Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 10 November 2020

PSIKOLOGI KOMUNIKASI: Mendengarkan Sunyi Bersuara (LIMAS SUTANTO)


Kepahlawanan adalah merombak paradigma kemanusiaan yang gonjang-ganjing, melahirkan yang baru, yang memastikan manusia dimanusiakan. Dapatkah di hari kini, tatkala komunikasi tidak berlangsung dengan memadai, ia dimaknai sebagai pengubahan paradigma relasional yang sedang berlaku, mengembalikan keberlangsungan perguliran rangkaian siklis "mendengarkan-mendeliberasi-berargumentasi" sebagai poros koneksi intersubyektif?

Lirik yang dikarang oleh Paul Simon dalam beberapa bulan, pada 1963 dan 1964, menyuarakan kritik sosial: "People talking without speaking; people hearing without listening". Mendengarkan dan berwicara merangkai komunikasi. Tetapi masyarakat berada dalam kemacetan. Asal bunyi tanpa kejujuran, nilai, dan makna. Hanya mau mendengar yang disukai. Tak mau menimbang dan merasakan apa yang diucapkan, diceritakan, oleh liyan. Tidak hendak mengembalikannya dalam sebentuk argumen yang adil, teruji oleh rasio, sains, dan fakta.

Melalui nyanyian, yang kini menjadi kuno tetapi masih bernilai aktual, Simon mengkritik masyarakat yang warganya tidak memperjuangkan komunikasi. Bersama Art Garfunkel, ia melantunkan "The Sound of Silence". Direkam pertama kali pada 1964, ternyata rekaman tak serta merta menjadi kesukaan masyarakat.

Barulah pada 1965, setelah diputar di beberapa stasiun radio di Amerika, nyanyian Simon & Garfunkel mendapatkan banyak penggemar. Bukan sebuah kebetulan. Penggemar yang kian menumpuk adalah mereka yang tersentil, diam-diam tercerahkan, dan merasa diwakili oleh kritik kedua penyanyi. Kritik itu keras, bahkan menyiratkan peringatan: Mendengarkan itu penting benar, maka mendengarkan "kesunyian bersuara" pun niscaya.

Jürgen Habermas (1981) melihat betapa untuk sebuah perdamaian, hamparan warga masyarakat perlu berkomunikasi sebagai subyek-subyek yang bebas dominasi, yang baku "mendeliberasi" dan saling "berargumentasi"— menguraikan pengalaman sembari memberikan pertimbangan yang saksama, dan mengajukan alasan yang masuk akal. Deliberasi dan argumentasi adalah undangan untuk mendengarkan.

Pasien datang ke ruang perjumpaan dengan psikoterapis. Ternyata, seputar 30 detik pertama hanya ia pakai untuk duduk saja, dalam sunyi, tanpa bicara. Jika "didengarkan", sunyi yang nonverbal ini, sebuah sikap yang mengandung suara: "Aku tak percaya padamu". Dapat pula, "Saya bosan menjalani ini semua". Dan lain-lain.

Tetapi sepeka apakah para pelayan dalam pembantuan psikis, terhadap setiap penanda komunikatif yang dipancarkan oleh pasien atau klien mereka? Bahkan mereka niscaya mendengarkan dari yang senyap. Lantas mereka yang bukanpsychological helper, apakah perlu sensitif?

John Bowlby (1969); Mary Ainsworth, dkk (1970); dan Mary Main, dkk (1990), meniti pelbagai pengalaman klinis dan penelitian empiris, menghimpun bukti-bukti yang meyakinkan betapa kebutuhan fundamental manusia yang hidup, adalah mengalami keterhubungan bermakna dengan liyan yang baginya penting. Keterhubungan terjadi dalam komunikasi, mendengarkan-mendeliberasi-berargumentasi yang timbal balik.

Bunga di Telingaku Photograph by: ARI WID

Tanpa komunikasi, hidup mengalami kemunduran, terjadi devitalisasi. Lalu manusia tak lebih dari barang, alat, yang mati; boleh dipakai, dapat dan perlu dicampakkan tatkala tidak lagi menguntungkan. Juga ketika menghalangi atau memberati, bakal disingkirkan. Ketakcukupan komunikasi menciptakan kerentanan untuk pelanggaran hak asasi manusia.

Jika memang relasi yang berarti sungguh dibutuhkan, mengapa pada suatu saat manusia enggan berkomunikasi? Ada empat alasan. Pertama, karena orang menyimpan kebohongan yang disadari, lantas ia memilih tidak berkomunikasi, menutup diri dari segala deliberasi maupun argumentasi, demi dusta tak terungkap.

Kedua, karena pengetahuan dan wawasan terbatas sekali, terjadi keterpakuan pada pikiran hampir tunggal, yang menjadi beku atau mengalami reifikasi, tak memerlukan gagasan lain yang dapat mengubah. Ketiga, karena manusia memiliki kekuasaan yang menjelmakan nafsu amat besar buat berekspansi dan mendominasi, memintasi keperluan berunding dengan orang-orang lain.

Keempat, karena konsekuensi tak terhindar dari gabungan ketiga alasan terdahulu, berupa perebakan afek curiga, paranoia, terhadap yang berbeda. Kecurigaan yang berat akan lebih condong ke annihilasi daripada komunikasi.

Gavin Ivey (2000) mengintegrasikan gagasan Sigmund Freud (1912) tentangevenly suspended attention, pemikiran Nina Coltart (1992) mengenai bare attention, konsep free-floating and poised attention dari Theodor Reik (1954), dan uraian Wifred Bion (1962) tentang reverie, melahirkan konsep mengenai bagaimana proses mental sadar dan nirsadar berperan dalam melahirkan komunikasi intersubyektif yang bebas dominasi.

KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

Ambeo Smart Headset adalah produk penyuara telinga dari Sennheiser yang menggabungkan fitur untuk mendengarkan audio sekaligus merekam suara sekelilingnya, beberapa waktu lalu. Meski baru terbatas untuk perangkat ponsel dengan sistem operasi iOS, produk ini menawarkan solusi perekaman suara tiga dimensi dengan harga terjangkau.

Yang pertama berperan dalam psike manusia yang terbuka untuk berkomunikasi, adalah kerendahhatiannya untuk mengesampingkan segala pengetahuan, keinginan, dan pengharapannya, mengambil posisi "tidak mengerti", open-minded unknowingness.

Kedudukan mental ini mendorong khazanah nirsadar bekerja seoptimal mungkin, membuka lanskap yang luas untuk menampung aneka data tanpa diskriminasi. Inilah mendengarkan; sebuah proses mental yang sesungguhnya banyak melibatkan peran khazanah nirsadar dan nilai kerendahhatian.

Hamparan lapangan pandang luas dan keterbukaan afektif lebar yang sudah tergelar itu akan memungkinkan khazanah kesadaran menyusul bekerja dengan adil, mendeliberasi hal-ihwal yang penting dan relevan dalam komunikasi dengan liyan, menyampaikan argumentasi yang menantikan penanggapan liyan. Kemudian proses nirsadar dan sadar bergulir kembali dalam menangkap dan mengolah tanggapan.

Jadi proses mental berosilasi terus antara nirsadar dan sadar, mendengarkan dan mendeliberasi/berargumentasi, merasakan dan berpikir, bergumul dalam afeksi dan bertekun dalam rasionalitas. Inilah proses komunikatif menuju saling mengerti, mutual understanding. Mungkin beginilah "musyawarah menghasilkan mufakat".

Berkomunikasi intersubyektif itu memberikan diri untuk diubah oleh yang lain dan mengubah. Betapa tidak mudahnya ketika kemapanan begitu nikmat, dan kepentingan buat mempertahankannya sedemikian harus. Tetapi pahlawan melakukannya.

(Limas Sutanto, Psikiater)


Kompas, 7 November 2020


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger