Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 10 November 2020

PENDIDIKAN SEJARAH: Sejarah, Humaniora dan Mata Kuliah Umum Perguruan Tinggi (CW WATSON)


KOMPAS/PRIYOMBODO

Mahasiswa mendokumentasikan koleksi sejarah Museum Sumpah Pemuda di Jakarta, Selasa (27/10/2020). Museum yang terletak di jalan Kramat Raya ini ramai dikunjungi jelang peringatan hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober. Untuk menyemarakkan peringatan hari Sumpah Pemuda, pengelola museum melaksanakan upacara bendera dan menggelar pameran Sartono, sang pejuang demokrasi.

Membaca cerita di koran (Kompas, 2 Oktober 2020) bahwa Profesor Taufik Abdullah pernah kaget mendengar ocehan seorang peserta seminar yang menyatakan, "Apakah kita akan mengekspor sejarah?", dengan sindiran seolah-olah sejarah tidak penting karena tidak menghasilkan devisa, saya langsung teringat pada isi mata kuliah yang baru saya beri satu hari sebelumnya.

Kami sedang membahas buku populer dari filsuf Julian Baggini Making SensePhilosophy behind the headlines(2002) [diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judulMaking Sense Filsafat di balik headline berita (2003)]. Bab yang disoroti dalam kelas menceritakanneeds (keperluan-keperluan kita sebagai manusia dan bagaimana mengukur nilai-nilai manusiawi).

Baggini menulis (hlm 228): "Saya pernah kaget ketika seorang calon S-3 di bidang biokimia berkata pada saya—'penelitian saya bakal menolong menemui obat mengatasi penyakit kanker—apa gunanya penelitian kamu [sebagai filsuf]?"

Rasa kaget Taufiq dan Baggini berasal dari persamaan titik tolak pikiran: "Kok, lawan bicara saya tidak mengerti bahwa satu-satunya tujuan memperoleh nafkah hidup yang memadai dan menjaga kesehatan jasmani ialah supaya kita dapat menikmati kehidupan yang memberi peluang mencapai kebahagiaan, sebagai manusia utuh yang dikelilingi oleh orang yang kita cintai.

Nafkah, pendapatan, merupakan cara untuk mencapai tujuan, untuk memenuhi keperluan, termasuk keperluan jiwa, bukan tujuan sendiri. Dan apa yang kita peroleh dari filsafat dan sejarah—dan sastra—tidak lain dari suatu petunjuk bagaimana kita dapat mengetahui dan mencapai kehidupan yang sesuai dengan derajat dan martabat kita sebagai manusia.

Nafkah, pendapatan, merupakan cara untuk mencapai tujuan, untuk memenuhi keperluan, termasuk keperluan jiwa, bukan tujuan sendiri.

Percuma banyak uang kalau kita tidak tahu memakainya dengan tepat, yaitu memakainya sebagai alat mencapai bekal supaya menjadi self-fulfilled—puas dengan diri-sendiri sebab kita telah berhasil mewujudkan bakat dan jati diri sepenuhnya dan pencapaian kita diakui dan mendapat penghargaan dari orang yang pendapatnya dan rasa sayang kita kejari dan hargai.

Sebagai pengarang dua buku mengenai sejarah Indonesia modern dan sebagai dosen yang pernah mengajar sejarah Indonesia di Inggris dan di Indonesia, saya sangat percaya pada manfaat sejarah dalam menjernihkan pikiran dan mengarahkan renungan kita terhadap keadilan sosial yang diidam-idamkan.

Yang pernah dialami oleh manusia dari dulu sampai sekarang, dalam keadaan dan lingkungan hidup yang berbeda-beda dari satu masyarakat ke satu masyarakat dan dari satu zaman ke satu zaman, boleh dianggap bahan pokok untuk mengilhami sikap kita menghadapi tantangan zaman sekarang.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Siswa mengunjungi Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat, Kamis (25/10/2018). Museum ini menjadi rujukan masyarakat yang ingin melihat koleksi foto dan benda-benda yang berhubungan dengan sejarah Sumpah Pemuda 1928 serta kegiatan-kegiatan dalam pergerakan nasional kepemudaan Indonesia.

Akan tetapi, untuk mencapai tujuan pencerahan tersebut, perlu lebih dahulu kita menentukan dengan saksama, bukan saja jenis bahan yang akan disampaikan pada murid, tetapi bagaimana kita harus "membungkusnya". Barangkali inilah yang dimaksud oleh Sumardiansyah Perdana Kusuma dalam artikelnya diKompas (2/10/2020) di mana ia menulis mengenai esensialisme dan perenialisme dalam pengajaran sejarah.

Perdebatan mengenai hal-hal ini dan kaitan dengan kurikulum sejarah di sekolah, sebenarnya pernah—dan masih—melahirkan perselisihan panas dan sengit di Inggris pula, terutama sejak zaman Perdana Menteri Margaret Thatcher. Thatcher ingin supaya pelajaran Sejarah mengutamakan kejayaan Kerajaan Inggris sehingga semua murid harus menghafalkan tahun-tahun kejadian yang gemilang—dalam pandangan dia—1066, 1588, 1688, 1805, dan seterusnya.

Hampir semua sejarawan, dosen, dan guru menertawakan Thatcher karena mereka berpendapat bahwa sejarah tarikh semacam itu tidak tepat untuk zaman kini. Siswa memerlukan pandangan lebih luas mengenai apa itu sejarah. Namun, antara sejarawan sendiri ada perdebatan hangat mengenai hakikat dari "pandangan lebih luas" ini—yang ceritanya dapat dibaca dalam artikel Richard J Evans "The Wonderfulness of Us. The Tory Interpretation of History" (London Review of Books, 17 March 2011) dan dalam bukunya In Defence of History(1997).

Siswa memerlukan pandangan lebih luas mengenai apa itu sejarah.

Kemudian, katakan kita sudah mencapai permufakatan mengenai pentingnya ilmu sejarah menjadi bagian kurikulum, baik di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi, masih tinggal persoalan bagaimana kita menyampaikannya juga mengemasnya.

Dalam artikelnya yang disebut di atas, Sumardiansyah menjelaskan dengan terperinci bagaimana di Indonesia selama 70 tahun belakangan ini, sejarah, selain berdiri sebagai mata pelajaran tersendiri, pernah dimasukkan ke dalam kurikulum Kewarganegaraan, Civic, dan lain-lain.

Menurut saya, ikhtiar menjadikan ilmu sejarah sebagai bagian dari mata pelajaran lain patut disambut dengan baik karena siswa langsung menyadari hubungan masa lalu dengan masa kini. Kalau tetap kita menghendaki murid mengetahui kerangka pembentukan dan evolusi negara kita, cukup di SD.

Tapi, di tingkat SD pun kita patut memperhatikan apa yang dikatakan oleh Evans: "...history should not at any level consist of cramming pupils with facts, let alone facts selected to make up a celebratory patriotic narrative .... it [is] an academic discipline , like physics or economics, it [has] its methods just as they [do]...(Evans, London Review of Books 12 September 2019)

KOMPAS/FAJAR RAMADHAN

Pergelaran Ludruk Karya Budaya dengan Lakon "Amukti Palapa" pada Festival Chaitra Majapahit 2019 di Kemlagi, Mojokerto, Jumat (15/11/2019) malam.

Ketika masuk sekolah menengah siswa perlu dibekali dengan pandangan yang lebih mendalam, baik dalam mata pelajaran yang berjudul Sejarah maupun dalam mata pelajaran lain. Di Inggris umpamanya, sesudah tahun 9 siswa boleh memilih mau belajar sejarah sebagai mata pelajaran tersendiri atau mau memilih mata pelajaran lain. Akan tetapi, lepas dari pilihan mereka, semua siswa tahun 10 ke atas harus mempelajari general studies di mana kesadaran atas pentingnya sejarah merupakan bagian besar.

Keinsafan mengenai perlunya humaniora (di mana sejarah tergabung) ini, selalu mendorong Profesor Chaidar Alwasiyah (alm) memperjuangkan liberal arts sebagai satu mata kuliah dasar umum (MKDU) wajib yang patut diselenggarakan di semua perguruan tinggi di seluruh Indonesia, mengikut, antara lain, contoh di Korea Selatan, Jepang, Singapura, di mana liberal arts dianggap landasan dari usaha membuat mahasiswa berpikir kritis dan konstruktif.

Liberal arts yang sungguh-sungguh pula akan memenuhi tujuan bersama dalam menciptakan warga negara Indonesia yang bertanggung jawab secara sosial, berorientasi pada komunitas, dan terdidik. (Chaedar Alwasilah dan Judith Puncochar,Memberdayakan Pendidikan Tinggi di Indonesia 2016:11 )

Saya sangat menyokong pendapat beliau ini, malah jauh sebelumnya saya pernah berusaha untuk mewujudkan gagasan ini dalam mata kuliah Study of Human Societies (Ilmu Tatanan Masyarakat) yang sampai sekarang menjadi mata kuliah wajib untuk mahasiswa tahun pertama di sekolah bisnis di mana saya sekarang masih berafiliasi.

Dan tanggapan dari mahasiswa sangat antusias.

Di dalam kurikulum ini, kami membahas bersama-sama masalah-masalah tertentu, seperti maknanya nasionalisme, pembagian kuasa dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda-beda bentuknya, keadilan dan ketidakadilan, hak-hak asasi manusia, usaha mencari pendapatan di kalangan masyarakat argraris dan masyarakat industri, artinya keindahan dan lain-lain.

Dan dalam membahas topik-topik ini, mahasiswa perlu membaca bahan dari sejarah, dari filsafat, dari antropologi dan sosiologi, dari sastra, dari hukum, dari ilmu tauhid, yang kami sediakan untuk mereka. Dan tanggapan dari mahasiswa sangat antusias.

Saya tidak akan lupa sambutan dari generasi pertama yang diajar silabus baru ini. Kelihatan dengan jelas betapa bergairah mereka tiap kali masuk kelas dan ikut berdebat.

Pertukaran pendapat mengenai mata pelajaran Sejarah semestinya memaksa kita berpikir panjang mengenai apa itu sebenarnya sejarah dan jenisnya sejarah apa—sejarah sosio-ekonomi, sejarah lisan, sejarah lokal, sejarah nasional, sejarah tarikh, sejarah politik, sejarah sains, sejarah pembebasan manusia, sejarah evolusi pikiran dan lain-lain—yang patut kita masukkan ke dalam kurikulum.

Kalau sudah semufakat mengenai apa yang patut diajar, tinggal persiapan dosen dan guru dalam menguasai ilmunya, penyediaan buku dan tulisan yang tepat untuk menyuluti semangat siswa dan mahasiswa, dan kesediaan dan kesungguhan pihak pengelola pendidikan—di kalangan kementerian, di senat-senat perguruan tinggi, serta forum-forum guru dan dosen—untuk menerapkan kurikulum yang tepat demi untuk perkembangan dan pencerdasan bangsa Indonesia.

CW Watson

Adjunct Professor, Sekolah Bisnis dan Manajemen, ITB; Emeritus Professor, School of Anthropology and Conservation, University of Kent, UK

Kompas, 4 November 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger