Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 13 Juni 2011

OPINI: Penegakan Hukum Campur Selera dan Kepentingan


Penegakan Hukum Campur Selera dan Kepentingan

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI

KONFLIK kepentingan penguasa dalam penegakan hukum menguatkan persepsi tentang ketidakpastian hukum. Institusi penegak hukum pun menjadi macan ompong yang hanya berani membidik dan menyergap koruptor yang lemah secara politis.

Kalau saja Hakim Syarifuddin Umar punya backing politik mumpuni, dia mungkin tak pernah bisa disentuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tetapi, karena secara politis dia lemah, dia menurut saja saat digiring ke ruang tahanan KPK karena diduga menerima suap.

Pemahaman kita tentang Konflik kepentingan kekuasaan dalam penegakan hukum diberi pendalaman oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, baru-baru ini. Usai bersilahturahmi dengan mantan Ketua KPK Antasari Azhar di ruang tahanannya, Jimly menggambarkan Antasari sebagai korban dari peradilan sesat.

Sebuah Peradilan itu dijalankan oleh orang-orang yang pandai dalam bidang hukum. Kalau orang-orang pandai di peradilan bersedia membuat skenario peradilan sesat, pasti karena ada permintaan, atau tekanan. Kalau mereka diminta at all cost membuat vonis bersalah terhadap seorang pejabat tinggi negara dengan jabatan dan kewenangan sebesar Ketua KPK, pihak yang meminta pastilah kekuatan dengan kekuasaan maha besar. Ketika Anda menggenggam kekuasaan sangat besar, semua orang tahu bahwa permintaan khusus Anda tak boleh dtolak oleh siapa pun.

Demikianlah, penanganan kasus hukum yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat (PD) M Nazaruddin, pun tidak bersih dari konflik kepentingan. Bagi sejumlah kalangan, perkembangan kasus Nazaruddin serta cara penanganannya mencerminkan banyak keanehan. Dan, dari rangkaian kejanggalan itu, sebagian publik bisa membaca adanya konflik kepentingan dalam memroses kasus hukum Nazaruddin.

Kejanggalan pertama adalah peran dan posisi yang diambil Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Publik melihat bahwa SBY ikut-ikutan memojokan kader PD bernama Nazaruddin itu. Seperti diketahui, SBY Bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menggelar jumpa pers pada.Jumat (20/5), dengan agenda gelar kasus Nazaruddin. Di forum itu, Nazaruddin justru 'dihabisi' dengan menambah kasus pemberian uang kepada Sekretaris Jenderal MK. Upaya pembelaan diri Nazaruddin bersama rekan-rekannya sesama kader PD di ruang publik seperti tersapu angin puting beliung.

Memang, di permukaan, muncul kesan tentang SBY yang sangat luar biasa. Sebagai Ketua Dewan Pembina PD, dia tidak berusaha melindungi kader PD yang bermasalah dengan hukum. Tapi, karena kasus Nazaruddin juga bernuansa politis, banyak juga yang berkesimpulan lain. Ada yang berpendapat presiden menunggangi kasus Nazaruddin untuk memperbaiki citranya. SBY ingin memberi bukti kepada publik bahwa dia tidak melakukan tebang pilih dan berharap bisa mengubah persepsi publik mengenai inkonsistensinya dalam penegakan hukum.

Akan tetapi, manuver SBY itu belum cukup kuat untuk mengubah persepsi publik. Sebab. muncul pertanyaan ini; kalau dalam kasus Nazaruddin respons SBY begitu agresif, mengapa pada kasus lain yang juga melibatkan kader PD SBY nyaris tidak memberi respons? Begitu juga pada kasus-kasus besar seperti skandal Bank Century, mafia hukum dan mafia pajak.

Karena itu, sejumlah politisi yakin bahwa ada motif lain dari SBY dalam kasus Nazaruddin. Paling masuk akal adalah motif pencitraan. Kalau benar motifnya seperti itu, SBY dinilai tidak etis.
.
Selain itu, kehadiran dan peran SBY dalam jumpa pers bersama itu juga bisa menjadi bumerang bagi SBY sendiri. Muncul pertanyaan, Kehadiran dan peran SBY di jumpa pers itu dalam kapasitas sebagai apa? Sebagai presiden atau sebagai Ketua Dewan Pembina PD? Tidak pada tempatnya jika ketua Dewan Pembina PD membahas kasus Nazaruddin di kantor presiden. Sebagai presiden pun, terlalu berlebihan jika SBY memaksakan kehadirannya di jumpa pers itu, apalagi hanya untuk mempersilahkan Ketua MK membeberkan kasus Nazaruddin.

Kejanggalan pun berlanjut hingga langkah KPK mencekal Nazaruddin. Banyak kalangan mau tak mau mempertanyakan cekal (pencegahan dan penangkalan) itu. Masalahnya, Nazaruddin Belum pernah diperiksa KPK, serta belum juga berstatus tersangka. Dasar hukum apa yang dipakai untuk pencekalan itu? Belakangan, ada penjelasan bahwa untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan sebuah kasus, KPK berwenang mencekal seseorang kendati yang bersangkutan tidak berstatus tersangka.

Tentu saja argumentasi seperti itu sulit dipahami mereka yang awam. Akibatnya, langkah KPK mencekal Nazaruddin ditafsirkan sebagai tindakan pesan sponsor. Apalagi, pelaksanaan Cekal pun tak kalah heboh. Soalnya, surat cekal Nazaruddin diterbitkan 24 Mei 2011, tetapi dia sudah berangkat ke Singapura 23 Mei 2011. Wajarlah jika publik berkesimpulan bahwa terjadi konflik kepentingan dibalik cekal Nazaruddin.

Efektivitas Cekal

Sudah lama Cekal selalu ditanggapi dengan sinisme publik karena selalu saja ada nuansa aneh. Menurut persepsi publik, banyak tindak pencekalan mencerminkan kehendak setengah hati dari pihak yang mengajukan pencekalan. Soalnya, banyak surat Cekal diterbitkan saat pihak yang dicekal sudah berada di luar negeri. Itu sebabnya, pencekalan Nazaruddin yang diminta KPK pun menjadi pergunjingan karena tidak efektif lagi.

Menurut undang-undangnya, pihak yang berwenang mengajukan Cekal kepada kementerian Hukum dan HAM adalah Menteri (perihal keimigrasian, Menteri Keuangan (urusan piutang negara), Jaksa Agung, Panglima TNI dan belakangan oleh KPK serta Mabes Polri. Jadi, bersama Menkum dan HAM, para pejabat tinggi negara itulah yang sebenarnya menjadi faktor penetu efektivitas tindak pencekalan, bergantung pada masalah atau alasan permohonan Cekal.

Selain mencantumkan identitas dan alasan Cekal, surat pencekalan pun mencantumkan jangka waktu pencekalan, dan disampaikan kepada pihak tercekal paling lambat tujuh hari sejak Cekal ditetapkan.

Cekal paling heboh tentu saja masih terhadap obligor BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Juni 2006, pemerintah mencekal delapan obligor BLBI, meliputi Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Lidya Muchtar (Bank Tamara), Omar Putirai (Bank Tamara), Adis Saputra Januardy (Bank Namura Internusa), James Januardy (Bank Namura Internusa), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat.

Publik segera bereaksi karena melihat tindak pencekalan itu sudah terlambat. Sebab, beberapa nama yang dicekal lagi-lagi diduga sudah meninggalkan Indonesia, bersembunyi di negara lain. Ada yang lama menetap di Singapura, sementara Sinivasan dinyatakan buron dan masuk ke daftar pencarian orang (DPO).

Sampai pada kasus Nunun Nurbaeti, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, tahun 2004. Nunun tak pernah mau menampakan diri dan diduga bersembunyi di Singapura. Untuk mengunci pergerakan Nunun, Kementerian Hukum dan HAM mencabut paspor Indonesia atas nama Nunun.

Dengan mencabut paspor atas namanya, Nunun hanya bisa bersembunyi di negara terakhir yang disinggahinya, dan tak bisa bepergian kemana-mana lagi. Berkoordinasi dengan pihak berwenang setempat, penegak hukum Indonesia mestinya bisa membawa kembali Nunun ke Jakarta.

Kalau strategi mencabut Paspor RI bisa mengunci gerak Nunun dan membuka kemungkinan membawa Nunun kembali ke Jakarta, mengapa strategi serupa tidak diterapkan kepada para obligor BLBI, Anggoro Widjaya, para koruptor dan tersangka pelanggar hukum lain yang diketahui melarikan diri keluar negeri? Jangan salahkan anggapan rakyat tentang adanya praktik tebang pilih, jika strategi Cabut paspor RI hanya dialamatkan kepada Nunun, tetapi tidak diberlakukan kepada begitu banyak buron lain yang diketahui melarikan diri dari Indonesia.

Tidak mungkin tebang pilih penegakan hukum dilakukan tanpa didasari kepentingan. Justru karena penegak hukum dan penguasa terperangkap dalam konflik kepentingan, penegakan hukum akhirnya dilaksanakan berdasarkan selera.

Terpeliharanya konflik kepentingan dalam penegakan hukum itu pada gilirannya menumbuhkembangkan praktik dan jasa mafia hukum dalam sistem hukum kita. Kalau sudah begitu, kepastian hukum masih sebatas angan-angan atau harapan saja. Kapan terwujudnya, tak ada yang tahu. Mari kita tanya pada rumput yang bergoyang.

Pada akhirnya, apa yang dikatakan Jimly Asshiddiqie benar; bahwasanya 13 tahun proses reformasi kita belum membuahkan hasil signifikan di bidang penegakan hukum. Tertangkapnya Hakim Sjarifuddin Umar menjadi tambahan bukti baru tentang kegagalan kita di bidang penegakan hukum.
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger