Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 04 April 2013

"Kuda Troya" bagi MK (FERI AMSARI)

FERI AMSARI
Kehendak politik DPR bisa menyusup melalui seleksi hakim Mahkamah Konstitusi. Kuat dugaan, para politisi Senayan menginginkan agar "kuda troya politik" bisa diletakkan di jantung pertahanan MK.
Bagi para politisi, kewenangan MK sebagai pelindung konstitusi menjadi penting untuk dipengaruhi. DPR tentu tidak ingin terus dipermalukan dalam persidangan MK. Selama ini, tak berbilang UU tak berkualitas buatan DPR dibatalkan MK. Melalui putusan MK itu, transaksi politik ketentuan perundang-undangan sering dibongkar ke permukaan.
Bahkan, melalui kewenangan perselisihan hasil pemilu, MK dapat mengadili kecurangan penyelenggaraan pemilu. MK dapat membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum yang memenangkan kandidat atau partai tertentu. Akibatnya, putusan MK akan memengaruhi jumlah kursi dan tingkat keterpilihan di legislatif dan eksekutif. Kewenangan MK itu tentu tidak membuat para politisi "duduk" nyaman dalam menyambut Pemilu 2014.
Melihat kewenangan MK yang besar dalam menata demokrasi, taktik menyusupkan "kuda troya" bisa terjadi dalam seleksi hakim MK. Ruang itu terbuka lebar karena DPR dan Presiden punya kewenangan menempatkan "o r a n g - o r a n g ny a " di MK. Suatu saat, bukan tidak mungkin, MK akan dipenuhi "perwakilan para politisi" dari DPR dan Presiden. Ketika itu, putusan MK akan dipandang tidak merdeka dari campur tangan politik.
Teori konstitusi modern menghendaki lembaga kekuasaan kehakiman merdeka dari campur tangan lembaga negara lain. Cita-cita yang sama termaktub dalam Pasal 24 UUD 1945 yang menghendaki Mahkamah Agung dan MK tidak tersentuh "tang - an-tangan politik".
Namun, DPR "bermain kasar". Menggunakan ketentuan UU No 24 Tahun 2003 jo UU No 8 Tahun 2011 tentang MK, DPR diberi kewenangan memilih hakim MK. Padahal, ketentuan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945 hanya menentukan hakim MK dapat "diajukan" MA, DPR, dan Presiden. Kata "di - ajukan" tak mesti dimaknai dengan "memilih". Bila dimaknai memilih, terjadilah campur tangan ketiga lembaga negara lain (MA, DPR, dan Presiden) ke tubuh MK.
Padahal, menurut Tom Ginsburg (Judicial Appointment and Judicial Independent, 2009), kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu dilihat dari tiga kemerdekaan: (1) kemerdekaan hakim dari kekuasaan lembaga negara lain dan para politisi; (2) merdeka dari ideologi atau tekanan politik tertentu; dan (3) kemerdekaan dari superioritas cabang kekuasaan kehakiman lain.
Mengacu pendapat Ginsburg, teranglah proses seleksi hakim MK tidak akan menghasilkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dari kepentingan politik dan cabang kekuasaan negara lain. Alhasil, bila "kuda troya politik" merusak MK dari dalam berujung hilangnya kewibawaan putusan MK, wajar kemudian banyak pencari keadilan yang mulai tidak mematuhi putusan sang pelindung konstitusi.
Menyelamatkan MK
MK tidak bisa dibiarkan terus disusupi banyak kepentingan. Penyelamatan terhadap MK perlu dilakukan. Meskipun publik harus mengakui dalam dua periode kepemimpinan ketua MK (Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD) banyak tatanan konstitusi yang terlindungi, bukan tak mungkin kewibawaan MK akan terkikis bila pola seleksi hakim seperti saat ini dipertahankan.
Setidaknya ada dua metode seleksi untuk hakim MK. Pertama, proses seleksi dilakukan cabang kekuasaan independen, yaitu Komisi Yudisial. Hasil seleksi KY kemudian diserahkan kepada DPR dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai perwakilan rakyat. DPR dan DPD tidak lagi melakukan uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana jamak dilakukan DPR selama ini. Parlemen (baca: DPR dan DPD) hanya menyatakan persetujuan atau tidak setuju terhadap calon yang diserahkan KY. Bergabungnya dua/lebih lembaga negara dalam proses seleksi hakim MK itu oleh Ginsburg disebut sebagai cooperative appointment.
Metode kedua dapat dimulai dari MA, DPR, dan Presiden terlebih dulu. Setelah ketiga lembaga itu mengajukan calon-calonnya, KY yang akan melakukan seleksi kepatutan dan kelayakan dan memilih kandidat hakim MK. Agar tidak terjadi perdebatan konstitusional, kandidat pilihan KY itu diserahkan kepada MA, DPR, dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan.
Pelibatan KY, sebagai lembaga independen dalam pemilihan hakim MK, menjadi penting untuk menjauhkan tangan-tangan politik menyentuh MK. Meskipun UUD 1945 membatasi kewenangan KY, hakim MK dapat memberikan tafsir berbeda terhadap kewenangan KY demi menguatkan demokrasi.
Dua metode seleksi hakim MK tersebut setidaknya menjauhkan MK dari kemungkinan menyusupnya "kuda troya politik". Jika metode seleksi saat ini dipertahankan, patut diduga DPR dan Presiden memang ingin menyusupkan "s e k u t u ny a " ke MK. Ibarat pasukan Akhaia yang mengirimkan patung kuda berisi prajurit penyusup ke dalam kota Troya, DPR dan Presiden ingin menghancurkan MK dari dalam. Jika MK "dikalahkan" ke kuatan politik, perlindungan hak-hak konstitusional kita pun menjadi redup.
FERI AMSARI Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas; Anggota Koalisi Selamatkan MK
(Kompas cetak, 4 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger