"Surga" bahasa itu bernama Indonesia. Negara kedua terbesar di dunia setelah Papua Niugini, dari segi jumlah bahasa yang dimiliki.
Terdapat 718 bahasa ibu yang sudah teridentifikasi, menurut data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang kita pelajari sejak kecil. Proses belajar ini berlangsung secara alamiah dan menjadi dasar sarana komunikasi serta pemahaman terhadap diri dan dunia di sekitar kita. Bahasa ibu identik bahasa daerah/bahasa lokal.
Setiap bahasa pada dasarnya istimewa. "Setiap kata dapat bernyanyi," kata Ngugi wa Thiong 'o, penulis besar Kenya yang disebut-sebut sebagai kandidat penerima Nobel Sastra. Bahasa merekam memori kolektif penuturnya pada semua aspek kehidupan.
Bahasa merekam memori kolektif penuturnya pada semua aspek kehidupan.
Bahasa tak sekadar alat komunikasi, tetapi juga mengabadikan semua aspek perkembangan peradaban dan kebudayaan penuturnya. Kearifan lokal dalam berbagai bentuk tradisi lisan ataupun tertulis, seperti pantun, cerita, dan lagu rakyat, terekam melalui bahasa.
Pada bahasa, kita juga dapat melihat jejak nalar, alur pikir, penuturnya. Kemampuan artikulasi dan pragmatik berbahasa menjadi penting sebagai cermin intelektualitas dan keadaban publik. Pada lidah orang yang tepat, dan melalui beragam medium, bahasa apa pun menjelma menjadi kekuatan yang menggugah, memengaruhi, serta membangun kebanggaan, karakter, dan martabat bangsa bersangkutan.
Bahasa nasional kita, bahasa Indonesia, adalah kisah kecemerlangan yang lain. Generasi pendahulu merintis jejak berharga dalam perkembangan bahasa Indonesia. Para pemuda progresif dan visioner pada masa lalu menghadirkan momentum sejarah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Lewat sumpah itu, bahasa Indonesia memantapkan takdirnya jadi bahasa persatuan, bahasa nasional.
Bahasa menjadi salah satu faktor penting dalam proses tumbuhnya nasionalisme Indonesia. Selama berabad-abad bahasa Indonesia, yang berakar dari bahasa Melayu, telah berperan sebagai basantara (lingua franca) yang ikut membangun ikatan emosional, kesadaran kebangsaan, dan pemahaman silang budaya yang mempertemukan berbagai etnis di Nusantara.
Di tengah keberagaman bahasa yang luar biasa, sungguh ajaib bagaimana bahasa Indonesia dapat diterima secara alamiah, tanpa paksaan, sebagai bahasa nasional. Pada banyak negara dengan latar belakang sejarah yang berbeda, penetapan bahasa nasional sering kali berjalan rumit dan menimbulkan friksi tajam, bahkan konflik.
Padahal, sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu, bukan yang terbesar jumlah penuturnya. Dari dulu sampai sekarang, bahasa ibu terbesar di Indonesia masih bahasa Jawa. Data BPS 2015, terdapat 14 bahasa yang memiliki penutur asli lebih dari 1 juta. Bahasa Jawa 84,3 juta, disusul bahasa Sunda 34 juta dan Melayu-Indonesia 13,04 juta.
Di tengah keberagaman bahasa yang luar biasa, sungguh ajaib bagaimana bahasa Indonesia dapat diterima secara alamiah, tanpa paksaan, sebagai bahasa nasional.
Lahirnya UUD 1945 kemudian memperkuat fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Sampai saat ini, bahasa Indonesia terus tumbuh sebagai bahasa modern. Jumlah penutur pun terus bertambah. Termasuk dalam 10 besar bahasa-bahasa di dunia, sejarah menarik bahasa Indonesia juga diamini Indonesianis penting, Ben Anderson.
Anderson mencatat, satu-satunya negara yang menetapkan sebuah bahasa nasional tanpa tentangan dan sekaligus merupakan lingua francaadalah Indonesia. Dalam sastra, sulit menemukan penulis penting Indonesia yang tak secara otomatis memakai bahasa Indonesia sekalipun dengan infleksi-infleksi lokal.
Artinya, bahasa Indonesia dapat mewadahi kerja-kerja kebudayaan karena memiliki daya ungkap setara bahasa berpengaruh lain. Bahasa ini tak menguntungkan kelompok tertentu. Sifat egaliter yang dimiliki bahasa Indonesia merangkul semuanya.
Kehilangan martabat
Sayangnya, sejarah gemilang bahasa Indonesia tidak menumbuhkan kesadaran dalam perilaku sebagian penuturnya sendiri. Mereka memperlakukan bahasa nasionalnya seperti "surga yang hilang". Sikap penutur yang mengabaikan, bahkan meremehkan, bahasa nasional membuat bahasa Indonesia kehilangan martabatnya.
Sikap meremehkan itu tumbuh tanpa disadari dan mungkin dapat dianalisis dengan pendekatan studi pasca-kolonial. Apalagi, kita tak hanya terhubung dengan dunia kita sendiri, tetapi keluar melampaui batas geografis dan budaya.
Kehadiran globalisasi dengan bahasa-bahasa hegemoniknya, termasuk bahasa Inggris, adalah keniscayaan tak terelakkan. Mungkin ini bisa menjelaskan mengapa bahasa Inggris diterima tanpa perlawanan sampai melampaui batas kepatutan.
"Pilihan bahasa dan penggunaan bahasa adalah inti dari definisi orang tentang diri mereka sendiri dalam kaitan dengan seluruh alam semesta," kata Ngugi dalam karya nonfiksi yang dianggap penting dalam studi pascakolonial, "Decolonizing the Mind: the Politics of Language in African Literature". Bagi Ngugi dan Kenya, bahasa Inggris bahasa kolonial.
Bagi Ngugi dan Kenya, bahasa Inggris bahasa kolonial.
Kita pun dapat mengambil sikap sama, "mendekolonisasi pikiran", dan menegakkan politik bahasa yang melindungi bahasa nasional dan bahasa daerah. Tentu, bahasa internasional, seperti bahasa Inggris, memiliki kegunaannya sendiri. Namun, dunia harus dibangun dengan semangat egaliter yang beri ruang bagi identitas nasional seperti bahasa Indonesia.
Dalam jangka panjang, sikap abai dan meremehkan bahasa nasional merugikan dan berbahaya bagi mutu SDM kita. Bahasa erat kaitannya dengan nalar dan alur pikir penuturnya.
Penutur bahasa Indonesia merasa bahasa ini sudah dikuasainya sejak anak-anak. Mereka lupa keterampilan berbahasa (membaca, berbicara, menulis, menyimak) termasuk apresiasi sastra dan pragmatik berbahasa, bukanlah bakat alamiah (given). Keterampilan ini harus terus diasah dan dipelajari.
Pengetahuan bahasa, seperti tata bahasa, juga bukan sekadar hafalan. Seyogianya, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak sekadar mengasah kognitif siswa, tetapi juga menjelma sebagai pengalaman budaya yang mengasah nalar dan kemampuan artikulasi siswa. Karena pelajaran bahasa terjebak sebatas pengetahuan teknis dan tak menjadi pengalaman budaya, dampaknya sungguh berat.
Sebagaimana tecermin dari Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) 2018. Skor kompetensi siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains pada 2018 lebih rendah ketimbang tiga tahun sebelumnya.
Karena pelajaran bahasa terjebak sebatas pengetahuan teknis dan tak menjadi pengalaman budaya, dampaknya sungguh berat.
Hasil dari pengukuran global untuk siswa berusia 15 tahun itu menunjukkan: rata-rata skor siswa Indonesia 371 dalam membaca, matematika 379, dan sains 396. Ini di bawah rerata 79 negara peserta PISA: 487 untuk kemampuan membaca dan 489 untuk matematika dan sains.
Sekali lagi, bahasa erat kaitannya dengan nalar dan kemampuan kita membangun alur berpikir yang tertib dan sistematis. Kemampuan itu akan sulit tercapai jika kita tidak benahi sikap yang abai dan meremehkan bahasa nasional sendiri.
(Liliana Muliastuti, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta; Ketua Umum Afiliasi Pengajar dan Pegiat BIPA 2019-2023)
Kompas, 3 November 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar