Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 21 Maret 2013

"Membina" PTS (Elfindri)

Elfindri
Sekitar 70 persen anak Indonesia pada usia emasnya mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi swasta. Ironisnya, pembinaan terhadap PTS sangat minim, sementara persoalan internal sangat kompleks.
Belum lagi soal konflik internal, mutu dosen, dan akuntabilitas penyelenggaraannya. Pemerintah terlena memperhatikan perguruan tinggi negeri (PTN), tapi lupa mengapitalisasi gagasan untuk memajukan perguruan tinggi swasta (PTS).
Pendidikan tinggi Indonesia menghadapi tantangan berat. Dikatakan berat karena ada rencana untuk meningkatkan tenaga kerja terdidik. Proporsi tenaga kerja tahun 2025 diperkirakan akan diisi oleh 8 persen lulusan berpendidikan strata satu (S-1) dan 8 persen diploma I-III (D-I/D-III). Artinya, komposisi tenaga kerja terdidik akan menjadi 16 persen. Sementara tahun 2010, komposisi angkatan kerja tersebut tidak lebih dari 7,5 persen, terdiri atas 2,6 persen berpendidikan S1 dan sisanya tamatan D-I hingga D-III.
Sekarang ada sekitar 4,5 juta anak pada masa usia emas yang dilayani oleh 95 PTN dan sekitar 3.000 PTS besar dan kecil. Sekitar 70 persen anak-anak yang mengecap pendidikan tinggi menghabiskan masa emasnya di PTS, dan sisanya di PTN.
PTN dan PTS relatif memiliki jurang kualitas yang berbeda serta distribusi jenis dan jenjang penyelenggara antartempat yang sangat timpang. Dua pertiga perguruan tinggi berada di Jawa. Bukan tidak mungkin tersedia PTS yang baik, tetapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sisanya PTS "Senin-Kamis" yang bertahan dengan berbagai persoalannya, di antaranya sebanyak 201 penyelenggara PTS menghadapi krisis internal.
Jenjang pendidikan tinggi di Indonesia dihadapkan pada permintaan yang tinggi. Selain dari faktor pergeseran usia penduduk, kemajuan ekonomi telah menambah kemungkinan anak- anak dari keluarga menengah memasuki jenjang pendidikan tinggi. Tantangan terbesar adalah bagaimana menyediakan pendidikan tinggi dalam menghadapi begitu pesatnya pertumbuhan permintaan itu sendiri.
Perbesar pemerataan
Guna menjawab tantangan besar tersebut, pemerintah masih mendua dalam memastikan agar pemerataan pendidikan tinggi terpenuhi. Langkah yang sangat keliru dilakukan adalah memperbesar daya tampung PTN.
Di Universitas Andalas misalnya, daya tampung kampus direncanakan maksimum 20.000. Dalam kenyataannya, saat ini jumlah mahasiswa sudah melebihi angka 26.000. Perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Pertanian Bogor sekalipun juga memiliki jumlah mahasiswa yang melebihi daya tampungnya.
Konsekuensi apa yang dihasilkan dengan menambah beban PTN? Dampak yang pasti adalah menurunnya kinerja akademik. Baik lambannya produktivitas riset dosen maupun sulitnya memenuhi dosen yang berkualifikasi strata tiga (S-3). Ini sebagai akibat dari tingginya rata-rata jam mengajar dosen. Jadi, jelas, mengejar mutu pendidikan akan berbenturan dengan peningkatan jumlah daya tampung.
Dalam mengantisipasi itu, tahun ini tengah diproses pendirian sekitar 101 politeknik negeri baru. Caranya dengan menegerikan politeknik swasta serta mendirikan yang baru. Upaya ini sangat strategis dan semakin baik jika dilaksanakan seiring dengan persiapan tenaga dosen dan laboratorium.
Biaya penyelenggaraan politeknik sebenarnya bisa 4-5 kali lebih besar dibandingkan pendidikan tinggi umum. Akan tetapi, jika daya tampung politeknik per angkatan sekitar 500 orang, pertambahan dari permintaan akan jenjang pendidikan tinggi baru akan terakomodasi untuk sekitar 50.000 calon mahasiswa per tahun. Padahal, kalau kita perhatikan, mahasiswa baru sampai tahun 2020 diperkirakan akan bertambah 4 juta-4,5 juta orang dari kondisi keadaan sekarang.
Langkah lainnya adalah dengan menata keberadaan PTS yang jumlahnya sekitar 3.000. Asumsi yang digunakan pemerintah adalah PTS itu dibiarkan beroperasi melalui mekanisme "pasar", mengingat pemerintah hampir tidak berperan dalam menyediakan tenaga dosen serta anggaran. Kontrol dan regulasi lebih sekadar seperti seorang "satpam": menjaga keamanan, di antaranya menertibkan kelas jauh, menertibkan dosen, dan sebagainya.
Proses pembinaan yang diharapkan muncul dari koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) diperkirakan tidak berjalan. Mengingat para koordinator akan hilir mudik mengunjungi PTS setiap wisuda, di mana konsep pembinaannya sangat minim.
Konsepsi bagaimana negara dalam membangun sistem dan prioritas pendidikan di PTS tampaknya diserahkan sepenuhnya kepada pihak yayasan dan pimpinan eksekutif. Padahal, pembinaan bisa dilakukan secara sistemik, di antaranya dalam mengembangkan arah PTS, pengembangan mutu dosen, dan pengembangan jurusan.
Di Kopertis Wilayah X—yang merupakan pelayanan untuk pengawasan, pengendalian, dan pembinaan Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau—baru sekitar 25 persen dari dosen yang memiliki jabatan fungsional. Jumlah mereka yang telah memiliki jabatan fungsional ini diperkirakan setengahnya bergelar fungsional lektor sampai guru besar: jabatan fungsional yang layak jadi pembimbing utama. Jadi, jangan disalahkan bila di satu PTS ada seorang dosen membimbing 25-50 mahasiswa dalam proses tugas akhir. Tentunya ini merupakan kondisi di ambang kehancuran dari praktik akuntabilitas pendidikan tinggi.
Peranan pemerintah
Pada masa yang akan datang, peranan pemerintah sebaiknya diperbesar dalam memosisikan keberadaan PTS. Membiarkan PTS untuk menyediakan tenaga dosen bergelar minimum tamat S-2 adalah suatu ilusi dan tidak akan sanggup dipenuhi oleh penyelenggara PTS.
PTS mesti dianggap sebagai layanan semiprivat quasi services. Artinya, mesti ada peranan pemerintah dalam menyediakan jasa layanan pendidikan. Peranan pemerintah ke depan mesti pada penyediaan dosen, peningkatan dan penjaminan mutu, serta kontrol terhadap akuntabilitas penyelenggaraan.
Guna memenuhi hal tersebut, alangkah baiknya apabila pemerintah mau menyiapkan dosen untuk memastikan proses belajar mengajar berjalan dengan lebih baik. Jika sebuah jurusan memerlukan enam dosen tetap, peranan pemerintah dapat berupa penyediaan dosen meski jumlahnya setengah dari yang dibutuhkan. Hanya dengan dukungan penyediaan dosen diperkirakan peranan pengawasan, pengendalian, dan pembinaan oleh pemerintah akan berjalan.
Namun, ketika ruwetnya pemenuhan dosen sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan saat ini, pengembangan pendidikan dengan aturan yang ketat seperti sekarang hanya akan memakan korban. Korbannya tak lain adalah mahasiswa yang masa emasnya tidak mendapatkan perhatian pemerintah. Kerugian besar akan dirasakan kelak sebagai konsekuensi akibat pemerintah tidak melakukan pembinaan yang baik terhadap PTS.
Elfindri Mantan Koordinator Kopertis X dan Guru Besar Ekonomi SDM Universitas Andalas
(Kompas cetak, 21 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger