Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 02 Juli 2021

ORMAS SIPIL: Pengawasan dan Hegemoni Organisasi Masyarakat Sipil (FIRDAUS CAHYADI)

Ormas sipil bukanlah entitas yang bebas nilai, melainkan medan pertarungan kekuatan ekonomi-politik untuk melakukan hegemoni. Ada atau tidak ada Civil Society Watch, ormas sipil akan saling mengawasi.

DIDIE SW

Didie SW

Beberapa hari terakhir ini di media sosial muncul perdebatan terkait pengawasan organisasi masyarakat sipil Indonesia. Perdebatan itu bermula dari unggahan salah seorang dosen Universitas Indonesia, Ade Armando, di akun media sosialnya tentang pembentukan organisasi Civil Society Watch. Menurut Ade Armando, salah satu problem Indonesia ialah perlu adanya masyarakat sipil yang berintegritas, kritis, dan kuat agar jangan gampang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu, baik pemodal maupun politik.

Argumen dasar pembentukan Civil Society Watch itu adalah semua kekuasaan perlu dikontrol. Negara perlu dikontrol, pemerintah perlu dikontrol, tapi kelompok-kelompok masyarakat sipil pun juga perlu dikontrol. Argumen itu kemudian mendapat tentangan dari sebagian aktivis organisasi masyarakat (ormas) sipil.

Sebagian aktivis justru mempertanyakan, siapa yang memberikan mandat Civil Society Watch untuk mengawasi ormas sipil? Siapa nanti yang akan mengawasi Civil Society Watch itu? Bahkan, sebagian aktivis mempertanyakan, jangan-jangan Civil Society Watch adalah kepanjangan tangan pemerintah untuk membungkam kebebasan sipil.

Untuk melihat secara jernih polemik mengenai pengawasan ormas sipil itu kita harus terlebih dahulu paham apa sejatinya yang disebut masyarakat sipil itu? Tanpa memahami apa sejatinya masyarakat sipil, perdebatan tentang perlu tidaknya pengawasan masyarakat sipil hanya akan menghasilkan debat kusir yang tak berujung.

Menurut filsuf dan teoritikus politik Italia, Antonio Gramsci, masyarakat sipil adalah ruang relasi antarkelompok yang tidak dilakukan dengan cara koersi. Pengertian koersi di sini adalah praktik memaksa dari pihak lain untuk berperilaku sesuai dengan keinginan mereka dengan menggunakan ancaman, imbalan, intimidasi, atau bentuk lain dari tekanan atau kekuatan.

Gramsci menilai, dalam masyarakat sipil, terjadi proses hegemoni oleh kelompok-kelompok dominan. Hegemoni menurut Gramsci adalah menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensus alias tanpa tindakan koersi. Melalui hegemoni inilah pihak yang dominan membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka. Proses hegemoni biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat sipil (civil society) melalui lembaga-lembaga masyarakat, seperti ormas sipil.

Ormas sipil bukan sebuah entitas yang bebas nilai. Ormas sipil adalah medan pertarungan kekuatan ekonomi-politik untuk melakukan hegemoni.

Dengan berpijak pada prespektif Gramsci ini, kita dapat melihat bahwa ormas sipil bukan sebuah entitas yang bebas nilai. Ormas sipil adalah medan pertarungan kekuatan ekonomi-politik untuk melakukan hegemoni. Dalam konteks inilah pengawasan terhadap ormas sipil justru merupakan keniscayaan. Ormas sipil yang telah terhegemoni oleh kekuasaan ekonomi-politik tertentu akan mengawasi, bahkan dalam beberapa kejadian juga berkonflik, dengan ormas sipil yang berseberangan.

Di beberapa daerah di Indonesia, misalnya, beberapa ormas sipil lingkungan hidup, yang telah terhegemoni dengan pemikiran eco-fascism, bukan lagi saling mengawasi, melainkan juga sudah terlibat konflik terbuka dengan ormas sipil lingkungan hidup lain, yang telah terhegemoni ide eco-populism.

Pemikiran pengelolaan lingkungan ala eco-fascism menempatkan kelestarian lingkungan untuk lingkungannya itu sendiri. Menurut paham tersebut, lingkungan atau sumber daya alam kalau perlu harus "dimurnikan" dari masyarakat yang telah turun-temurun mendiami kawasan tersebut demi menjaga kelestarian lingkungan/sumber daya alam itu sendiri. Sementara pemikiran eco-populism menempatkan konservasi lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat. Jargon ormas sipil yang mengadopsi pemikiran ini, yang paling terkenal, misalnya "hutan untuk rakyat", "laut untuk rakyat", dan sebagainya.

Saling mengawasi

Merujuk pada pengertian Gramsci dan praktik-praktik di lapangan, maka ada atau tidak ada Civil Society Watch, seperti yang digagas Ade Armando, ormas sipil yang berbeda pandangan akan selalu saling mengawasi. Jadi, pengawasan terhadap ormas sipil tidak perlu terlalu ditakutkan akan memperlemah ormas sipil yang pada ujungnya akan membunuh demokrasi.

Dalam konteks Indonesia, faktor yang memperlemah ormas sipil bukanlah soal pengawasan, melainkan ketergantungan pendanaan ormas sipil terhadap lembaga donor internasional. Sebagian ormas sipil Indonesia memang sudah melakukan kegiatan fundraising untuk melepas ketergantungan dari lembaga donor internasional.

Dalam konteks Indonesia, faktor yang memperlemah ormas sipil bukanlah soal pengawasan, melainkan ketergantungan pendanaan ormas sipil terhadap lembaga donor internasional.

Namun, komposisi pendanaan lembaga donor internasional masih cukup dominan dalam operasionalnya. Dengan dominasi itu, sejatinya yang selama ini secara nyata telah mempraktikkan kontrol dan pengawasan terhadap ormas sipil Indonesia adalah lembaga donor internasional.

Lembaga-lembaga donor internasional juga bukanlah sebuah institusi yang bebas nilai. Mereka membawa nilai-nilai, bahkan kepentingan ekonomi-politik yang mereka anggap benar. Melalui pendanaan yang mereka salurkan ke ormas sipil Indonesia, mereka menyebarluaskan nilai-nilai dan kepentingan ekonomi-politik mereka. Dengan kata lain, melalui pendanaan itu, mereka juga melakukan hegemoni terhadap ormas sipil yang ada di Indonesia.

Dalam konteks ini, yang perlu segera dilakukan oleh ormas sipil Indonesia bukan menakutkan adanya pengawasan pihak lain yang berseberangan, melainkan sesegera mungkin memutus ketergantungan pendanaan terhadap lembaga donor internasional. Memutus ketergantungan terhadap lembaga donor internasional bukan saja berkaitan dengan kesehatan keuangan organisasi, melainkan juga upaya counter hegemoni. Bagaimanapun konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik Indonesia berbeda dengan negara-negara tempat lembaga donor internasional itu berada.

Hegemoni lembaga-lembaga donor internasional yang terlalu dalam akan membuat ormas sipil tersebut tidak relevan dalam konteks Indonesia. Ketika ormas sipil sudah tidak relevan, maka itu adalah langkah awal bagi kematiannya. Ketika ormas sipil Indonesia berguguran, saat itulah demokrasi di negeri ini tumbang.

Firdaus CahyadiExecutive Director OneWorld-Indonesia 


Sumber: Kompas.id - 30 Juni 2021


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger