Faith must be enforced by reason. When faith becomes blind, it dies.
Mahatma Gandhi
Kata-kata itu saya "potret" di sebuah sudut Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi, India, pada Desember lalu. Saat itu saya diundang sebagai pembicara pada simposium internasional Perhimpunan Pelajar Indonesia Sedunia.
Kata-kata yang disampaikan seorang tokoh utama kemerdekaan India yang tidak sempat berkuasa itu menegaskan, iman diukur berdasarkan seberapa besar penghargaannya kepada nalar. Iman tanpa nalar sama dengan iman buta atau iman yang membusuk mati.
Di dalam Islam, seruan yang sama juga ada, "Tidak ada agama kecuali bagi orang yang berakal," (hadist). Di dalam Al Quran juga ada tertera petunjuk, "Katakanlah: 'apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?' Maka apakah kamu tidak memikirkan?" Begitupun dalam teologi Kristen, saya pernah mendengar kata-kata hampir serupa, "Fides quaerens intellectum (iman menuntut nalar yang mendalam)."
Kenapa kalimat-kalimat klasik di atas harus dimunculkan lagi? Tak lain karena ada serangkaian kebijakan politik—terutama di daerah—yang didistorsi seolah- olah inti agama atau panggilan iman meski kemudian diketahui kebijakan itu sangat miskin argumentasi, daya nalar, dan kebaikan sosialnya. Atas dalih otonomi, pemerintah daerah seolah dapat membuat kebijakan apa pun. Seolah-olah muncul pembenaran, kebijakan tentang "moral" dan "iman" wajar bila tidak rasional atau tidak partisipatif.
Kata-kata itu sungguh mengandung kerancuan epistemologis akut. Islam selalu mensyaratkan "rasionalitas" (akal) sebagai syarat utama menjalankan syariat. Syariat mana yang boleh membebankan kewajiban kepada orang tak waras?
Inilah yang saya proyeksikan dalam tulisan ini ketika melihat kebijakan "dilarang ngangkang" Wali Kota Lhokseumawe, Aceh, beberapa waktu lalu. Kebijakan itu memang tidak ada nalarnya, bahkan melawan nalar berkendaraan di jalanan (karena lebih berisiko dan pihak asuransi tidak membayar klaim untuk kecelakaan penumpang duduk menyamping). Akan tetapi, tidak ada kritik yang bisa menembus pertimbangan pikir sang wali kota.
Fanatisme
Di luar motif pribadi wali kota (yang sifatnya sangat personal dan spekulatif), kebijakan seperti ini hanya mungkin hadir di lingkungan fanatik dan miskin nalar. Dalam agama, sikap fanatisme melahirkan kondisi "seolah- olah": seolah-olah sakral, seolah- olah otentik religius, seolah-olah tanpa kebijakan itu seluruh tatatan moral masyarakat akan ambruk", dan hal-hal hiperbolis lainnya.
Padahal, fanatisme sering mengacaukan pesan orisinal agama sehingga agama ditafsir dan dipraktikkan secara eksklusif dan totaliter. Kita bisa lihat, bukan saja pada agama, fanatisme pada segala hal sesungguhnya sangat merusak. Seorang simpatisan partai rela minum air bekas cucian kaki pemimpinnya, para pendukung sepak bola tega menganiaya bahkan membunuh pendukung tim lawan.
Fanatisme mengikis pelan-pelan rasio dari agama. Secara riil, agama yang diyakini secara ekstrem akan memberi pengaruh teror, baik bagi penganutnya maupun penganut agama lain.
Kebijakan diskriminatif ini kerap digunakan untuk meningkatkan popularitas, tetapi di sisi lain memperlihatkan sisi psikopatis akut sang pemimpinnya. Bayangkan, ia rela menjadi sosok anti-demokrat setelah terpilih melalui pemilu yang demokratis.
Fanatisme membentuk delusi sehingga melahirkan kebijakan eksklusif dan menyakiti nalar. Situasi ini jika berketerusan pun akan melahirkan masyarakat yang sakit karena masyarakat dipaksa menerima sebuah produk hukum yang tidak boleh dikritisi lagi. Alhasil, kebijakan pun menjadi sakral, menjadi "agama" baru.
Partisipasi
Dari penelitian Komisi Nasional Perempuan, sejak pemberlakuan otonomi daerah terdapat 282 peraturan daerah atau qanun diskriminatif yang dihasilkan. Perda atau qanun itu dianggap diskriminatif karena diberlakukan hanya kepada kelas sosial tertentu, yakni previlese bagi kelas sosial tertentu sekaligus mengabaikan kelas sosial lain. Dari hasil penelitian itu diketahui, sebagian besar perda diskriminatif tak dilahirkan melalui proses demokratis-partisipatif.
Padahal, di tingkat nasional sejumlah kebijakan telah dihasilkan—seperti UU No 25 Tahun 2004, PP No 8 Tahun 2008, dan Permendagri No 54 Tahun 2010—untuk membantu pemerintah daerah menyusun rencana pembangunan dan kebijakan. Hal itu agar jadi panduan pemerintah daerah saat menyusun rencana pembangunan sehingga tidak terjebak pada arogansi dan autisme regulasi. Prinsip demokrasi, kebersamaan, keadilan, kemandirian, keberlanjutan pembangunan, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan nasional harus diperhatikan ketika bupati, wali kota, dan gubernur membuat kebijakan di tingkat lokal.
Kebijakan "dilarang ngangkang" ini hanya jadi akrobat politik elite yang mengheningkan publik dari kepentingan-kepentingan riilnya. Ini juga penanda, pemerintah lokal telah mengalami disorientasi dalam mewujudkan amanat pembangunan.
Substansi demokrasi elektoral seharusnya terpraksis ke dalam pembangunan dengan mengupayakan kesejahteraan, keadilan, pencerdasan sosial, dan keadaban. Sayangnya, itu hanya jadi retorika kosong. Imbasnya, lahirlah kebijakan nyeleneh seperti dilarang ngangkang (Lhokseumawe), diwajibkan pakai rok (Aceh Barat), dilarang memelihara jenggot (Aceh Selatan), dilarang keluar malam (Tangerang).
Bagi saya, itulah kejahatan moral terbesar ketika penguasa melupakan janji-janji politiknya di saat kampanye dan mengubahnya dengan "janji-janji politik" baru di saat berkuasa.
Teuku Kemal Fasya Antropolog di Aceh
(Kompas cetak, 2 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar