Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 30 November 2020

CATATAN TIMUR TENGAH: Kisah Liberalisme di Kawasan Arab Teluk (MUSTHAFA ABD RAHMAN)


Musthafa Abd Rahman, wartawan seniorKompas

Berita perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik terus bergulir dari kawasan Arab Teluk yang selama ini dikenal basis konservatisme di dunia Arab.

Kabar politik paling baru dan mengejutkan adalah pertemuan rahasia antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), Minggu (22/11/2020), di kota Neom, barat laut Arab Saudi.

Sebelumnya, langkah Uni Emirat Arab (UEA) pada Agustus dan Bahrain pada September membuka hubungan resmi dengan Israel yang dikenal dengan Abraham Accord juga mengejutkan.

Sementara dalam bidang sosial, budaya, dan ekonomi adalah visi Arab Saudi 2030 yang mengubah secara revolusioner tatanan sosial, budaya, dan ekonomi di negara itu. Arab Saudi selama ini dikenal sebagai basis ideologi wahabisme yang sangat konservatif dan puritan.

Arab Saudi sejak 2018 mengizinkan kaum perempuannya menyetir kendaraan, menghadiri konser musik dan acara olahraga. Sebelumnya, kaum perempuan Arab Saudi dikenal kaum perempuan yang paling terkungkung di dunia.

Di negara Arab Teluk lain, adalah UEA yang jauh mendahului negara Arab lainnya dalam membangun kebebasan sosial, budaya, dan ekonomi. Kota Dubai dan Abu Dhabi di UEA kini tak lebih seperti kota-kota di Eropa dan Amerika Utara.

AFP/GIUSEPPE CACACE

Pemandangan Burj Khalifa, bangunan tertinggi di dunia sejak 2009 (total tinggi dengan antena 829,8 meter), 18 Januari 2020. Burj Khalifa terletak di pusat kota Dubai, Uni Emirat Arab, sebuah kota modern layaknya kota-kota di Eropa dan Amerika.

Qatar, Kuwait, Bahrain, dan Oman kemudian menyusul UEA dengan melakukan modernisasi dalam berbagai sektor kehidupan. Jika mengunjungi Dubai, Abu Dhabi, Riyadh, Doha (Qatar), Kuwait City, Manama (Bahrain), dan Muscat (Oman) segera terlihat gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi di berbagai sudut kota.

Kota-kota besar di negara-negara Arab Teluk kini sudah sangat mirip dengan kota-kota besar di Amerika Serikat dan Kanada yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang memadati jalanan kota-kota besar di kawasan Arab Teluk menunjukkan tingkat kesibukan yang tinggi di kota-kota tersebut.

Apa yang terjadi dan terlihat di kota-kota besar di kawasan Arab Teluk saat ini adalah simbol keberhasilan ekonomi kawasan tersebut, berkat erabooming minyak sejak dekade 1970-an, kemudian berlanjut ke era keberhasilan melakukan diversifikasi ekonomi pascadekade 2000-an.

Baca juga: Kisah Kaum Perempuan Arab Saudi Bebas dari Belenggu

Era booming minyak pascaperang Arab-Israel tahun 1973 akibat melonjaknya harga minyak hingga 300 persen dari hanya 3 dollar AS menjadi 12 dollar AS per barel mengantarkan negara-negara Arab Teluk mulai mengenal ideologi kapitalisme dalam ekonomi.

Pembangunan besar-besaran melanda kota-kota di kawasan Arab Teluk. Hal itu menuntut negara-negara tersebut mengundang tenaga ahli dan buruh asing dalam jumlah besar untuk mendukung dan sekaligus pelaksana pembangunan semua sektor di kawasan itu.

AFP/KARIM SAHIB

Seorang pekerja asing mengenakan masker mendorong sepeda di sepanjang jalan di Distrik Satwa, Dubai, UEA, 6 Mei 2020. Buruh asing banyak bekerja di UEA dan sejumlah negara Arab Teluk lain.

Sejak era 1970-an itu, mulailah berbondong-bondong tenaga ahli asing dari Eropa dan AS, serta buruh kasar asing dari Asia Selatan, Afrika, dan negara Arab lain ke kawasan Arab Teluk. Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan, ada sekitar 23.000.000 warga asing di kawasan Arab Teluk. Warga asing saat ini sudah menjadi mayoritas di UEA, Qatar, Oman, Bahrain, dan Kuwait.

Bersamaan dengan itu, warga asli negara-negara Arab Teluk juga mulai berduyun-duyun menempuh pendidikan di Eropa, AS, dan Kanada. Keberadaan warga asing dalam jumlah besar dan semakin banyaknya warga asli mengenyam pendidikan di negara-negara Barat berkat booming minyak melahirkan kelas menengah baru dalam jumlah besar di kawasan Arab Teluk. Kelas menengah baru itu dengan sendirinya melahirkan budaya baru pula yang lebih liberal.

Baca juga: Arab Saudi Merancang Teknologi Kecerdasan Buatan sebagai Pengganti Minyak

Seperti sudah maklum dalam teori sosial, kapitalisme dan liberalisme ibarat dua sisi dalam satu mata uang yang tidak bisa terpisahkan satu sama lain. Itulah yang terjadi di kawasan Arab Teluk, di mana kapitalisme ekonomi lahir akibat booming minyak sekaligus dalam waktu yang sama lahir pula liberalisme akibat kapitalisme ekonomi itu.

Namun, para pakar politik dan sosial di negara-negara Arab Teluk menyebut, kapitalisme dan liberalisme akibatbooming minyak pada 1970-an itu adalah kapitalisme dan liberalisme gelombang kedua di kawasan tersebut. Sesungguhnya telah terjadi kapitalisme dan liberalisme gelombang pertama yang dimulai sejak awal abad ke-20 akibat interaksi warga Arab Teluk dengan budaya Arab di Mesir, Lebanon, Suriah, dan Irak yang lebih maju saat itu.

REUTERS/STEPHANIE MCGEHEE

Pemandangan jalanan dan pencakar langit di Kuwait City, Kuwait, 16 Maret 2020.

Selain dengan negara Arab lain yang lebih maju, warga Arab Teluk juga berinteraksi dengan Iran dan India karena kedekatan geografis. Kapitalisme dan liberalisme gelombang pertama hanya sebatas di sektor ekonomi. Warga Arab Teluk yang semula mata pencariannya bertumpu pada profesi nelayan, kemudian mengenal model ekonomi pertokoan yang diadopsi dari Mesir, Lebanon, Suriah, Irak, Iran, dan India.

Dalam birokrasi, warga Arab Teluk mengenal pula model kerja perkantoran yang juga diadopsi dari Mesir, Lebanon, Suriah, Irak, Iran, dan India. Negara Arab Teluk seperti Kuwait, Qatar, UEA, dan Oman memberi izin pula kaum perempuannya menempuh pendidikan dan bekerja meskipun sangat terbatas, terinspirasi dari kebebasan kaum perempuan di Mesir, Lebanon, Suriah, Irak, Iran, dan India.

Model ekonomi baru dalam bentuk pertokoan dan sistem birokrasi baru dalam wujud perkantoran melahirkan kelas menengah baru dan budaya baru pula. Wujud kapitalisme dan liberalisme gelombang pertama itu sangat terbatas. Kapitalisme dan liberalisme dalam wujudnya yang revolusioner baru terjadi pada gelombang kedua mulai 1970-an.

Di Kuwait, yang menerapkan model semi demokrasi dan mengenal sistem partai, wujud liberalisme terfleksi dalam kehidupan politik negara itu. Di Kuwait, kini terdapat partai politik beraliran liberal, yaitu Partai Aliansi National Demokratik (NDA) dan Forum Kuwait Demokratik (KDF). Partai politik beraliran liberal itu sebagai tandingan partai-partai politik yang beraliran islamis dan kiri sosialis di Kuwait.

AFP/YASSER AL-ZAYYAT

Sejumlah billboard di jalanan Kuwait City menampilkan para kandidat dalam pemilihan parlemen Kuwait, 22 November 2020.

Di Bahrain, yang juga mengenal sistem partai politik, terdapat pula partai politik beraliran liberal. Kini, ada dua partai politik beraliran liberal di Bahrain yang memiliki kursi di parlemen, yaitu Partai Al-Meethaq dan Partai Economists Bloc.

Di negara Arab Teluk lain yang tidak mengenal sistem partai, seperti Arab Saudi, UEA, Qatar, dan Oman, wujud liberalisme terfleksi dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya. Mal-mal di Dubai, Abu Dhabi, dan Doha kini sudah tidak ubahnya seperti di mal-mal di Jakarta. Bahkan, Dubai lebih gemerlap dan modern dibandingkan Jakarta.

Sentuhan liberalisme itu kini sudah mulai mengetuk elite penguasa di negara Arab Teluk, seperti MBS melalui visi Arab Saudi 2030 yang mendobrak tatanan hidup yang lebih memberi kebebasan di Arab Saudi. Demikian pula Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammeb bin Zayed dan penguasa Dubai, Mohammed bin Rashid al Maktoum, yang melakukan modernisasi di UEA, serta Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamd al Thani, yang menggerakkan modernisasi di Qatar.

Kompas, 27 November 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger