Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 21 Maret 2013

Cegah Politik Dinasti dengan Pemilu Serentak (Didik Supriyanto)

Didik Supriyanto
Perkembangan politik dinasti atau kekerabatan sudah amat mengkhawatirkan. Jika tak dicegah, akan mengancam masa depan demokrasi Indonesia.
Namun, melarang kerabat kepala daerah (istri, anak, orangtua, atau keponakan) untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah juga bukan pilihan bijaksana. Selain mencerminkan politik diskriminasi, peraturan itu juga bisa dibatalkan Mahkamah Konstitusi (Kompas, 6/3).
Untuk menghambat politik dinasti, DPR dan pemerintah yang kini tengah membahas RUU Pemilihan Kepala Daerah tak perlu memaksakan penggunaan instrumen hukum (larangan kerabat kepala daerah mencalonkan diri). Sebaiknya mereka harus memaksimalkan penggunaan instrumen politik melalui rekayasa sistem pemilu. Di sinilah pemilu serentak bisa jadi solusi untuk mengatasi politik dinasti.
Secara akademis, pengertian pemilu serentak adalah penggabungan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dalam satu hari H pemungutan suara. Sesungguhnya konsep pemilu serentak hanya dikenal di negara-negara penganut sistem pemerintahan presidensial. Sebab, dalam sistem ini, baik anggota legislatif maupun pejabat eksekutif sama-sama dipilih melalui pemilu.
Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, di mana pemilu legislatif dengan sendirinya menghasilkan pejabat eksekutif. Sebab, parpol atau koalisi parpol yang memenangi pemilu menguasai mayoritas kursi parlemen sehingga bisa membentuk pemerintahan.
Mengapa pemilu serentak mampu mengatasi politik dinasti? Pertama, bila pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dilaksanakan bersamaan, setiap orang (termasuk petahana dan kerabatnya) memiliki peluang terbatas untuk mencalonkan diri. Mereka harus memilih salah satu jabatan yang hendak digapai: anggota legislatif atau jabatan eksekutif. Baik yang terpilih maupun yang tidak berada dalam posisi sama dalam kurun lima tahun ke depan.
Bandingkan dengan situasi saat ini. Pada saat pemilu legislatif, setiap orang memburu kursi DPR, DPD, dan DPRD. Selang satu atau dua tahun kemudian, mereka yang sudah mendapat kursi parlemen maupun yang gagal bergerak ke arena eksekutif berebut kursi kepala daerah dalam pilkada. Bagi pemilik kursi parlemen yang gagal bisa kembali menduduki kursinya; sedangkan yang berhasil akan meninggalkan kursinya untuk orang lain, yang bisa jadi adalah kerabatnya.
Kedua, penggabungan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif memaksa partai-partai politik membangun koalisi sejak dini. Mereka sadar, keterpilihan calon pejabat eksekutif yang mereka usung akan memengaruhi keterpilihan calon-calon anggota legislatif. Hal ini mendorong partai-partai akan membangun koalisi besar sehingga pascapemilu menghasilkan blocking politic: di satu pihak, terdapat koalisi besar yang memenangi jabatan eksekutif sekaligus menguasai kursi parlemen; di pihak lain terdapat koalisi gagal meraih jabatan eksekutif yang menjadi kelompok minoritas parlemen sehingga mau tidak mau menjadi oposisi.
Dua pemilu serentak
Situasi tersebut memaksa koalisi parpol memilih pasangan calon pejabat eksekutif yang elektabilitasnya paling tinggi demi merebut jabatan eksekutif, yang akan mengatrol perolehan kursi legislatif. Koalisi besar menjadikan jumlah pasangan calon terbatas, yang berarti juga membatasi gerak politik dinasti.
Lebih penting lagi, jika pemilu dilaksanakan serentak, tampilnya calon-calon dinasti akan terlihat jelas di mata publik sehingga parpol dan calon akan tampak buruk di mata masyarakat. Karena hal ini akan berdampak pada perolehan kursi parpol keterpilihan calon-calon, maka parpol berpikir seribu kali untuk menampilkan calon-calon dari satu keluarga.
Selanjutnya, ruang politik dinasti akan makin sempit apabila pemilu serentak dilakukan secara nasional atau per provinsi. Pilkada yang berbeda waktu menyebabkan kerabat penguasa lokal bisa mencalonkan diri di daerah mana saja yang sedang menggelar pilkada. Apalagi calon kepala daerah tidak diharuskan berdomisili di daerah yang bersangkutan.
Penggabungan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif tidak dilarang konstitusi sehingga bisa saja dirancang pemilu serentak total nasional, yakni satu hari H pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun, cara ini banyak hambatan teknis karena beban penyelenggara terlalu besar untuk menyiapkan administrasi pemilu. Selain itu, pemilih menghadapi banyak kesulitan saat di bilik suara karena harus menghadapi begitu banyak calon yang harus mereka pilih.
Langkah paling rasional membagi dua pemilu serentak: pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan pada tahun pertama dari siklus lima tahunan pemilu; sedang pemilu daerah untuk memilih DPRD dan kepala daerah yang dilaksanakan pada tahun ketiga.
Cara ini juga menjadikan pemilu daerah sebagai pengontrol kinerja pemerintahan hasil pemilu nasional. Sebab, jika koalisi yang memenangi pemilu nasional kinerjanya buruk, mereka akan dihukum oleh pemilih pada pemilu daerah. Dengan demikian, hal ini memaksa koalisi pemenang pemilu nasional bekerja maksimal agar mereka tetap mendapatkan kepercayaan dalam pemilu daerah.
Dengan demikian, pemilu serentak dengan format pemilu nasional dan pemilu daerah akan efektif menghambat pergerakan politik dinasti. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah menyiapkan UU pemilu yang mengarah ke sana. RUU Pilkada yang sedang dibahas saat ini harus memuat ketentuan-ketentuan yang mengarahkan terselenggaranya pemilu serentak, dengan membuat peraturan peralihan untuk menjadwal kembali pilkada serentak.
Didik Supriyanto Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Kompas cetak, 21 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger