Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 Juli 2013

Politik ”Balsem” (KARIM SURYADI)

Oleh: KARIM SURYADI

Seperti "balsem" (obat gosok), bantuan langsung sementara masyarakat sejatinya bukan obat penyakit kronis atau menahun.
Paling banter ia hanya mampu mengatasi gatal-gatal akibat gigitan serangga, otot kaku, atau kembung karena masuk angin. Namun, jangan salah, bagi masyarakat miskin dan tak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, beragam merek balsem telah menjadi obat generik untuk mengatasi semua gejala sakit.

Bagi masyarakat kota, tiga ratus ribu rupiah memang tidak seberapa. Meski tidak semua orang mudah mendapatkannya, uang sebesar itu nyaris tak berharga bila dibawa ke pasar mengingat harga kian melambung. Namun, bagi masyarakat miskin di desa, uang sebesar itu bisa setara upah sepuluh hari membersihkan rumput di kebun atau mencangkul hingga tengah hari. Jadi, jangan remehkan besaran bantuan langsung sebab nilainya bisa beragam bagi kelompok masyarakat yang berbeda.

Di sisi lain, ada masyarakat desa yang penasaran mendapatkan bantuan langsung meski ia tidak teramat miskin, hanya karena ingin merasakan dana segar dari pemerintah. Itulah sebabnya banyak penerima BLSM (dulu BLT) yang menganggapnya sebagai jatah makan siang gratis. Di kampung-kampung sering terdengar lelucon, bertahun-tahun bayar pajak belum sekali pun menikmati uang negara.

Gejala inilah yang jadi kelemahan bantuan langsung, tak menjamin semua kelompok sasaran menerima, padahal mereka dipastikan terkena dampak kenaikan harga BBM. Ibarat tetesan air hujan, bantuan langsung terkadang turun tidak merata.

Namun, dampak paling parah dari penyaluran bantuan langsung adalah tergerusnya modal sosial partisipatif warga. Banyak desa tak bisa lagi menarik urunan desa (urdes) sebagai wujud gotong royong dalam pembiayaan pembangunan desa sebab warga yang tergolong mampu sekalipun tak lagi mau membayar karena merasa diperlakukan tak adil. Mengapa susah-susah membayar urdes, sementara warga lain dapat uang tunai dari pemerintah?

Inilah biaya sosial yang harus dibayar akibat peluncuran bantuan langsung. Tergerusnya modal sosial dan rontoknya sendi- sendi gotong royong. Belum lagi kendala teknis pembagian di desa yang berpotensi memicu ketegangan antarwarga, bahkan dengan pengurus setempat. Seperti obat yang tak cocok, alih-alih menyembuhkan penyakit, penyaluran "balsem" malah memancing keluhan baru.

Padat karya
Ada bentuk bantuan yang bernilai pemberdayaan meski tidak akan mengikis kemiskinan. Bentuk padat karya dinilai lebih masuk akal dan mendidik ketimbang bantuan langsung. Dengan logika yang amat sederhana, padat karya amat dibutuhkan untuk memperbaiki berbagai infrastruktur dan fasilitas publik yang rusak sambil membuka kesempatan menambah penghasilan bagi masyarakat.

Banyak warga tidak mengerti batasan kewenangan pemerintah daerah dan pusat. Warga kerap mengeluh dan menyalahkan pemerintah ketika mendapati jalan desa rusak, irigasi tak berfungsi, atap sekolah roboh atau aspal jalan mengelupas dan berlubang- lubang. Semua kerusakan itu dipandang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memperbaikinya, tanpa merinci pemerintah pusat atau daerah. Karena itu, akan dipandang ironis bila pemerintah membagi-bagikan uang, sementara infrastruktur yang rusak dibiarkan.

Akan lebih bijak bila subsidi BBM dialihkan untuk membiayai proyek yang langsung berdampak pada perekonomian warga sekaligus menyediakan lapangan kerja. Tak semua warga miskin hanya berharap bantuan, dan tidak semua orang menganggur karena malas. Tidak sedikit warga yang tidak bekerja hanya karena tidak ada pekerjaan yang dapat mendatangkan uang. Dengan padat karya, perbaikan fasilitas umum dan infrastruktur dasar bisa diperbaiki sekaligus menyediakan lapangan kerja.

Di sisi lain, padat karya pun lebih mendidik karena hanya mereka yang bekerja yang dapat upah. Berapa pun upah yang diterima tak akan menimbulkan kecemburuan warga lain karena siapa pun akan menerimanya sesuai kerja yang mereka lakukan. Dengan demikian, potensi gesekan antarwarga dan pemerintah setempat bisa dihindari.

Buruknya sistem transportasi desa-kota akan memperparah dampak kenaikan BBM bagi masyarakat desa. Mereka yang berdomisili di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal harus merogoh kocek lebih dalam untuk membiayai transportasi. Akibatnya, barang yang dibeli dari kota jadi lebih mahal, sementara produk yang dihasilkan harganya turun karena dikurangi ongkos angkut yang harus dikeluarkan tengkulak.

Dengan demikian, eksploitasi sumber daya ekonomi masyarakat desa terus terjadi, dan karenanya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya hanya akan tetap menjadi mimpi.

Alih-alih dikucurkan untuk biaya sosialisasi BLSM, pengurangan subsidi yang menyebabkan kenaikan harga BBM lebih baik digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang berdampak langsung pada perekonomian warga tanpa harus menciptakan ketergantungan dan mengikis modal sosial. Semakin masif sosialisasi dilakukan malah bisa memancing kecurigaan ada agenda terselubung di balik pemberian bantuan kepada masyarakat. Lebih-lebih bila kinerja pemerintah dinilai belum memuaskan publik, sosialisasi BLSM berkepanjangan akan dibaca sebagai buy off demi meraih sentimen positif menjelang Pemilu 2014.

KARIM SURYADI
Guru Besar Komunikasi
Politik Universitas Pendidikan Indonesia

(Kompas cetak, 10 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger