Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 10 November 2020

PILPRES AS: Teringat Ketika McCain Beri Ucapan Selamat kepada Obama (SIMON SARAGIH)


HANDINING

Simon Saragih, wartawan senior Kompas


"Saudara-saudari, rakyat Amerika telah memilih! Saya juga telah menelepon Senator Barack Obama…," demikian pidato John McCain setelah pemilu 4 November 2008 di Phoenix, Arizona. McCain, tanpa menunggu perhitungan resmi, hanya berdasarkan hitung cepat (quick count), telah menyatakan kalah lalu memberi ucapan selamat kepada Obama.

McCain dan Sarah Palin adalah pasangan Republiken menghadapi Barack Obama dan Joe Biden dari Demokrat pada Pemilu 2008. Kemenangan berdasarkan hitung cepat ketika itu menunjukkan 365 suara elektoral untuk Obama-Biden dan McCain-Palin meraih 173 suara electoral. Ada total 538 suara elektoral dan minimal diperlukan 270 suara elektoral untuk kemenangan seorang capres pada pemilu AS.

Ketika pendukung McCain berteriak seakan tidak sudi menerima kekalahan, McCain memberikan sinyal dan kalimat, "Please…!" Setidaknya ada dua kali McCain menenangkan pendukungnya yang gelisah.

McCain melanjutkan, "Saya kagum pada tawaran Obama berupa harapan bagi warga…. Akan daya juangnya…. Dan, keberadaan dirinya sebagai keturunan Afrika. Inilah negara kita, memberi kesempatan kepada siapa pun."

Tak lama kemudian, Obama berpidato di markasnya di Chicago, Illinois. Obama membalas dengan elegan. "Saya telah menerima ucapan dari Senator McCain, yang telah berjuang luar biasa," kata Obama di hadapan pendukung yang bertahan di Grant Park dengan massa membeludak hingga pagi hari. Saat itu euforia menyergap AS, termasuk Kompas yang kala itu turut meliput.

AP PHOTO/WONG MAYE-E

Senator John McCain, calon kandidat presiden AS pada pemilu 2008 melawan Barack Obama. McCain langsung mengakui kekalahan dan memberi ucapan selamat kepada lawannya Obama, setelah mengetahui hasil pemilihan.

Begitu juga ketika Hillary Clinton sudah dalam tanda kekalahan dan hasil resmi belum keluar pada Pemilu 2016. Hillary menelepon Donald Trump dan menyatakan kekalahan pada 8 November 2018.

Hillary juga meminta manager kampanyenya John Podesta menjumpai pendukung yang intinya agar menerima kekalahan. Hillary kalah karena hanya meraih 232 suara elektoral, sementara Trump meraih 306 suara elektoral.

Inilah tradisi pemilu AS, tidak menunggu hasil resmi untuk mengakui kekalahan. Hal serupa terjadi pada Pemilu 2004, ketika George W bush (286) mengalahkan John Forbes Kerry (252).

Meskipun, sedikit agak berbeda dengan Pemilu 2000, ketika George W Bush menang tipis dengan 271 suara atas Al Gore dari Demokrat (267). Perhitungan suara ulang berlangsung di Florida yang tetap memberi kemenangan kepada Bush. Namun, semuanya berlangsung mulus dan pihak yang kalah memberi ucapan selamat dan dibalas dengan baik oleh pemenang.

Dalam kasus Obama versus McCain, kenangan demi kenangan baik terus berlanjut. Saat berpidato pada 1 September 2018, ketika melayat wafatnya McCain, Obama menyebutkan McCain sungguh seorang negarawan. "Kami sering berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak mengganggu komunikasi…. Dia memberi pendapat jika saya ada yang salah," kata Obama.

AP PHOTO

Calon presiden dari Republik, John McCain, yang didampingi istrinya, Cindy, bersalaman dengan calon presiden dari Demokrat, Barack Obama, yang didampingi istrinya, Michelle, seusai perdebatan di Hofstra University, Hempstead, New York, Kamis (16/10/2008).

Obama mengenang, McCain dengannya datang dari dua generasi berbeda. Implisit Obama menyebut McCain sebagai ayah, sebab Obama tidak menikmati kasih saying ayahnya, yang tidak pernah dia lihat. Dalam politik nyata, ketika Republiken menjegal banyak program Obama, McCain adalah senjatanya untuk menjinakkan kubu Republiken.

Hilangnya nuansa sportif

Pertarungan sportif, itulah yang relatif terjadi sepanjang pemilihan presiden AS. Nuansa sportif ini sirna saat Trump menjadi capres hingga setelah menjadi presiden. Semua musuh politiknya dia serang. "Crooked Hillary", "Sleepy Joe", itulah julukan Trump pada Hillary dan Joe Biden.

Itu belum cukup. Menjelang pemilu 3 November 2020, Trump sudah menabur benih kegaduhan dengan berteriak bahwa pencoblosan awal sarat atau rawan pemalsuan suara. Di tengah pandemi Covid-19, pencoblosan bisa dilakukan sebelum tanggal pemilu. Sekitar 96 juta pemilih telah mencoblos duluan sebelum 3 November 2020. Tudingan serupa dia ulangi lagi seusai pelaksanaan Pemilu 2020 ini. Hal ini membuat perhitungan suara dilakukan dengan saksama.

Menurut Profesor Michael McDonald dari University of Florida, ada sekitar 257 juta warga AS yang berusia 18 tahun atau lebih. Sekitar 240 juta warga AS layak memilih pada Pemilu 2020. Sekitar 160 juta pemilih akan mencoblos atau sekitar 67 persen, seperti dituliskan The USA Today, 22 Oktober.

Stasiun televisi AS, yang biasanya tidak enggan mengumumkan hasil hitung cepat, juga menahan diri hingga semua suara benar-benar dihitung, terutama di negara-negara bagian yang disebutbattleground, merujuk pada daerah pertarungan di mana pemilih dikenal bisa berubah pilihan (swing state).

AFP/MANDEL NGAN DAN ANGELA WEISS

Foto kombinasi calon presiden dari Demokrat, Joe Bidan, dan lawannya dari Republik, Donald Trump, yang bersaing dalam pemilihan presiden AS 2020.

Belum juga semua suara dihitung, Trump sudah menyuarakan kemenangan baginya, yang langsung mendapatkan kecaman. Perhitungan saksama semua suara mutlak dilakukan. Tujuannya, tentu, agar tidak membuka celah bagi Trump, yang sudah menyuarakan akan mengadu ke Mahkamah Agung AS.

Inilah yang menyebabkan penghitungan suara menjadi lama. Ditambah lagi, Komisi Pemilu AS masih membuka waktu hingga hari Jumat, 6 November, untuk kertas suara yang dikirimkan pemilih lewat pos.

Peraturan di negara bagian Michigan, Pennsylvania, dan Wisconsin juga memerintahkan penghitungan suara setelah jam pemilu berakhir. Sementara, perhitungan suara untuk yang sudah pencoblosan awal tidak bisa secepat suara yang dicoblos saat hari pemilu. Verifikasi kertas suara harus dipastikan prima.

Di balik itu semua, adalah tindakan saksama dalam penghitungan suara, agar tidak terjadi kegaduhan dari kubu Trump dan mungkin juga dari kubu Biden. Namun, mantan staf Trump, Myles Taylor, mengatakan, "Agak aneh dan tidak bisa kita bayangkan, hasil pemilu tidak akan bisa kita lakukan dengan cepat." Ini kejadian langka, katanya.

Kompas, 5 Nbovember 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger