Pemberitaan di media akhir-akhir ini selalu menggambarkan mutu pendidikan dan riset yang rendah di Indonesia.
Hasil pemeringkatan berbagai lembaga internasional selalu menunjukkan peringkat perguruan tinggi Indonesia jauh lebih rendah daripada negara tetangga di ASEAN, apalagi negara maju di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat. Hasil survei internasional, seperti PISA dan TIMSS, juga menunjukkan peringkat siswa-siswi kita secara keseluruhan dalam bidang sains sangat rendah. Ini menunjukkan peringkat melek sains anak-anak Indonesia sangat rendah saat ini.
Kita memang mengalami kemajuan dalam pendidikan dan riset, tetapi negara lain lebih cepat kemajuannya sehingga Indonesia tetap saja tertinggal, bahkan makin jauh tertinggal. Dalam bidang riset, kita pun tertinggal cukup jauh: peringkatnya rendah, terutama dalam publikasi ilmiah, jumlah perolehan paten, ataupun inovasi yang memberi terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Akibat pemberitaan yang demikian, semua pihak galau dengan masa depan Indonesia yang makin suram karena melemahnya kapasitas sumber daya manusia untuk bersaing di era global. Kegalauan itu terjadi di semua lini, terutama di kalangan pengambil kebijakan dan para pelaku pendidikan dan riset.
Masyarakat umumnya tak terlalu peduli dengan kondisi pendidikan dan riset kita yang masih lemah karena perhatian mereka habis disita kondisi ekonomi yang sangat berat. Di samping itu, mereka juga tak dapat berbuat apa-apa memperbaiki kondisi pendidikan dan riset di Indonesia. Mereka masih harus berusaha keras untuk sintas. Para pengambil kebijakan serta pelaku pendidikan dan riset, karena kegalauannya, kemudian mengungkapkan berbagai kendala yang mereka hadapi. Kendala utamanya selalu ketidakcukupan anggaran pendidikan dan riset. Mereka menyatakan, negara-negara maju sangat besar anggaran pendidikan dan risetnya sehingga dapat mencapai mutu pendidikan dan riset yang tinggi. Yang dijadikan kambing hitam adalah anggaran kurang.
Anggaran tidak cukup?
Seandainya benar penyebab rendahnya pendidikan dan riset adalah kurangnya anggaran, sebenarnya solusinya sangat sederhana, yakni tingkatkan anggaran, toh pemerintah punya cadangan dana yang tak kecil dan pemerintah punya hak memberi anggaran lebih besar bagi kegiatan pendidikan dan riset. Anggaran pendidikan sudah mencapai 20 persen dari anggaran nasional sesuai konstitusi, suatu peningkatan yang cukup signifikan. Namun, belum terlihat kemajuan berarti dalam peningkatan mutu pendidikan di semua lini. Mereka tetap mengeluh anggaran belum memadai karena mereka membandingkannya dengan negara maju yang anggaran pendidikannya per kapita sangat tinggi.
Untuk riset, memang anggaran pemerintah sangat terbatas saat ini, hanya sekitar 0,08 persen dari PDB. Padahal, ukuran negara maju sekitar 3 persen dari PDB. Pemerintah menargetkan anggaran riset dinaikkan menjadi 1 persen dari PDB dalam kurun lima tahun ke depan. Pendekatan yang dilakukan pengambil kebijakan dan juga pemahaman para pelaku pendidikan dan riset sangat pragmatis, yakni tambahkan anggaran, persoalannya akan selesai. Sesederhana itukah?
Kambing hitam berikutnya yang dianggap sebagai sumber rendahnya mutu pendidikan dan riset kita adalah budaya korupsi yang menggejala di semua lini. Para pengamat pendidikan menyampaikan bahwa budaya korupsi mengakibatkan kebocoran penggunaan anggaran sehingga anggaran tak mencukupi untuk penyelenggaraan pendidikan dan riset yang bermutu. Lagi-lagi anggaran kurang menjadi kambing hitam meski diakibatkan oleh korupsi. Seandainya korupsi hilang, apakah mutu pendidikan dan riset akan meningkat?
Tak sesuai
Dari pembahasan di atas tampak jelas persoalan pendidikan dan riset bukan karena kurangnya anggaran, melainkan sistem keuangan negara yang berlaku di Indonesia tidak sesuai dengan sifat kegiatan pendidikan dan riset. Sistem yang ada saat ini tidak mampu meningkatkan mutu pendidikan dan riset karena tidak ada keterkaitan langsung antara besarnya anggaran dan mutu pendidikan dan riset yang dihasilkan. Dengan sistem keuangan negara yang dianut saat ini, seberapa pun anggaran pendidikan dan riset tidak akan mampu meningkatkan mutu pendidikan dan riset secara signifikan. Malah, akan terjadi kebocoran dan korupsi yang lebih besar atau pemborosan karena pembelanjaan yang berlebihan bagi hal-hal tidak terkait dengan peningkatan mutu pendidikan dan riset.
Sistem yang dianut saat ini tidak berbasis kepada capaian kinerja. Artinya, tidak ada insentif atau disinsentif bagi institusi pelaku pendidikan dan riset apabila berhasil atau gagal menjalankan amanahnya meningkatkan mutu. Sistem yang ada saat ini menekankan pada penyerapan anggaran yang tertib administratif setiap tahun anggaran.
Anggaran disusun pemerintah bersama DPR untuk setiap tahun anggaran secara rinci dalam mata anggaran baku, yaitu anggaran rutin yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan, lain-lain; dan anggaran pembangunan yang wujudnya adalah pembangunan fisik. Tahun anggaran secara resmi dimulai tanggal 1 Januari tahun berjalan, tetapi pada kenyataannya anggaran baru tersedia sekitar April karena harus melalui berbagai macam revisi akibat adanya perubahan asumsi dan sebagainya. Pada pertengahan Desember tahun berjalan, institusi harus menyelesaikan pertanggungjawaban keuangan beserta bukti-bukti administratif yang sah.
Pembakuan mata anggaran yang demikian dan mekanisme penganggaran seperti di atas hanya cocok untuk proyek pembangunan fisik yang jelas terukur volume, spesifikasi, standar, prosedur, penahapan, termin, dan lainnya. Pendidikan dan riset tidak dapat disamakan dengan pembangunan fisik karena pendidikan dan riset adalah investasi nonfisik jangka panjang yang tak dapat diukur kemajuannya secara fisik setiap tahun anggaran. Bahwa penggunaan anggaran pemerintah harus akuntabel, ini dapat dicapai dengan menggunakan pola penganggaran berbasis capaian kinerja, ketika mata anggaran tidak dibakukan dan penganggarannya dilakukan secara multitahun dalam bentuk blok.
Dengan penganggaran yang demikian, peningkatan mutu pendidikan dan riset akan tercapai meskipun anggarannya tidak terlalu besar karena akan terjadi efisiensi secara alamiah dan kemampuan inovasi dalam penyelenggaraan pendidikan dan riset akan terbentuk.
Reformasi sistem keuangan negara harus segera dilakukan, tidak lagi menggunakan pola mata anggaran baku tahunan yang hanya cocok untuk proyek pembangunan fisik, melainkan menggunakan pola penganggaran berbasis capaian kinerja multitahun sehingga setiap tahun anggaran diberikan dalam bentuk blok. Insentif diberikan apabila capaian kinerja melampaui target, dan sebaliknya disinsentif apabila capaian kinerja di bawah target. Untuk menjamin akuntabilitas publik, capaian kinerja beserta anggaran yang diberikan harus dapat diketahui masyarakat sehingga masyarakat pun dapat melakukan pengawasan. Perlu ditekankan lagi bahwasanya pendidikan dan riset adalah investasi nonfisik jangka panjang yang memerlukan sistem penganggaran yang tepat.
Satryo Soemantri Brodjonegoro Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar ITB; Anggota AIPI
(Kompas cetak, 2 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar