Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 Juli 2013

Capres dan Tantangan Internasional (Rizal SUKMA)

Oleh: Rizal SUKMA

Mulai akhir Oktober 2014, Indonesia akan dipimpin pasangan presiden dan wakil presiden baru. Meskipun prioritas pemerintahan baru harus fokus pada upaya menyelesaikan pelbagai masalah mendesak dalam negeri, aspek internasional dari pembangunan dan kepentingan nasional tidak dapat diabaikan.
Upaya membangun Indonesia tidak dijalankan dalam ruang hampa. Lingkungan internasional, terutama dengan semakin derasnya arus globalisasi dan interdependensi antarnegara, akan berpengaruh besar bagi Indonesia. Pengelolaan berbagai tantangan di lingkungan internasional, serta pemanfaatan sumber-sumber internasional yang sejalan dengan dan untuk kepentingan Indonesia, patut mendapat perhatian dari pemerintahan baru mendatang.

Oleh karena itu, pemerintahan Indonesia mendatang—terutama presiden dan wakil presiden—tidak saja perlu memahami, tetapi juga harus mampu merespons dinamika dan tantangan serta implikasi perkembangan global dan regional bagi Indonesia. Prasyarat ini akan dapat membawa Indonesia pasca-2014 ke dalam sebuah era transisi strategis regional yang akan mengubah peta, karakteristik, dan tatanan politik-ekonomi kawasan yang kita kenal selama ini.

Era transisi strategis itu akan ditandai tiga kecenderungan besar. Pertama, transformasi strategis global, yang mengubah peta dan konstelasi hubungan antarkekuatan besar, khususnya di Asia Timur. Sebagai kekuatan besar, posisi dan pengaruh China akan semakin dominan sehingga meningkatkan ketergantungan ekonomi negara-negara di kawasan terhadap negeri itu.

Di sisi lain, Amerika Serikat (AS) juga telah mengambil langkah-langkah strategis, melalui kebijakan rebalancing, untuk mempertahankan supremasinya di kawasan.

Dua raksasa Asia lainnya, Jepang dan India, yang juga memiliki kekhawatiran terhadap fenomena kebangkitan China, mulai melakukan reposisi strategis dalam hubungan luar negerinya. Akibatnya, rivalitas antarkekuatan besar, khususnya antara AS dan China, bukan lagi sebuah kemungkinan, melainkan sudah menjadi kenyataan. Indonesia berada tepat di tengah pusaran pertarungan pengaruh antarkekuatan besar itu. Pertanyaan bagi pemimpin Indonesia pasca-2014 adalah reposisi strategis seperti apa yang perlu dilakukan untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai primus inter pares di kawasan Asia Tenggara?

Perdagangan bebas
Kedua, gelombang perdagangan bebas dan tekanan integrasi ekonomi regional akan semakin besar dalam beberapa tahun ke depan. Kawasan Asia Timur akan segera menjadi pasar dan basis produksi tunggal (single market and production base). Perdagangan bebas telah menjadi agenda yang didorong oleh hampir semua negara di Asia Timur. Proses perundingan Trans-Pacific Partnership (TPP), kesepakatan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), serta pembicaraan mengenai perdagangan bebas antara China, Jepang, dan Korea Selatan merupakan contoh paling mutakhir dari kuatnya dorongan untuk mewujudkan integrasi ekonomi di kawasan. Tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana mentransformasikan dirinya menjadi bagian dari basis produksi regional dan global, bukan hanya menjadi bagian dari pasar tunggal tersebut.

Ketiga, masa depan Asia Timur tidaklah seindah yang dijanjikan oleh harapan mengenai Abad Asia (Asian Century). Pertumbuhan ekonomi di kawasan tidak sepenuhnya bebas dari masalah. Sekarang saja, pertumbuhan ekonomi China sudah mulai melambat. Kawasan Asia Timur juga merupakan kawasan di mana stabilitas dan keamanan regional masih dibayang-bayangi sejumlah pertikaian teritorial, khususnya sengketa wilayah laut, yang belum jelas penyelesaiannya. Saling curiga dan defisit kepercayaan (trust deficit) warisan sejarah masih menjadi ganjalan dalam hubungan sejumlah negara kunci, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan.

Ketegangan, bahkan konflik, dalam memperkuat penguasaan akses ke sumber-sumber energi di Laut China Selatan dan Laut China Timur, bakal meningkat pada tahun-tahun mendatang. Persaingan pengaruh itu akan menguat di dua lautan—Samudra Hindia dan Laut China Selatan—dan Indonesia tepat berada di tengahnya.

Di samping ketiga kecenderungan besar di atas, masih banyak persoalan dan tantangan lain dari lingkungan eksternal, yang harus dikelola pemimpin Indonesia pasca-2014.

Semua itu membutuhkan sebuah pemerintahan baru yang tidak hanya memiliki pemahaman memadai mengenai perkembangan dan dinamika internasional, tetapi juga arah kebijakan yang jelas, terutama dalam meletakkan posisi Indonesia dalam lingkungan strategis yang berubah dengan cepat.

Calon pemimpin
Lantas, sejauh mana para calon pemimpin Indonesia pasca- 2014 nanti memiliki kualifikasi seperti yang dibahas di atas?

Sejauh ini, masih sulit untuk menilai pemahaman dan kejelasan visi internasional dari calon-calon presiden yang mulai muncul namanya belakangan ini. Dari calon-calon potensial yang ada, nama-nama seperti Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, dan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie memang dikenal memiliki pemahaman dan tingkat interaksi dengan dunia internasional yang cukup baik dan luas.

Namun, kita masih menunggu reposisi dan kebijakan strategis internasional seperti apa yang akan ditawarkan para calon presiden RI ke-7 nanti. Dengan kata lain, meskipun agenda dalam negeri perlu lebih diutamakan, agenda politik luar negeri tidak boleh diabaikan.

Rizal SUKMA
Direktur Eksekutif CSIS,
Jakarta

(Kompas cetak, 10 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger