timur Tengah.

Di luar kekuatan regional itu, ada kekuatan internasional, seperti Rusia, AS, dan Perancis, yang juga ingin kepentingan mereka terlindungi di Timur Tengah nanti.

Kompas, 4 September 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger