Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 15 Juli 2013

Analogi (JE Sahetapy)

Oleh: JE Sahetapy  

Sejak Soeharto (alm) lengser sebagai Presiden RI karena tuntutan para mahasiswa, akibat pemerintahannya yang otoriter selama lebih dari 30 tahun, saya diminta bertugas di Senayan.
Saat membicarakan hak asasi manusia (HAM) dalam rangka reformasi konstitusi, seorang anggota DPR pada saat itu (bergelar sarjana hukum, SH) dengan suara lantang minta saya mencabut pernyataan saya yang membicarakan HAM di Indonesia.

Di Komisi II (kini Komisi III) DPR, orang ini kemudian membicarakan masalah pencurian listrik. Ia berargumentasi bahwa tak mungkin menerapkan Pasal 362 KUHP dalam pencurian listrik, dengan alasan bahwa listrik bukan "barang", terlepas dari adanya ketentuan bahwa mencuri listrik bisa dipidana pada kemudian hari. Dalam hal ini, ia sedang membicarakan analogi "tanpa sadar".

Sebagai mantan pendidik yang sejak 1956 mengajar mata kuliah Hukum Pidana I atau Asas-asas Hukum Pidana, saya terkejut bahkan terperanjat mendengar ocehannya sebagai seorang SH tentang analogi, terlepas bahwa pada kemudian hari yang bersangkutan—entah karena faktor politis—menjadi menteri.

Pencurian listrik di kota 'sGravenhage (sekarang bernama Den Haag) yang dilakukan oleh seorang dokter gigi, pada waktu itu (1921), selalu jadi argumentasi hukum secara klasik dalam pelbagai perdebatan, terutama di antara para guru besar fakultas hukum di Belanda. Lihat misalnya Jonkers (1946): Handboek van het Nederlandsch-Indische Strafrecht.

Putusan HR Belanda (Mahkamah Agung Belanda) dikaitkan dengan berbagai interpretasi dalam kaitan dengan analogi, terlepas dari adanya lex certa atau Bestimmt-heidsgebot. Analogi pada waktu itu dipandang sebagai extensieve interpretatie, atau functionele interpretatie, atau futuristische interpretatie. Prof Moeljatno (alm) berpendapat agak lain bahwa putusan HR 23 Mei 1921, terlepas dari telefoon palen zijn telegraafwerken (HR 21 November 1892) dan geiten omvat ook bokken, sepanjang yang saya masih ingat sebagai asisten beliau di Fakultas Hukum Universitas Airlangga pada waktu itu, masalah analogi di sini adalah verschuiving van het (begrip) woord goed alias 'pergeseran (makna) kata barang'. Almarhum Prof R Soedarto (Undip), mantan promotor saya (1978), juga berpendirian demikian.

Terlalu ikut campur
Di dunia ilmiah hukum orang boleh saja berpendirian berbeda. Namun, perlu diketahui bahwa di Denemarken (Denmark), analogi tidak dilarang meskipun Denmark suatu negara yang sangat demokratis (vide Hazewinkel Suringa & v Remmelink, 1984). Namun, yang dilakukan dalam Rancangan KUHP, menurut hemat saya, selain ada contradictio in terminis, juga tidak ada sikap konsisten. Itu karena, dalam Pasal 1 Rancangan KUHP, dicantumkan larangan analogi, tetapi di bagian akhir (Pasal 756) diizinkan untuk dipidana delik-delik adat yang belum jelas yang mana dan yang berbeda-beda di tiap-tiap daerah di Indonesia.

Kalau analogi dibicarakan dalam doktrin, itu soal lain. Mereka yang menempatkan analogi dalam Rancangan KUHP lupa akan adagium dalam hukum pidana bahwa De minimis non curat lex, atau dalam bahasa Belanda met bagatelzaken bemoeit de wet zich niet. Ini berarti terhadap soal 'tetek-bengek' undang-undang tak ikut campur tangan. Analogi kita anggap cukup diperdebatkan dalam doktrin dan tidak ditempatkan dalam KUHP.

Itulah sebabnya ketika saya ditugaskan ke Belanda berkonsultasi dengan Prof Dr Nico Keyzer dari HR Belanda dan Prof Dr Schaffmeister dari FH Leiden di Belanda, pada waktu itu saya dengan tegas berpendirian bahwa Buku III W.v.S. Ned.Indie tidak perlu lagi. Sebab terlalu banyak ikut campur dalam soal-soal 'tetek-bengek', yang—kalau mau diatur juga—cukup diberikan wewenang kepada pemerintah daerah yang bersangkutan untuk mengaturnya. Itu pun kalau secara expresis verbis tidak dianggap bertentangan dengan lex certa, mengingat asas Bhinneka Tunggal Ika.

Itu pun mereka harus sadar bahwa Republik Indonesia ini adalah sebuah negara kesatuan berlambang Bhinneka Tunggal Ika, berbasis Pancasila. Bung Karno tidak pernah, sekali lagi, tidak pernah berbicara tentang Pancasila sebagai "pilar". Seluruh tulisan/pidato Bung Karno masih saya simpan sebagai bukti sejarah. Jangan cari muka dengan bikin teori "baru" yang ngawur. Pancasila adalah staatsfundamentaal norm atau juga disebut sebagai Weltanschauung bangsa dan negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Jangan seperti sekarang ini ingin mengatur apa saja yang bisa mendorong konflik, apalagi yang sektarian, dan yang mendatangkan mudarat bagi rakyat yang belum terlepas dari penderitaan yang masih terus mencekam mereka. Kapan akan datang ketertiban dan kesejahteraan? Semua ini karena terlalu banyak error juris yang dibuat oleh mereka yang merasa berkuasa dan keminter. Quo vadis?

JE Sahetapy - Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga

(Kompas cetak, 15 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger