Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 20 Maret 2013

Berdikari di Tanah Papua (Komarudin Watubun)

Komarudin Watubun
Reaksi pemerintah (pusat) terhadap peristiwa penembakan delapan anggota Tentara Nasional Indonesia dan warga sipil yang terjadi di Papua pada Februari lalu seakan-akan lagu lama yang dinyanyikan kembali.
Hampir dalam setiap kejadian menyangkut Papua, pemerintah (pusat) cepat bereaksi. Mengadakan rapat, mengeluarkan pernyataan, menjanjikan komunikasi konstruktif, dan mencuatkan wacana untuk mengakomodasi keinginan menyelesaikan konflik Papua dengan dialog. Namun, satu per satu reaksi yang selalu dilakukan "segera" itu dalam perjalanan waktu menguap begitu saja.
Dalam kurun sembilan tahun Susilo Bambang Yudhoyono memimpin negeri ini setidaknya enam kali ia melontarkan pernyataan (resmi) mengenai dialog untuk menyelesaikan konflik Papua. Data ini saya peroleh melalui penelusuran di internet berupa publikasi media cetak dan media elektronik. Siapa pun dengan mudah mendapatkan keenam pernyataan Presiden SBY tersebut.
Yang pertama disampaikan saat ia baru memimpin negeri ini, berpasangan dengan Jusuf Kalla, pada akhir 2004. Isinya: "Peme- rintah berkeinginan menyelesaikan masalah Papua dengan cara damai, adil, dan bermartabat dengan menitikberatkan dialog dan persuasi."
Yang kedua disampaikan dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2005: "Penyelesaian masalah Papua akan dilakukan secara damai, mengedepankan dialog, pendekatan persuasif, dan pelaksanaan otonomi khusus secara konsisten sebagai solusi adil, menyeluruh, dan bermartabat. Pemerintah tak akan mengundang dan memberi peluang campur tangan asing."
Yang ketiga dalam pidato kenegaraan 2010, SBY kembali me- ngatakan, "Pemerintah dengan saksama terus mempelajari dina- mika yang ada di Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih baik."
Yang keempat pada pidato kenegaraan 2011. SBY mengatakan, "Menata Papua dengan hati adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua."
Yang kelima saat rapat kabinet September 2011, "Dialog antara pemerintah pusat dan saudara kita di Papua itu terbuka. Kita mesti berdialog, dialog terbuka untuk mencari solusi dan opsi mencari langkah paling baik selesaikan masalah Papua."
Yang keenam saat bertemu dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua pada 1 Februari 2012. Di sana Presiden SBY menyatakan bahwa pemerintah mendukung dan berkeinginan menyelesaikan konflik Papua melalui cara dialog.
Itu baru pernyataan Presiden. Masih ada pernyataan menteri, staf khusus, dan orang atau pihak lain yang ada di sekelilingnya. Pada saat yang sama dalam kurun yang sama nyawa manusia di Papua melayang, baik yang tidak berdosa maupun yang "berdosa".
Saya beri tanda petik pada kata berdosa karena bagi pihak tertentu pelenyapan nyawa itu legal, dibolehkan, sehingga mereka merasa berhak, wajib, bahkan mendapat apresiasi serta penghargaan. Padahal, sejatinya, semua yang menjadi korban adalah anak bangsa Indonesia yang tercinta.
Kekhawatiran berdialog
Yang sering muncul ke permukaan mengenai alasan sulitnya dialog diselenggarakan ialah tidak ada representasi atau wakil masyarakat Papua. Pembanding rujukannya adalah Dialog Damai Aceh. Di Aceh, struktur organisasi Gerakan Aceh Merdeka jelas. Kejelasan ini mempermudah terselenggaranya dialog. Bagi saya, alasan itu ada benarnya, tetapi ada dampak besar dari dialog jika kesepakatan damai itu sendiri.
Mari kita berandai-andai. Jika Dialog Damai Papua dibuat seperti Aceh, yang akan dihasilkan adalah "MOU Helsinki" Bagian II. Mari mencermati isi Dialog Damai Aceh melalui MOU Helsinki. Di sana tersua sejumlah kesepakatan dan konsekuensi yang harus diterapkan masing-masing. Di antaranya adalah pembagian hasil kekayaan alam. Pasal 1.3.4. MOU Helsinki: "Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh."
Pertanyaan besarnya, apakah Jakarta atau pemerintah pusat dan pihak lainnya akan rela melakukan hal ini untuk Papua? Konsekuensinya berdampak terhadap kesepakatan yang dibuat Pemerintah Indonesia dengan Freeport. Indonesia harus melakukan renegosiasi dengan Freeport. Dalam analisisnya pada rubrik Opini Kompas, 2 Agustus 2012, "Renegosiasi Kontrak Freeport", Kurtubi mengatakan bahwa posisi legal pemerintah lemah. Kontrak karya yang dilakukan adalah antara pemerintah dan investor.
Pemerintah menjadi bagian "para pihak" yang berkontrak. Semua pasal dalam isi kontrak karya yang ditandatangani pemerintah dan pihak investor (Freeport) untuk tambang di Papua pada 7 April 1967 baru bisa berubah kalau disetujui kedua pihak.
Di sinilah, saya duga, pemerintah pusat mengulur-ulur waktu atau, dengan kata lain, takut menyelenggarakan Dialog Damai Papua. Kontrak Karya I Freeport dengan Pemerintah Indonesia berlangsung untuk kurun 1967- 1991. Pada masa Orde Baru dilakukan Kontrak Karya II hingga tahun 2021. Dan kini upaya perpanjangan pun dilakukan agar kontrak bisa berlangsung lagi hingga 2041.
Keberanian politik
Terlalu panjang menjelaskan alasan Indonesia pada 1967 memutuskan untuk kontrak karya dengan Freeport. Begitu pun ketika Kontrak Karya II dilakukan. Fokus kita adalah tahun 2021 sudah di depan mata. Kini tinggal kemauan politik (pemimpin) bangsa ini untuk lebih mengutamakan kemampuan bangsa kita sendiri memakmurkan bangsa.
Semangat berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) Bung Karno inilah yang perlu dipegang dan diterapkan untuk mewujudkan Papua yang sejahtera dan damai dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pidato 17 Agustus 1965 Bung Karno mengatakan, "Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan pembangunan dengan tidak menyandarkan diri pada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama derajat dan saling menguntungkan."
Anak bangsa kita sudah sangat mampu secara teknologi mengelola kekayaan alam bangsa ini tanpa didikte dan diperas bangsa lain. Kita tidak anti-asing, tetapi kita harus berkomitmen membangun Papua yang damai, tidak hanya sebatas wacana berupa pidato atau pernyataan, tetapi juga aksi nyata.
Kekayaan alam bangsa untuk bangsa. Sudah saatnya berdikari di tanah Papua.
Komarudin Watubun Wakil Ketua DPRD Papua, Ketua DPP PDI Perjuangan
(Kompas cetak, 20 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger