Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 11 Maret 2013

Menegakkan Diri yang Agung (Raka Santeri)

Oleh Raka Santeri
Sejarah manusia tampaknya berlangsung dalam perjalanan waktu untuk menegakkan "diri agung" yang tak terbatas, di tengah-tengah tarikan "diri rendah" yang terbatas.
Dalam jejak-jejaknya yang terasa dan teraba, diri agung menandakan kehadirannya dalam kebudayaan, peradaban, dan kejernihan logika. Sementara diri rendah menebarkan kekerasan, keserakahan, dan kekuasaan dalam tiang-tiang rapuh kesementaraan.
Perjuangan seperti itulah yang terjadi pada tahun 77 Masehi ketika Raja Kaniska I di India mencampakkan pedangnya ke tanah, lalu menggantikannya dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kekuasaan yang luas, harta berlimpah, dan kesenangan yang mudah ternyata tidak berarti apabila kecemasan selalu menghantui diri.
Perenungan dalam sepi, di tengah-tengah kemenangan melawan musuh-musuh kekuasaan, mengalirkan raja dari dinasti Kusana ini menuju kesadaran yang cerah: mengalahkan diri sendiri!
Lebih dari 1.935 tahun kemudian, dalam abad ini, kita masih menghadapi musuh "diri agung" yang sama: kegaduhan batin, kekerasan, keserakahan, dan perebutan kekuasaan.
Dengan setia kita menghamba kepada diri rendah kita masing-masing, sambil menyusun daya upaya yang kita anggap sebagai kecerdasan ilmu pengetahuan. Tujuannya merangkul dan menguasai, atau menyingkirkan dan menjatuhkan, ketika saudara sendiri pun kita anggap sebagai lawan.
Dalam beberapa kesempatan, kita juga tidak segan-segan memainkan fakta menjadi fitnah, menegakkan setan di samping Tuhan, sehingga nafsu bisa dikobarkan menjadi api yang menghanguskan ratusan rumah dan menjadi pedang untuk membunuh manusia tanpa daya.
Kenapa kita, yang dalam setiap "klik" mampu menembus dunia maya, berenang dalam lautan informasi dan pengetahuan, sangat sulit berubah dan memilih tetap tegak dalam kepentingan diri kita yang rendah?
Mungkin benar orang Indonesia termasuk jenis manusia hipokrit, berjiwa feodal, dan berwatak lemah, seperti dikemukakan Mochtar Lubis. Tetapi mungkin juga karena kita selalu melihat dan menganggap "diri" hanya sebatas tubuh dengan segala kemampuan sementaranya. Sedangkan jiwa (roh) diabaikan meskipun sesungguhnya roh adalah "percikan cahaya Ilahi" (Atman) yang abadi dalam ruang kehidupan tak terbatas.
Dalam ajaran Hindu, manusia adalah roh abadi yang tinggal di dalam tubuh yang sementara ini. Segala kemampuannya muncul dari hasil karma di masa lalu, masa sekarang, dan masa-masa yang akan datang.
Kama, kroda, dan lobha
Karena esensi utama manusia adalah roh, sudah seharusnya tujuan hidup mendekatkan kembali roh ke sumber asalnya, kepada Sang Pencipta (Tuhan). Kedekatan roh kepada Tuhan akan menghasilkan karma (perbuatan) yang baik, dan karma yang baik pada gilirannya akan mengangkat derajat manusia ke tataran yang lebih mulia, menjadi diri yang agung.
Sebaliknya kalau kita selalu mengutamakan tubuh, kita cenderung tak henti-hentinya mengejar keinginan tubuh. Akhirnya kita akan terjebak pada "tiga pintu neraka" (Bhagawat Gita XVI-21), yaitu kama (keinginan yang tak ada akhirnya), kroda (kemarahan yang menyalakan anarkisme, permusuhan, dan peperangan), dan lobha (sifat tamak yang tidak mengenal kata cukup, selalu ingin lebih, lagi dan lagi, sehingga akhirnya menjadi "gila").
Bukankah gila orang-orang yang senang memamerkan kemewahan di tengah-tengah kesengsaraan rakyat yang kelaparan? Gila juga orang yang masih tersenyum bak pahlawan ketika dihujat dan dihukum karena korupsi. Itulah diri yang rendah. Agama Hindu menawarkan hidup seimbang, mencari kekayaan (artha) dan kesenangan (kama) berdasarkan kebenaran (dharma).
Kalau dharma tidak melandasi pencarian artha dan kama, bangsa ini akan terus terseret dalam pusaran korupsi, perebutan kekuasaan, kebencian, dan tipu daya memenuhi ruang-ruang publik yang masih tersisa. Semua akan tersandera oleh semua, dan ruang-ruang untuk maju terhambat sekat-sekat kesepakatan yang dibangun untuk "keamanan" bersama pula.
Tercerahkan
Untuk keluar dari kemelut lingkaran setan ini, kita perlu seseorang yang tercerahkan, seseorang yang berani "melempar pedang"-nya; dan dengan logika jernih membangun kembali peradaban bangsa. Orang seperti itu harus pula berani melawan dirinya yang rendah serta menggugah diri-diri rendah lainnya bangkit menjadi diri-diri yang agung. Ya, kita memerlukan "Kaniska-Kaniska" Indonesia abad ke-21 untuk membangun kembali kejayaan bangsa, seperti pernah kita miliki pada zaman Sriwijaya dan Majapahit dahulu.
Mimpi? Semua yang besar dimulai dari mimpi! Kata-kata bijak menyebutkan: Once you meet your higher self, whatever its form, you will get shine, bright, open and awaken. You will feel the true joy, and happiness is everything….
Semoga kegaduhan politik dan keserakahan nafsu kebendaan yang merajalela sekarang ini memaksa kita bangkit dan berubah menjadi lebih bersih, terbuka, dan kuat di masa-masa yang akan datang.
Raka Santeri Wartawan; Tinggal di Bali
(Kompas cetak, 11 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger