Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 10 November 2020

CATATAN TIMUR TENGAH: Titik Temu Kepentingan Israel-Arab Teluk dalam Pemilu AS (MUSTHAFA ABD RAHMAN)


Musthafa Abd Rahman, wartawan seniorKompas.

Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Israel dan negara-negara Arab Teluk kaya, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Arab Saudi, memiliki titik temu kepentingan dalam pemilu AS, Selasa (3/11/2020). Negara-negara itu memiliki tambatan hati yang sama, yaitu Partai Republik, yang kembali mengusung Presiden Donald Trump sebagai presiden AS periode kedua 2020-2024.

Israel dan negara-negara Arab Teluk kaya tersebut merasa sangat nyaman sekaligus diuntungkan dengan sikap sangat tegas Trump terhadap Iran. Sikap itu direfleksikan dengan aksinya yang membatalkan secara sepihak kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) tahun 2015 pada 8 Mei 2018. Trump kemudian menjatuhkan sanksi kembali atas Iran mulai November 2018  dan terus berlanjut berbagai sanksi tambahan atas negara para Mullah itu sampai saat ini.

Israel dan negara-negara Arab Teluk utama, seperti Arab Saudi, UEA, dan Bahrain, tentu sangat gembira atas sikap Trump terhadap Iran itu karena kebetulan Israel dan negara-negara tersebut sama-sama meletakkan Iran sebagai musuh utamanya saat ini dan dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan kawasan. Karena itu, negara-negara tersebut sangat berharap Trump kembali memenangi pemilu AS dan melanjutkan sikap tegasnya terhadap Iran.

Secara kebetulan, catatan sejarah dalam tiga dekade terakhir ini, adalah pada era kekuasaan Partai Republik di Gedung Putih, terjadi perang besar yang dilancarkan AS di Timur Tengah untuk melindungi keamanan kawasan Arab Teluk kaya sekaligus Israel. Pertama, Perang Teluk 1991 yang dilancarkan koalisi internasional pimpinan AS untuk mengusir Irak dari Kuwait. Presiden AS saat itu adalah George HW Bush (1989-1993) dari Partai Republik.

Negara-negara Arab Teluk kaya saat itu merasa sangat tertolong oleh sikap tegas AS terhadap Irak yang menduduki Kuwait dan mengancam keamanan kawasan Arab Teluk secara keseluruhan. AS saat itu langsung mengirim pasukan besar-besaran ke Arab Saudi untuk mencegah ancaman Irak yang telah menduduki Kuwait. AS kemudian memimpin perang mengusir Irak dari Kuwait tahun 1991.

ARSIP KOMPAS/REUTERS/PHILIPPE WOJAZER

Sebuah kendaraan lapis baja Mesir luput dari tembakan pasukan Irak dalam perang yang berkobar, Senin (25/2/1991), di wilayah Kuwait. Pasukan koalisi pimpinan AS menyerang Irak yang menginvasi Kuwait.

Kekalahan Irak dalam Perang Teluk itu sangat melegakan negara-negara Arab Teluk kaya dan Israel yang  dihujani 39 rudal Scuds oleh pasukan rezim Presiden Saddam Hussein.

Kedua, invasi AS atas Irak tahun 2003 untuk menumbangkan rezim Saddam Hussein di Baghdad. Presiden AS saat invasi AS ke Irak itu adalah Presiden George W Bush (2001-2009), putra dari George HW Bush, yang juga dari Partai Republik.

Tumbangnya Saddam Hussein di Baghdad saat itu tentu sangat menguntungkan kawasan Arab Teluk kaya dan Israel yang menganggap rezim itu sebagai ancaman utama kawasan. Israel dan negara-negara Arab Teluk kaya dua kali merasa ditolong oleh AS pada era kekuasaan Partai Republik di Gedung Putih.  Negara-negara itu kemudian juga merasa ditolong untuk ketiga kalinya saat Trump membatalkan secara sepihak kesepakatan nuklir dengan Iran.

Baca juga: Yahudi di Israel Pro-Trump, Yahudi di AS Kontra-Trump

Sejak tumbangnya rezim Saddam Hussein tahun 2003, Iran muncul menjadi ancaman utama kawasan, terutama karena Iran diketahui membangun reaktor nuklir. AS dan masyarakat internasional menuduh reaktor nuklir Iran tersebut untuk tujuan militer atau membuat bom nuklir. Iran menolak tuduhan itu dan selalu menyatakan reaktor nuklirnya untuk tujuan damai atau sipil.

Hubungan AS-Iran, yang memburuk sejak Revolusi Iran tahun 1979, semakin tegang pada era Presiden AS George W Bush setelah Iran diketahui memiliki program nuklir itu. Pada era Presiden Barack Obama (2009-2017) yang berasal dari Partai Demokrat, terjadi kesepakatan JCPOA pada 2015. Israel, Arab Saudi, UEA, dan Bahrain sebenarnya sangat kecewa atas tercapainya kesepakatan itu karena dianggap lebih menguntungkan Iran serta merugikan kepentingan Israel dan negara-negara Arab Teluk kaya itu.

KOMPAS/MOHAMMAD BAKIR

Reruntuhan gedung di Irak saat AS menginvasi Irak untuk menumbangkan rezim Saddam Hussein pada 2003.

Tindakan sepihak Presiden Trump membatalkan JCPOA disambut positif oleh Israel dan negara Arab Teluk utama karena dinilai sesuai dengan kepentingan mereka. Apalagi konflik Iran dengan Arab Saudi, UEA, dan Bahrain, selain terkait isu nuklir juga ditambah masalah ideologi Islam Syiah.

Seperti diketahui, setelah Revolusi Iran tahun 1979, segera disusul sering munculnya slogan ekspor revolusi dari Iran yang sangat menakutkan rezim monarki di negara-negara Arab Teluk kaya. Oleh karena itu, sangat wajar jika Israel dan negara-negara Arab Teluk kaya sangat memiliki kepentingan jika Trump memenangi kembali pemilu AS itu.

Baca juga: Pascanormalisasi Hubungan UEA-Israel, Negara-negara Arab Gamang

Misi dan visi Israel dan negara-negara Arab Teluk utama adalah Presiden Trump mampu membuat Iran bertekuk lutut. Bahkan, jika memungkinkan, Presiden Trump bisa menumbangkan rezim para Mullah di Teheran, seperti halnya ketika Presiden George W Bush berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein di Baghdad pada 2003.

Selain isu Iran, Israel dan negara-negara Arab Teluk kaya juga disatukan kepentingan dengan tercapainyaAbraham Accord yang dimediasi oleh Trump. Di sini segi tiga Israel, negara Arab Teluk utama dan Partai Republik yang berkuasa di Gedung Putih bertemu kepentingan di Abraham Accord.

Presiden Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memandang Abraham Accordmerupakan kemenangan kebijakan diplomasi luar negeri. Sudah tiga negara Arab, yaitu UEA, Bahrain, dan Sudan, yang tergabung dalamAbraham Accord  membuka hubungan resmi dengan Israel.

AFP/ALEX EDELMAN

Presiden AS Donald Trump berbicara kepada pemimpin Sudan dan Israel saat mengumumkan Sudan akan menormalisasi hubungan dengan Israel di Gedung Putih, Washington DC, Jumat (23/10/2020). Sudan menyusul UEA dan Bahrain yang sebelumnya telah menormalisasi hubungan dengan Israel.

Abraham Accord pasti semakin berjaya jika Trump terpilih lagi sebagai presiden AS untuk periode kedua. Diyakini akan semakin banyak negara Arab yang bersedia membuka hubungan resmi dengan Israel.

Arab Saudi, meskipun sampai sekarang menolak membuka hubungan resmi dengan Israel,  mendukung Abraham Accord dengan memberi fasilitas dibukanya wilayah udara Arab Saudi untuk penerbangan dari Israel ke UEA dan Bahrain, serta sebaliknya.

Tidak menutup kemungkinan Arab Saudi akhirnya mau membuka hubungan resmi dengan Israel atau bergabung dalam Abraham Accordjika Trump terpilih lagi sebagai presiden AS untuk periode kedua. Maka tak heran, betapa Israel dan negara-negara Arab Teluk utama kini memiliki kepentingan bersama agar Trump bisa terpilih lagi sebagai presiden AS.

Kompas, 6 November 2020



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger