Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 22 November 2020

CATATAN TIMUR TENGAH: Kisah Kaum Perempuan Arab Saudi Bebas dari Belenggu (MUSTHAFA ABD RAHMAN)


Musthafa Abd Rahman, wartawan seniorKompas

Di kota-kota besar Arab Saudi, seperti Riyadh, Jeddah, Dhahran, dan Dammam, kini tidak sulit lagi menemukan kendaraan yang lalu lalang di jalanan dengan kaum perempuan sebagai pengemudinya. Kota Riyadh, Jeddah, dan Dhahran sudah seperti kota Dubai, Abu Dhabi, dan Kuwait City yang tidak jarang terlihat kaum perempuannya lalu lalang di jalanan menyetir mobil.

Pada masa sebelum pandemi Covid-19, kota Riyadh, Dhahran, dan Jeddah cukup sering menggelar konser musik dan acara olahraga dengan kehadiran kaum perempuan yang cukup mencolok pada acara-acara tersebut. Namun, pandemi Covid-19 yang melanda Arab Saudi mulai Maret 2020 menghentikan semua acara yang mengundang kerumunan massa.

Seperti diketahui, Arab Saudi sejak 2018 telah melancarkan revolusi sosial  dengan mengizinkan kaum perempuan menyetir kendaraan serta menghadiri acara konser musik dan acara olahraga. Perubahan signifikan tersebut (media Arab Saudi menyebut sebagai revolusi kehidupan di Arab Saudi) adalah bagian dari gerakan mewujudkan megaproyek visi Arab Saudi 2030 yang telah diluncurkan dan disosialisasikan sejak 2016.

Sejak diluncurkan visi Arab Saudi 2030 pada 2016, sedikitnya ada 10 kebebasan yang diraih kaum perempuan Arab Saudi, yaitu (1) hak mengemudikan kendaraan; (2) hak menonton pertandingan semua cabang olahraga di stadion; (3) menduduki jabatan tinggi di pemerintahan, seperti duta besar dan menteri; (4) bebas bepergian tanpa harus didampingi keluarga lelaki; (5) hak hidup dan bepergian sendirian ke ibu kota Riyadh tanpa izin orangtuanya; (6) peningkatan tenaga kerja dari kaum perempuan yang mencapai 31,4 persen pada 2020 berbanding hanya 13,9 persen pada 2016; (7) hak untuk mengabdi di militer; (8) kota Riyadh dideklarasikan sebagai ibu kota untuk kaum perempuan 2020; (9) partisipasi kaum perempuan dalam organisasi dewan hak asasi manusia di Arab Saudi; (10) hak kaum perempuan menjabat pemimpin perusahaan negara atau swasta (CEO).

AFP/ FAYEZ NURELDINE

Rana Almimoni (30) bersiap di sirkuit Dirap, Riyadh. Sejak Juni 2018, Arab Saudi mencabut larangan perempuan untuk mengemudi. Pencabutan itu salah satu bentuk transformasi di kerajaan tersebut.

Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz dan Putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman (MBS), dalam berbagai kesempatan, selalu membanggakan tentang keberhasilan mereka mengangkat harkat kaum perempuan Arab Saudi sehingga kini posisinya relatif setara dengan kaum lelaki di negeri itu.

MBS, Kamis (12/11/2020), mengatakan, Arab Saudi dalam empat tahun terakhir ini telah menyaksikan terjadinya perubahan signifikan dalam berbagai sektor kehidupan, terutama terkait nasib kaum perempuan.

MBS mengungkapkan, dulu kaum perempuan Arab Saudi mengalami penderitaan luar biasa karena mereka tidak bisa bepergian tanpa ada izin khusus, tidak bisa datang ke acara-acara olahraga dan kebudayaan, bahkan tidak bisa pula menyetir kendaraan. Namun, lanjut MBS, kini kaum perempuan Arab Saudi memiliki kebebasan yang tidak pernah dimiliki dalam sepanjang sejarah negara ini.

MBS lalu menunjukkan data statistik tentang peningkatan luar biasa keterlibatan kaum perempuan Arab Saudi di pasar kerja pada 2020 dari hanya 17 persen kini meningkat menjadi 31 persen.

REUTERS/HAMAD I MOHAMMED

Perempuan Bahrain dan Saudi merayakan pencabutan larangan mengemudi perempuan di Arab Saudi timur, 24 Juni 2018.

Sebelumnya, Rabu, 21 Oktober lalu, Raja Salman bin Abdulaziz dalam forum kelompok komunikasi wanita Arab Saudi mengungkapkan, Arab Saudi telah melakukan reformasi luar biasa yang diakui masyarakat internasional tentang keberhasilannya mengantarkan kaum perempuan negeri ini terlibat secara penuh dalam pembangunan nasional.

Raja Salman menegaskan, kaum perempuan adalah sumber perubahan dalam masyarakat dan tanpa keterlibatan kaum perempuan tidak mungkin melakukan reformasi dalam masyarakat. Raja Salman menyebutkan, kaum perempuan adalah separuh dari tubuh masyarakat dan sejarah telah menunjukkan tentang peran besar kaum perempuan dalam melakukan perubahan serta mengambil keputusan.

Kini, sudah mulai terlihat kaum perempuanArab Saudi menduduki posisi tinggi di jajaran pemerintahan yang tidak mungkin terjadi dalam dekade sebelum ini. Sebut saja nama Amal Yahya al-Moallimi yang adalah perempuan Arab Saudi kedua yang menjabat duta besar. Al-Moallimi kini menjabat Dubes Arab Saudi untuk Norwegia.

Adapun perempuan pertama Arab Saudi yang mendapat kepercayaan menjabat duta besar dari Raja Salman adalah Reema Bint Bandar. Ia kini menjabat Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat (AS). Ada pula perempuan bernama Joumana al-Rashed yang kini menjabat CEO pada grup riset dan marketing Arab Saudi (SRMG).

AFP/FAYEZ NURELDINE

Putri Reema binti Bandar al-Saud, dalam foto yang diambil pada 24 Oktober 2018, berpidato pada konferensi Inisiatif Investasi Masa Depan di Riyadh, Arab Saudi. Pemerintah Arab Saudi, Sabtu (23/2/2019), menunjuk Putri Reema sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat menggantikan Pangeran Khalid bin Salman.

Saat ini harkat dan hak-hak kaum perempuan Arab Saudi sudah praktis setara dengan kaum perempuan di negara Arab Teluk lain. Bahkan, kaum perempuan Arab Saudi lambat laun bisa setara dengan kaum perempuan di Mesir, Lebanon, dan Tunisia yang dikenal memiliki hak-hak dan budaya paling maju di dunia Arab.

Perjuangan kaum perempuan Arab Saudi hingga menggapai hak-hak seperti saat ini tentu tidak terwujud dalam waktu sehari semalam, tetapi melalui proses perjuangan yang sangat panjang. Kaum perempuan Arab Saudi yang terdidik mulai melakukan gerakan berjuang meraih hak-hak mereka pada paruh kedua abad ke-20. Mereka saat itu menyampaikan aspirasi perjuangannya melalui karya sastra, syair-syair, dan artikel di media massa yang disebarkan di Mesir dan Lebanon. Tentu mereka tidak berani menyebarluaskan karya sastra, syair, dan artikel di Arab Saudi sendiri yang menganut sistem kekuasaan monarki mutlak.

Seperti diketahui, kaum perempuan Arab Saudi baru mendapat akses pendidikan secara massal pada akhir 1960-an. Hal itu memperlambat tumbuhnya kesadaran kaum perempuan Arab Saudi akan hak-hak mereka.

Dampak dari pengaruh perjuangan kaum perempuan Arab Saudi melalui karya sastra, syair, dan editorial di media pada akhir 1960-an dan awal 1970-an masih sangat terbatas. Mereka disebut generasi pertama kaum perempuan cendekia Arab Saudi.

AFP/FAYEZ NURELDINE

Beberapa perempuan memberikan dukungan pada pertandingan semifinal Piala Super Spanyol antara Real Madrid dan Valencia di Stadion King Abdullah Sport City, Jeddah, Arab Saudi, Kamis (9/1/2020). Sebelumnya, perempuan Arab Saudi dilarang datang ke stadion untuk melihat pertandingan sepak bola.

Maka, bisa disebut kiprah pertama kaum perempuan Arab Saudi dimulai dari dunia media, jurnalistik, dan sastra, sebelum mencapai dunia politik dan ekonomi. Pasca perang Arab-Israel tahun 1973 yang menyaksikan lonjakan luar biasa harga minyak, semakin membuka akses kaum perempuan Arab Saudi ke dunia pendidikan.

Seiring dengan kejayaan Arab Saudi akibat berkah lonjakan harga minyak saat itu, mulai terbuka pula akses kaum perempuan Arab Saudi menempuh pendidikan di Eropa dan AS. Pada gilirannya, lahir generasi baru kaum perempuan Arab Saudi yang kian sadar atas hak-hak mereka akibat interaksi mereka dengan budaya Barat saat menempuh pendidikan.

Namun, meletusnya Revolusi Iran tahun 1979 dan serangan kelompok Juhayman al-Otaybi atas Masjidil Haram tahun 1979 memaksa Arab Saudi menerapkan kebijakan konservatif dalam semua sektor kehidupan. Hal itu berdampak negatif terhadap perjuangan kaum perempuan Arab Saudi untuk meraih hak-haknya.

Pemerintah Arab Saudi kembali membatasi semua gerakan kaum perempuan dan sempat menghentikan akses kaum perempuan menempuh pendidikan di Eropa dan AS. Pasca-serangan teroris 11 September 2001 di New York dan Washington DC, Arab Saudi mulai melonggarkan kembali kebijakan konservatifnya akibat tekanan dari AS. Arab Saudi juga membuka akses lagi kepada gerakan kaum perempuan negeri itu.

REUTERS/FAISAL AL NASSER/FILE PHOTO

Seorang perempuan mengemudikan mobil di Riyadh, Arab Saudi, 22 Oktober 2013.

Pada era Raja Abdullah bin Abdulaziz (2005-2015) sesungguhnya sudah mulai dibangun ekosistem menuju kaum perempuan Arab Saudi meraih hak-hak mereka. Raja Abdullah dikenal pro-perjuangan kaum perempuan negerinya.

Namun, titik balik sejarah bagi perjuangan kaum perempuan Arab Saudi meraih hak-hak mereka terjadi pada era Raja Salman, persisnya sejak diluncurkan visi Arab Saudi 2030 pada tahun 2016 yang digalang oleh MBS.*

Kompas, 20 Novemer 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger