Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 11 Maret 2013

Janji REDD dan Nasib Hutan Kita (Transtoto Handadhari)

Oleh Transtoto Handadhari
Banyak pihak berpikir bahwa program penurunan emisi gas rumah kaca, seperti Reduce Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus, dikenal sebagai REDD+, akan menghasilkan dana kompensasi yang besar bagi pemilik hutan terbesar, termasuk Indonesia.
Berbagai upaya ditempuh, berbarengan dengan munculnya para "penumpang gelap" yang memprovokasi bisnis karbon. Namun, seperti proyek Clean Development Management (CDM) sebagai bagian dari mekanisme Protokol Kyoto yang ternyata tidak menghasilkan uang, masyarakat pun mulai ragu.
Tantangan pembangunan berlandaskan ekonomi hijau antara lain untuk menjawab tantangan krisis pemanasan global dan perubahan iklim, krisis energi dan pangan, kerusakan sumber daya alam, serta gagalnya pasar dunia. Indonesia berupaya mengakomodasi ekonomi hijau ini dalam Penyusunan Strategi Nasional (Stranas REDD+) yang begitu ambisius sehingga diperkirakan akan menjadi dokumen belaka.
Tampaknya akan menjadi blunder jika program REDD+ hanya didasarkan pada pemikiran memperoleh kompensasi dana hijau dari negara-negara industri yang mengumbar karbon tanpa memiliki hutan penyerapnya. Lalu apa yang akan diperoleh dari upaya menekan pemanfaatan hutan dan lahan bagi masyarakat di sekitar hutan?
Manfaat REDD+
Tak bisa dimungkiri bahwa hutan telah rusak. Tingkat deforestasi yang begitu besar: 1,87 juta hektar/tahun (1990-1996), 3,51 juta hektar (1997-2000), dan turun sekitar 1 juta hektar (2001-sekarang) menunjukkan masalah di bidang kehutanan sangat serius. Badan Planologi Kehutanan (2007) mencatat kawasan hutan yang masih berhutan sekitar 64 persen.
Tata kelola kehutanan, tata cara pengendalian pembalakan liar, kebakaran dan perambahan harus segera diperbaiki. Ditambah kerusakan lahan di luar kawasan hutan yang rata-rata 0,5 juta hektare setiap tahun, maka anggapan hutan sebagai emiter utama karbon dunia semakin beralasan.
Program REDD+ yang mulai terdorong pada COP 2007 di Bali oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) mengharuskan pemerintah melakukan hal-hal yang dapat menggali akar masalah kerusakan hutan dan lahan secara mendalam.
Wujud hasil program REDD+ adalah turunnya tingkat emisi karbon dengan menghindari terjadinya pengurangan hutan akibat kerusakan hutan sekaligus menangani konflik lahan terkait juga hak-hak masyarakat adat dan masyarakat tempatan.
Melalui iming-iming dana hibah 1 miliar dollar AS dari Kerajaan Norwegia tahun 2010, Indonesia dibangkitkan untuk memperbaiki hutan dan tata kelola hutan. Namun, pelaksanaan letter of intent (LoI) yang amat lambat—terdiri atas tiga hal: persiapan, transformasi, dan implementasi—menunjukkan bahwa progresnya sangat lambat atau bahkan tidak akan dapat dipenuhi. Akibatnya, pembayaran kontribusi dana yang dijanjikan dan harus disetujui Parlemen Norwegia diragukan terwujud.
Harapan untuk memperoleh nilai kompensasi upaya pelaksanaan REDD+ selayaknya tidak diprioritaskan meskipun Indonesia dengan kawasan lindung yang masih berhutan sekitar 36,5 juta hektar memiliki potensi nilai penyerapan karbon 105-114 miliar dollar AS, belum termasuk hutan produksi yang masih baik.
Pemicu perbaikan hutan
Program REDD+ maupun program hijau perendahan emisi karbon selayaknya ditangkap sebagai dorongan untuk memperbaiki tata kelola hutan, meningkatkan kualitas pengelolaan hutan yang adil, memberikan akses yang layak buat masyarakat terutama masyarakat adat, serta meningkatkan kesejahteraan dan status sosial masyarakat sekitar hutan. Isu tenurial dan sosial ekonomi masyarakat merupakan bagian penting yang harus ditangani agar tidak berkepanjangan.
Persoalan pemantapan tata ruang dan tata guna kawasan hutan serta kualitas penyelenggaraan tata kelola kehutanan menjadi bagian utama yang perlu diperbaiki. Kompleksitas persoalan kehutanan tersebut semakin tidak mudah diurai karena faktor penyalahgunaan kewenangan. Pikiran dan perilaku koruptif akan menggagalkan pencapaian REDD+.
Masalah krusial yang mengganggu adalah penyelesaian proses pengukuhan batas hutan yang belum mencapai 15 persen dan pengamanannya sehingga masih menjadi cemoohan banyak pihak. Dengan hambatan penataan batas hutan sangat banyak, rasanya sampai akhir zaman proses tata batas dan pengukuhan kawasan hutan Indonesia tidak akan selesai tuntas. Pemerintah harus berpikir ulang untuk melakukan teknik yang lain dalam melindungi dan memantapkan batas-batas kawasan hutan selain pematokan batas di lapangan.
Pemaksaan izin
Persoalan lain yang harus dibenahi adalah syarat clean and clear dalam proses perizinan penggunaan kawasan hutan hampir tidak pernah terpenuhi, tetapi izin selalu dipaksakan terbit karena kepentingan kedua belah pihak. Akibatnya, konflik lahan tidak pernah dapat dihindari dan berdampak pada kerusakan hutan.
Pembalakan liar menjadi penyakit kronis yang tidak hanya bertautan dengan kebutuhan bahan baku kayu untuk industri dan rumah tangga, tetapi malahan sudah menjadi "kue" lain yang sehari-hari dinantikan untuk dijadikan rayahan.
Sedangkan masalah kebakaran hutan yang umumnya berasal dari lahan transisi semakin sulit dikendalikan karena terkait budaya berladang. Ini yang sebenarnya bisa diatasi dengan masukan teknologi, bukan dengan kebijakan antipembakaran dalam pembukaan ladang rakyat.
Untuk keberhasilan rencana dan pelaksanaan program REDD+ tersebut, masalah transparansi pengelolaan hutan dan keberhasilannya merupakan salah satu kunci. Data spasial maupun numerik kemajuan ataupun kemerosotan pengelolaan hutan harus selalu dapat dilihat umum, terintegrasi, divalidasi, dan selalu terbarui.
Program MRV (Monitoring, Reporting, and Verification) sumber daya hutan yang kini digunakan diharapkan mampu menjamin bahwa laporan perbaikan pengelolaan hutan benar adanya.
Program REDD+ benar-benar diharapkan akan menghasilkan "kue" yang sebenarnya bagi dunia dan masyarakat Indonesia. Terutama dalam bentuk keamanan lingkungan hidup dan perbaikan kesejahteraan masyarakat.
TRANSTOTO HANDADHARI Rimbawan Senior; CEO Yayasan Green Network Indonesia
(Kompas cetak, 11 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger