Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 10 November 2020

EPILOG: Misi Kejujuran pada Tubuh (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas

Andaikan Antonin Artaud tidak melihat pertunjukan drama tari calon arang dari Bali saat Exposition Coloniale Internationale di Paris tahun 1931, teori tentang teater kekejaman mungkin tidak lahir. Teori ini seolah mendaraskan bahwa kebenaran sejati berada jauh di kedalaman jiwa manusia. Realitas yang kita pindai sehari-hari tak lebih dari kebobrokan dan kepalsuan belaka. Oleh sebab itu jika hendak menemukan kebenaran hakiki, maka tubuh harus melintasi kerak-kerak jiwa untuk menemukan gumpalan instingtif yang mengandung "kesucian".

Maka dalam pentas-pentas Artaud, tubuh-tubuh aktor dibiarkan secara "liar" bergerak, merintih, dan mengeluarkan "mantra-mantra" sebagaimana sering kali kita saksikan dalam fenomena kesurupan. Boneka-boneka besar dan aneh yang selalu hadir di panggung bisa ditafsir sebagai realitas palsu yang mengelilingi hidup manusia.

The Theatre of Cruelty lahir sebagai jawaban atas teori teater tragedi dari Aristoteles yang telah berabad-abad dianut para pelaku dunia teater. Setelah itu muncul teori Brecht tentang teater epik, yang menurut Artaud, juga tidak menggiring manusia menuju kebenaran hakiki. Teater epik dianggap terlalu bertumpu pada "penghiburan" semata-mata, sementara realitas di sekitar manusia tetap bobrok dan kejam.

Apa yang diharapkan Brecht sebagai kesadaran panggung "hanya" tontonan belaka atau "permainan" semata justru menjatuhkannya pada kesadaran semu. Pertanyaan yang sering diajukan, kalau kita sudah tahu hanya "permainan", mengapa mesti menonton?

Apa yang dikerjakan Artaud dengan kembali melihat fenomena kesurupan sebagai "metode" menuju kebenaran hakiki, dalam pandangan Sigmund Freud diterjemahkan bahwa manusia sesungguhnya memiliki kecenderungan naluriah terdalam: naluri untuk hidup dan naluri untuk mati. Bahkan naluri untuk bertahan hidup terdapat pada seekor anak anjing lucu yang baru saja lahir dari rahim induknya.

Naluri untuk hidup itulah yang menggerakkannya mencari puting susu sebagai sumber kehidupan. Bukankah seekor anak burung begitu menetas dari cangkang telur akan membuka mulutnya lebar-lebar sebagai pertanda ia butuh asupan makanan untuk hidup?

KOMPAS/RIZA FATHONI

Naluri kehidupan menggerakkan anak-anak anjing yang baru lahir mencari puting susu ibunya.

Dengan demikian, aku mendapatkan semacam premis bahwa sesungguhnya Artaud ingin mengembalikan tubuh manusia "berkata-kata" secara jujur terhadap fenomena bobrok di sekitar dirinya. Ia yakin tubuh secara purbawi telah menjadi medium yang bisa dipercaya untuk memperlihatkan kejujuran. Jika lidah bisa bersilat dan kemudian menumpuk kebohongan, tubuh telah menjadi isyarat paling jujur untuk memenuhi keinginan berkomunikasi dari makhluk hidup.

Anak anjing dan anak burung telah mengikuti naluri purbawinya untuk melakukan tindakan dengan menggerakkan bagian dari tubuhnya dalam upaya mempertahankan diri. Naluri mempertahankan diri itu dalam bahasa Freud disebut sebagai life instincts. Tetapi, aku tidak yakin, apakah hewan memiliki death instincts sebagai naluri untuk mati? Dalam ajaran yang kuterima bahwauthpati, sthiti, dan pralina (lahir, hidup, dan mati) itu bekerja secara kodrati. Ia ibarat lingkaran yang menyertai kehadiran setiap makhluk hidup di dunia.‎

Kesadaran akan lingkaran yang kodrati inilah barangkali telah membimbing Artaud mengembalikan teater pada kesadaran tubuh. Ia melihat kejujuran dan terutama kebenaran telah lama berada dalam cangkang kepalsuan. Fenomena kesurupan hanyalah salah satu metode yang bisa mengantarkan manusia mendekati kebenaran hakiki.

Baiklah, kita akan berbicara pada sesuatu yang lebih konkret. Jika Artaud kembali kepada tubuh dan kemudian mengerjakan reportoar-reportoarnya menjadi pertunjukan yang aneh, perhelatan seperti Indonesian Dance Festival (IDF) yang telah digelar selama 30 tahun juga menggunakan tubuh sebagai medium untuk berkomunikasi kepada publik dunia.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Koreografer Otniel Tasman menyajikan tarian berjudul "Nosheheorit" dalam rangkaian Indonesian Dance Festival 2018 di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (7/11/2018).

Perhelatan ini semakin percaya diri untuk kembali kepada hakikat tubuh sebagai bahasa kejujuran. Para pengampunya, seperti Nungki Kusumastuti, Maria Darmaningsih, dan Ina Suryadewi, semakin yakin bahwa "dance" tidak harus diterjemahkan secara wadag sebagai tari.

"Dance" harus dikembalikan kepada pengertian tubuh hakikat, yang dalam ajaranku dibedakan menjadi tubuh material (wadag) dan tubuh spiritual (ruh). Jika kau tak juga yakin akan pengertian ini, ingat kembali ilustrasi tentang seekor anak anjing dan seekor anak burung tadi.

Hal yang menggerakkan keduanya (tubuh material) untuk mencari puting susu sebagai sumber kehidupan adalah tubuh spiritual atau ruh. Jika begitu Artaud dan fenomena "dance" lebih bekerja pada wilayah ruh atas keinginan membahasakan kejujuran dan kebenaran.

Baca juga: Jalan Lain Merawat Kesedihan

Oleh sebab itu, IDF telah menjadi konteks paling penting dalam upaya menjalin komunikasi ruh ke ruh (bisa juga dibahasakan sebagai from heart to heart) dengan publik dunia. Secara sederhana bisa kita katakan, orang-orang Indonesia ingin mengomunikasikan dari hati ke hati tentang banyak kearifan, opini publik, serta kebudayaan Indonesia pascatradisi.

Mengapa aku menyebutnya sebagai pascatradisi? Mengingat perjalanan diplomasi kebudayaan, terutama tari, selama ini telah dijalankan negara melalui pemerintah, lebih banyak mengandalkan kebudayaan tradisi.

Sejak zaman kolonial, ketika Hindia Belanda mengirimkan legong dan calon arang dari Peliatan, Ubud, disusul Orde Lama (1952-1965) sebagaimana dicatat Jennifer Lindsay, kemudian memuncak pada masa Orde Baru (1970-1998), seni tradisi senantiasa dianggap ekspresi yang mewakili Indonesia.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Pentas drama tari "Calon Arang" oleh Sanggar Gita Lestari di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (21/7/2001).

Penggunaan bahasa tradisi itu bukan tanpa pamrih. Negara dan pemerintah ingin memperlihatkan citra keberagaman serta keindahan "otentik" di mana hanya bisa ditemukan di sepotong surga yang tersisa. Surga itu hanya bisa ditemukan di Indonesia.

Citra semacam ini sesungguhnya "diamini" Barat sebagai negara-negara tujuan misi kebudayaan atas dasar pandangan mereka yang selalu menganggap Timur sebagai eksotika. Anehnya, Indonesia justru merasa beruntung karena citraan itu yang kemudian akan mendorong keberhasilan industri "baru" bernama: pariwisata.

Sudah pasti IDF 2020 yang akan berlangsung pada 7-14 November 2020 dan didahului semacam diskusi tentang tari, 2 dan 4 November 2020, jauh dari keinginan meneruskan citraan yang telah lama bercokol dalam dunia seni tari Indonesia. Meski pada awal-awal penggelarannya, IDF masih bertumpu pada pengertian bahwa tari Indonesia itu adalah langgam-langgam yang bersemayam di ranah tradisi, tetapi itu tak lain hanya titik mula keberangkatan.

Kini para pengampunya lewat Yayasan Loka Tari Nusantara secara sadar "menggunakan" bahasa tari sebagai medium untuk mengamplifikasi realitas yang kini terjadi di Indonesia. Indonesia tak berhenti dan terus-menerus bersikutat dengan kebudayaan agraris, tetapi terus bertumbuh dan berkembang sebagaimana juga bangsa-bangsa lain dunia.

Tradisi tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang eksotis dan "mata dagangan" yang seksi untuk pariwisata, tetapi tradisi adalah energi yang mengendap dalam darah manusia-manusia Indonesia.

Hebatnya, tradisi itu sebagaimana wujud wadag-nya mengandung lapisan-lapisan keberagaman yang berbeda-beda dan itulah yang menjadi spirit dari IDF. Pergeseran ini menjadi menarik kalau kita mengikuti pemikiran Artaud.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Karya berjudul "Cry Jailolo" karya Eko Supriyanto yang tampil pada Indonesian Dance Festival 2014 di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (5/11/2014).

Akhirnya, setelah lebih dari setengah abad, pandangan kita terhadap tari kembali kepada hakikat tubuh sebagai sumber dari kejujuran dan kebenaran. Bahwa tubuh spirit menjadi tujuan pertama-tama untuk kemudian dieksplorasi sebagai modal menjalankan diplomasi kebudayaan.

IDF kini telah berada di jalur mission of truth, tidak lagi sekadar perayaan keberagaman, apalagi keeksotisan Timur, yang telah lama ditinggalkan dalam pemikiran-pemikiran di Barat. Sebagai pengemban misi kebenaran, IDF harus memberi tempat kepada segala upaya eksplorasi ketubuhan tanpa harus terjebak dalam pengertian gerak sebagai tari.

Gerak-gerak instingtif sebagaimana dikumandangkan oleh Artaud harus diperlakukan sebagai rujukan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang lebih "liar" dari problematika ketubuhan di Tanah Air.

"Keliaran" tidak harus dimaknai sebagai keanehan-keanehan belaka. "Keliaran" adalah upaya-upaya untuk mendobrak kemapanan, yang telah lama mengungkung kreativitas. Cangkang kemapanan yang paling sulit dipecahkan adalah perasaan keberlimpahan bahan baku kesenian yang bersandar pada tradisi.

Pernahkah kau berpikir bahwa tradisi itu dahulu diciptakan dan kemudian diwariskan oleh para leluhurmu sebagai sebuah penemuan baru? Ia menjadi tradisi karena teruji dan oleh sebab itulah diwariskan.

Sebelum menemukan ide menciptakan patung Garuda Wisnu Kencana (GWK), perupa Nyoman Nuarta merenung selama berbulan-bulan dan kemudian bertanya: apa yang kita wariskan kepada anak cucu kelak? "Sementara kita telah mewarisi begitu banyak dari leluhur lewat tradisi," katanya kepadaku suatu saat di bawah patung GWK sewaktu belum rampung.

Pertanyaan itulah dasar dari Nyoman Nuarta untuk menciptakan GWK. Ia tak peduli siapa yang kini jadi pemilik kawasan wisata baru itu, tetapi setidaknya sebagai seniman ia telah mewariskan karya kepada peradaban manusia.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Patung Garuda Wisnu Kencana, 2018.

Pertanyaan sama bisa diajukan kepada para pengampu IDF dan juga kepada para koreografer, apa yang telah kau perbuat dan itu menjadi warisan tak ternilai harganya kepada peradaban?

Artaud telah mewariskan The Theatre of Cruelty yang berangkat dari teater tari "Calon Arang", dan kemudian dianut di berbagai belahan dunia sebagai penemuan teori baru dalam berteater, apa yang kau temukan dan wariskan kelak?

Mungkin tak perlu menjawabnya dengan argumentasi. Sebab itu hanya akan memperpanjang diskusi. Lebih baik kita percaya kepada bahasa gerak, yang akan menuntunmu kepada kata kerja.

Jadi masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh IDF agar ia menjadi intangible world heritage atau minimal menjadiintellectual legacy dari bangsa Indonesia kepada dunia. Harapannyasih begitu....

Kompasn 4 November 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger