Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 21 Maret 2013

Lagi, soal Otonomi Perguruan Tinggi (Thee Kian Wie)

Thee Kian Wie
Dalam Tajuk Rencana tentang otonomi perguruan tinggi di harian Kompas, 6 Maret 2013, disoroti tentang pernyataan keprihatinan para ilmuwan terkait terancamnya otonomi perguruan tinggi.
Ditegaskan bahwa otonomi perguruan tinggi bukan berarti privatisasi, melainkan masalah otonomi memang adalah jati diri perguruan tinggi. Otonomi perguruan tinggi sebagai ruh lembaga pendidikan tinggi tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga memiliki aspek non-akademik.
Dalam Tajuk Rencana Kompas diusulkan, jangan sampai UU Perguruan Tinggi yang sudah disetujui DPR dibatalkan—seperti yang dialami UU Badan Hukum Pendidikan—Mahkamah Konstitusi pada 2009 karena dinilai tidak sesuai konstitusi.
Dikritisi sejak awal
Pada April 2012, suatu rancangan UU tentang pendidikan tinggi diajukan kepada DPR, yang banyak dikecam oleh perguruan tinggi negeri ataupun perguruan tinggi swasta. Kritik ini ditujukan kepada berbagai peraturan dalam rancangan UU ini, termasuk peraturan tentang organisasi perguruan tinggi, peraturan tentang kurikulum, dan perekrutan dan pemecatan dosen. Bahkan, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta secara tegas menolak rancangan UU ini.
Dalam rancangan UU ini, misalnya, terdapat ketentuan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dapat mengatur statuta perguruan tinggi. Sementara itu, pihak perguruan tinggi berpendapat bahwa tugas menteri seharusnya memfasilitasi dan menjamin otonomi perguruan tinggi.
Ketentuan kontroversial lain dalam rancangan UU ini adalah bahwa menteri harus menyetujui program studi di perguruan tinggi, sedangkan pihak perguruan tinggi menekankan bahwa merekalah yang sepatutnya menentukan berbagai program studi, sesuai dengan tujuan otonomi perguruan tinggi. Rancangan UU ini juga memuat ketentuan bahwa pemerintah mengatur pengangkatan staf dosen. Ketentuan ini menuai banyak kecaman karena dianggap mengancam kebebasan akademis, yang sangat dihargai sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru.
Oleh karena itu, kebanyakan perguruan tinggi negeri ataupun swasta menyatakan keberatan mereka terhadap rancangan UU ini. Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta secara tegas menolak rancangan UU ini. Dua ilmuwan Indonesia yang terkemuka, yaitu Profesor Satryo Soemantri Brodjonegoro (mantan Direktur Jenderal Perguruan Tinggi) dan Profesor Sofian Effendi (mantan Rektor Universitas Gadjah Mada), juga secara terbuka menyatakan keberatan mereka tentang rancangan UU ini.
Meskipun demikian, pada 13 Juli 2012, DPR menyetujui rancangan UU ini sehingga akhirnya menjadi UU Perguruan Tinggi. Menanggapi kecaman terhadap UU ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, yang sebelumnya menjabat sebagai Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, menyatakan bahwa ia menyadari keprihatinan dari sejumlah perguruan tinggi. Terkait hal tersebut, Mohammad Nuh menyatakan bahwa keprihatinan ini dapat ditampung dalam berbagai peraturan.
Dua kesimpulan
Dua kesimpulan dapat ditarik dari kejadian ini. Pertama, banyak pembuat kebijakan—baik birokrat maupun anggota DPR—cenderung untuk mengatur dan mengawasi berbagai kegiatan, termasuk urusan akademis. Padahal, urusan akademis seharusnya diatur dan diawasi sendiri oleh lembaga pendidikan tinggi dan dewan pembina mereka, yang beroperasi dalam lingkungan di mana aturan permainan (rules of the game) dengan jelas ditentukan oleh pemerintah.
Masalahnya adalah justru pemerintah rupanya tidak mampu atau tidak berminat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk hal ini, seperti ternyata dari ketentuan tentang akreditasi perguruan tinggi dan akses yang lebih merata bagi calon mahasiswa dari golongan yang berpendapatan rendah.
Kesimpulan kedua adalah UU Perguruan Tinggi sulit dilaksanakan karena berbagai ketentuan yang rumit. Dapat diperkirakan bahwa cukup banyak perguruan tinggi akan mengabaikan berbagai ketentuan yang sulit dilaksanakan tersebut.
THEE Kian Wie Staf Ahli Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI) dan Anggota Komisi Ilmu-ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (KIS-AIPI)
(Kompas cetak, 21 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger