Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 07 Maret 2013

Intoleransi di Tahun Politik (Fajar Riza Ul Haq)

Fajar Riza Ul Haq
Kejahatan atas nama agama mengkhianati agama itu sendiri. Kian suburnya aksi kejahatan tersebut sudah seharusnya memanggil langkah nyata dari kepemimpinan yang bertanggung jawab dari semua aktor.
Kesimpulan itu disampaikan special rapporteur PBB Heiner Bielefeldt pada penutupan Forum Aliansi Peradaban di Vienna, 28 Februari lalu. Mendefinisikan kekerasan atas nama agama sebagai bentuk kejahatan (kriminal) mengimplikasikan dua hal, yakni
sikap penegasan untuk tak menoleransi kekerasan atas nama keyakinan, dan menempatkan persoalan itu pada ranah hukum. Masalah ini menjadi fokus perhatian peserta, khususnya pada topik kebebasan beragama.
"Menyedihkan, kita hidup di dunia yang diwarnai intoleransi. Keragaman budaya seharusnya membawa kita pada keragaman dialog dan pengetahuan," kata Nassir Abdulaziz, High Representative Aliansi Peradaban PBB, pada sesi pembukaan yang dihadiri Sekjen PBB Ban Ki-moon.
Tahun depan, Indonesia tuan rumah untuk perhelatan global itu. Dalam percakapan saya dengan beberapa peserta, terlihat antusiasme mereka menyambut agenda pertemuan mendatang. "Negara Anda sangat penting, dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan semakin memiliki suara di kancah internasional," kata seorang peserta dari Jerman.
Namun, pada saat bersamaan, Pemerintah Indonesia dihadapkan pada laporan Human Right Watch yang mempertanyakan komitmen Presiden SBY menyelesaikan pelbagai kasus kekerasan dan diskriminasi yang menimpa kelompok-kelompok minoritas. Istana pun meradang.
Ada yang menyentak dari seruan lembaga berbasis di New York itu. Dunia internasional jangan lagi memuji Indonesia sebagai contoh negara toleran. Ini bisa dibaca sebagai akumulasi kekecewaan terhadap kinerja pemerintah yang belum memuaskan dalam menangani pelanggaran HAM, terutama pasca-Sidang Tinjauan Periodik Universal, Dewan HAM PBB, pada Mei 2012. Berlarutnya persoalan intoleransi akan menjadi beban politik pemerintahan SBY di pengujung masa jabatannya.
Padahal, salah satu amunisi andalan diplomasi Kementerian Luar Negeri adalah citra Indonesia sebagai negara Muslim demokratis terbesar di dunia yang bersendikan kebinekaan. Tentu akan jadi pekerjaan tak mudah bagi Kementerian Luar Negeri mengapitalisasi julukan Indonesia sebagai negara yang menghargai perbedaan jika tak ditopang institusi-institusi pemerintah terkait. Peran dan dukungan aktor nirnegara seperti organisasi masyarakat sipil, media, dan sektor swasta ikut menentukan.
Apologetik
Toleransi dalam kehidupan berbangsa harga mati. Pernyataan tegas ini disampaikan Presiden SBY saat menghadiri perayaan 150 tahun HKBP di Jakarta tahun lalu. Saya yakin, SBY setuju pandangan Ricoeur (2012): hakikat toleransi adalah sikap asketisme dalam mempraktikkan kekuasaan negara dan agama seperti kuasa mayoritas, menahan diri untuk tak memaksakan satu keyakinan dan cara beragama tertentu, serta apa yang dirasa pantas menurut dirinya kepada kelompok yang berbeda.
Yang belum kunjung terlihat adalah bagaimana Presiden mengorkestrakan komitmennya di hadapan aparatur negara. Kasus-kasus intoleransi selalu dipahami secara apologetik oleh mayoritas pemangku kebijakan.
Dalam suatu pertemuan koordinasi antarkementerian, seorang perwakilan Kementerian Dalam Negeri menganggap permasalahan intoleransi dan kekerasan hanya percikan, tidak akan membakar bangunan keharmonisan masyarakat yang sudah lama terbangun. Tampaknya pandangan apologetik semacam ini jadi mazhab paling berpengaruh di lingkungan birokrasi, tak terkecuali di kementerian yang mengurusi pendidikan dan agama.
Pada saat yang sama ada kecenderungan menguatnya desakan untuk menjadikan fatwa lembaga keagamaan sebagai tolok ukur kesahihan perilaku berbangsa. Gejala ini tidak hanya ditemukan di masyarakat awam, tetapi juga di kalangan terdidik.
Meski sifatnya tak mengikat secara yuridis, dalam banyak kasus fatwa mampu menyandera logika bernegara seperti pada kasus Ahmadiyah, Syiah, dan pengharaman pluralisme yang menjadi dasar berbangsa. Akan beda cerita jika sebuah fatwa dijadikan salah satu bahan pertimbangan kebijakan setelah diuji nalar publik yang konsensual.
Penelitian Maarif Institute di 50 SMAN (2011) menemukan, budaya kewargaan tidak jadi arus besar di institusi pendidikan. Pendidikan keagamaan belum sepenuhnya menyentuh ruang-ruang konvergensi nilai-nilai agama dengan nilai-nilai kewargaan yang berbasis pada toleransi dan pluralisme. Pendidikan kewarganegaraan pun belum berhasil mentransformasikan prinsip kewargaan ke ranah kognisi dan perilaku siswa. Mendorong tumbuhnya budaya kewargaan yang inklusif di kantong-kantong pendidikan akan dapat menangkal kecenderungan homogenisasi identitas sosial yang kian terlihat belakangan ini. Lembaga pendidikan harus jadi laboratorium integrasi sosial, melampau sekat agama, etnisitas, dan budaya.
Masyarakat Indonesia yang toleran tidaklah konstan dan lahir di ruang kosong. Bandulnya bisa berubah ke arah sebaliknya bila kita terjebak pada apologetisme dan tidak mau bersikap jujur. Keterbukaan pemerintah akan memungkinkan terciptanya komitmen dan kerja sama dengan aktor-aktor nirnegara guna menangani gejala intoleransi dan pelanggaran terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Kita berharap hiruk-pikuk tahun politik 2013 tak melalaikan pentingnya memikirkan kembali proses integrasi sosial bangsa. Terlebih, tahun depan Indonesia akan menjadi etalase sebuah negara majemuk yang toleran pada Forum Aliansi Peradaban PBB.
Fajar Riza Ul Haq Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity
(Kompas cetak, 7 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger