Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 26 Februari 2021

Hubungan Bilateral (MUSTAKIM)


Hubungan bilateral antarnegara diatur dalam Konvensi Vienna Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Konvensi Vienna Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler.

Menurut Konvensi Vienna, seorang WNA yang bermasalah secara hukum—seperti ditangkap polisi karena tindak kriminalitas, ditahan, diadili, meninggal, atau terlibat masalah hukum lain—pemerintah tempat WNA itu tinggal harus memberi tahu kedutaan besar dari WNA tersebut.

Termasuk kalau negara tersebut telah memberikan kewarganegaraan kepada WNA itu, paspor dikembalikan kepada negara asal melalui kedutaan besarnya. Ini mengingat Indonesia tidak menganut hukum dwikewarganegaraan, kecuali seseorang lahir dari orangtua yang berbeda kewarganegaraan. Namun, setelah umur 18 tahun, anak harus memilih ikut kewarganegaraan ibu atau bapak (UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan).

Mengikuti pemberitaan di media, ada kasus Orient Patriot Riwu Kore dan Arcandra Tahar yang memperoleh kewarganegaraan AS, serta Djoko Tjandra yang telah memiliki paspor Papua Niugini (PNG) (Kompas, 4/2/2021). Namun, baik Pemerintah AS maupun PNG tidak memberi tahu Pemerintah Indonesia. Kita harus protes keras.

Demikian juga dengan Pemerintah Inggris, seharusnya Benny Wenda tidak boleh tinggal di Inggris karena yang bersangkutan seorang narapidana dan separatis dengan mendeklarasikan diri sebagai Presiden Papua Barat.

Indonesia pernah protes kepada Pemerintah Belanda melalui KBRI di Den Haag saat polisi Belanda menangkap WNI di Bandara Schiphol, Amsterdam, akhir 1990-an. Ia akan menyelundupkan ekstasi ke Indonesia, tetapi KBRI hanya tahu dari media, bukan dari Kemlu Belanda.

Mustakim

Jl Para Duta, Pondok Duta 1, Tugu, Depok 16451

Orang Pintar

Memuat data...
Kompas/Wawan H Prabowo

Terdakwa kasus suap pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia Hadinoto Soedigno mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat (26/2/2021). Agenda sidang hari itu adalah mendengarkan keterangan para saksi. Dalam kasus ini, Hadinoto diduga menerima suap dari pendiri PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo senilai US$2,3 juta dan 477.000 euro yang dikirim ke rekening Hadinoto di Singapura. 

Selama pandemi ini berbagai ujaran muncul di media sosial. Di antaranya Robert Kiyosaki, seorang pakar duit, yang menulis buku "kesalahan orang pintar".

Ia menilai mahasiswa berprestasi akademik A yang bekerja di perusahaan miliknya dapat nilai C. Namun, menurut Kiyosaki, ada tiga kesalahan pada diri orang pintar meski tidak semua.

Pertama, tidak percaya orang lain. Karena merasa tahu, enggan menerima masukan, dan lebih percaya pada pemikiran sendiri. Ini membuat dia sulit memimpin orang.

Kedua, cenderung sombong, merasa serba tahu. Orang sombong tak disukai.

Ketiga, orang pintar terlalu perhitungan. Apa-apa dianalisis sampai mendetail, padahal peluang (usaha) bisa hilang dalam sekejap. Intuisi jarang dipakai untuk membuat keputusan cepat. Juga soft-skills.

Pertanyaannya, apa penyebab "kegagalan" orang pintar karena tidak mampu memberikan teladan, tak sanggup menggerakkan orang karena pada dasarnya soliter, tak percaya orang, sombong, dan terlalu banyak pertimbangan?

Patut dipertanyakan juga, apakah sukses itu ukurannya semata-mata soal finansial?

Positifnya, Kiyosaki mengakui orang pintar itu berintegritas, jujur, siap kerja keras, dan punya kesungguhan belajar. Mungkin saja, dalam bekerja, mereka lebih tertarik menjadi pemikir dan penemu, bukan pengelola usaha.

Sementara orang-orang yang kurang pintar secara akademis, apakah sebenarnya mereka "pintar" memanfaatkan situasi, termasuk orang pintar, seperti mengambil risiko "mencontek" dari teman yang pandai? Sayang ini tidak dijelaskan lebih lanjut.

Mungkin mereka belajar dari pengalaman, juga pintar memanipulasi untuk menyelesaikan tugas-tugas?

Bukankah KPK pernah mengatakan, kebiasaan "mencontek" bisa jadi pangkal korupsi, dalam hal pintar memanfaatkan situasi? Mungkin perlu dilihat nilai akademis para koruptor ini.

Siapa yang akan kita pilih? Orang pintar yang berintegritas tinggi atau orang yang pintar memanipulasi?

Zainoel B Biran

Ciputat Timur, Tangsel

Kompas, 26 Februari 2021

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger