Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 25 Maret 2013

Momentum Tertibkan Pertambangan (Ferdy Hasiman)

Oleh Ferdy Hasiman
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2013 untuk mempercepat peningkatan nilai tambah produk mineral.
Instruksi itu dialamatkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menko Perekonomian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri BUMN, Menteri Lingkungan Hidup, serta gubernur dan pemerintah daerah (bupati/wali kota). Instruksi ini menjadi momentum penting menertibkan izin pertambangan yang dikeluarkan pemda.
Persoalannya, pasca-pemberlakuan UU No 32/2004 tentang Otonomi Daerah, otoritas pemberi izin usaha pertambangan (IUP) adalah pemda. Peran gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat hanya sebatas menerbitkan tambang lintas-kabupaten. Menteri tak bisa mengintervensi tambang yang tumpang tindih karena pemda yang kehilangan jarahan bisa melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Pemda pun menjadi raja-raja kecil yang serampangan mengeluarkan izin tambang. Mereka tak peduli lagi apakah pemberian izin konsesi menabrak aturan hukum atau tidak. Asal ada potensi, semua digadaikan kepada korporasi tambang.
Alhasil, tak satu pun wilayah Nusantara bebas eksploitasi tambang. Samarinda misalnya, 70,66 persen wilayahnya dicaplok untuk pertambangan (Dinas Pertambangan Samarinda, 2010). Pulau-pulau kecil dengan topografi berbukit, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), tak luput dari tambang. Padahal, UU No 27/2007 mengamanatkan, pulau-pulau kecil di daerah pesisir bebas tambang karena merusak ekosistem alam, lahan pertanian, dan tatanan sosial-budaya masyarakat lokal.
Bahkan, areal hutan lindung pun dialihfungsikan menjadi areal pertambangan. Tak heran, dari 10.235 IUP, hanya 4.151 IUP yang dinyatakan bersih. Selebihnya, 6.084 IUP, dinyatakan ilegal.
Mencari untung
Watak bawaan korporasi adalah mengakumulasi modal. Cara paling ampuh mencari untung adalah melalui state capture alias menyandera pejabat publik dengan suap. State capture makin mulus di tengah sistem politik uang pada tingkat lokal.
Mahalnya biaya pilkada membuat pemda menggadaikan kekayaan daerah kepada investor tambang. Terjadilah simbiosis mutualisme: elite lokal berkepentingan melanggengkan kekuasaan, perusahaan berkepentingan mengakumulasi modal.
Kerja sama korporasi-penguasa ini membuat transaksi ekonomi mulai dari mulut tambang hingga pengiriman bahan tambang ke pelabuhan bongkar muat dipermudah. Polisi dan petugas bea cukai mendapat bagian untuk memuluskan pengapalan bahan tambang.
Bagi investor, sektor pertambangan adalah primadona karena pengembalian modalnya cepat. Sektor ini sangat mudah mendapat uang. Habis dikeruk bisa langsung diekspor tanpa pengelolaan melalui smelter. Data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba, 2013) menunjukkan hanya tujuh perusahaan besar yang memiliki pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Selain itu, baru 67 perusahaan mengajukan rencana pembangunan smelter. Sisanya yang ribuan itu belum punya.
Belakangan Dirjen Minerba melansir, ternyata perusahaan tambang yang mengekspor nikel, bijih besi dan bauksit, membawa serta unsur logam tanah jarang (rear earth) yang menempel pada beberapa komoditas tertentu. Artinya, pemerintah belum mampu mendeteksi aset-aset berharga dalam perut bumi Nusantara.
Data Pusat Sumber Daya Geologi menyebut cadangan mineral logam jarang Indonesia mencapai 200.000 ton, tetapi belum dimaksimalkan karena tak paham cara mengolahnya. Logam ini mengandung neomagnet yang memungkinkan kelahiran teknologi baru.
Indonesia menjual habis aset bumi pertiwi untuk kepentingan segelintir orang tamak. Menambang dalam ketidakpahaman membuat kita mudah diakali perusahaan tambang yang tanpa etika dalam berbisnis.
Lonjakan ekspor bahan mentah akan meningkat tajam jika pemerintah tak konsisten mengimplementasikan Peraturan Menteri ESDM No 7/2012 tentang batas atas ekspor mineral dan kewajiban perusahaan tambang membangun smelter.
Sampai tahun 2013, baru 167 perusahaan mendapat izin tambang (Dirjen Minerba, 2013). Jika pemerintah pusat gagal memverifikasi tambang ilegal di daerah, bukan tak mungkin akan terjadi lonjakan ekspor mineral besar-besaran pasca-pemberlakuan UU No 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan. Lonjakan ekspor bijih besi 700 persen dan bauksit 800 persen.
Pemerintah bisa merugi karena neraca perdagangan dan penerimaan negara dari pertambangan berkurang. Padahal, banyak perusahaan tambang di daerah diam-diam mengekspor bahan mentah dan tak tercatat sebagai wajib pajak (WP).
Risikonya, penerimaan negara dari 10.235 IUP hanya 22 persen, tak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Dari 1.068 perusahaan tambang yang beroperasi di Kalimantan, hanya 300 perusahaan (30 persen) yang taat lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012).
Tanpa ada perubahan kebijakan terkait komoditas tambang yang saat ini hanya dianggap sebagai komoditas tidak strategis, kita akan gagal membangun strategi industri mapan pada masa depan. Padahal, ke depan, kita butuh bahan tambang untuk menopang sektor industri dan menyinkronkan sektor agraris dengan industri, seperti yang terjadi di Eropa. Namun, itu mengandaikan negara bersih agar tak terkulai saat berhadapan dengan perusahaan hiperkomersial.
Bangsa kaya sumber alam kemudian tetap gagal membangun fondasi industrial yang mapan. Kita hanya membangun struktur ekonomi ekstraktif tanpa pembangunan yang bisa memberi nilai tambah (multiplier effect) bagi kesejahteraan rakyat.
Supervisi ketat
Konstitusi UUD 1945 mengamanatkan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. Maka, instruksi presiden ini menjadi momentum berharga menata kembali pertambangan kita. Wewenang pemda mengeluarkan izin konsesi tak perlu disabotase. Namun, peran pemerintah pusat tetap menjadi pengontrol utama apakah konsesi yang diterbitkan pemda itu "clean & clear".
Presiden harus memerintahkan menteri terkait memverifikasi kembali izin tambang di daerah, termasuk membersihkan pegawai bea cukai dan kepolisian daerah dari aneka kecurangan. Komisi Pemberantasan Korupsi pun perlu turun tangan menginvestigasi aktivitas tambang ilegal di daerah.
Selain itu, perlu arahan pembangunan nasional yang terencana dengan pertimbangan keuntungan komparatif di setiap daerah. Di koridor pertambangan, Dirjen Minerba dan gubernur perlu intensif menyupervisi agar tambang di daerah tertib.
Transparansi dan akuntabilitas perlu ditingkatkan agar dana bagi hasil berdampak pada peningkatan pelayanan publik, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Kementerian terkait bersama gubernur dan pemda bisa memerintahkan pemilik IUP-IUP kecil yang berdekatan untuk bekerja sama membangun smelter. Demi pembangunan berkelanjutan, kontrak-kontrak tambang yang tidak memenuhi standar lingkungan hidup harus ditolak.
Ferdy Hasiman Peneliti di Indonesia Today, Jakarta
(Kompas cetak, 25 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger