Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 11 Juli 2013

Kebuntuan RUU Pilpres (Kompas)

DPR akhirnya terjebak dalam pro dan kontra perlu-tidaknya revisi UU Pemilu Presiden, khususnya soal ambang batas pengajuan capres 2014.
Fraksi Partai Golkar, Fraksi Demokrat, Fraksi PDI-P bersikukuh tidak perlu ada revisi persyaratan untuk mencalonkan presiden. Artinya, syarat mencalonkan presiden tetap, yakni parpol atau gabungan parpol yang punya 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara nasional. Sebaliknya, Fraksi Hanura yang mengusung Wiranto-Hary Tanoesoedibjo sebagai capres dan cawapres serta Fraksi PPP mengusulkan agar ambang batas pencalonan presiden diperkecil menjadi 3,5 persen. Gerindra yang bakal mengusung Prabowo Subianto ingin memperkecil ambang batas. Dalam Pemilu 2009, Hanura mendapat 3,7 persen suara.

Ambang batas mencalonkan presiden pada Pemilu 2014 memang dibuat lebih tinggi dibandingkan Pemilu 2009. Hasil itu merupakan kesepakatan politik DPR saat membahas RUU Pemilu Presiden 2009. Pada Pemilu 2004 dengan menggunakan UU Nomor 23 Tahun 2003, persyaratan mengajukan capres adalah parpol atau gabungan parpol dengan perolehan 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara nasional. Dengan mengacu pada Pemilu 2009, hanya Partai Demokrat dengan perolehan suara lebih dari 20 persen yang berhak mengajukan sendiri calon presidennya. Namun, saat mencalonkan presiden, Demokrat membangun koalisi dengan parpol lain.

Politik Indonesia memang dinamis. Sebuah parpol menjadi besar ketika parpol itu dipercaya rakyat dan mendapat suara rakyat. Pasang surut terjadi. Demokrat yang pada Pemilu 2004 mendapat 7 persen suara melonjak menjadi 20 persen pada Pemilu 2009. Peningkatan luar biasa.

Melihat sejarah itu, sebenarnya parpol tidak perlu khawatir dengan ambang batas pencalonan presiden yang merupakan kompromi kekuatan politik. Jika calon presiden dan program parpol diterima rakyat, rakyat bisa saja memilih mereka. Sebaliknya, jika rakyat dalam pemilu 9 April 2014 tak memberinya kepercayaan, parpol juga harus menerima.

Kita memandang positif banyaknya tokoh yang berminat serta merasa bisa menjadi presiden 2014-2019. Namun, akan lebih baik jika capres itu, selain merasa bisa, juga bisa merasa apakah mereka akan mendapat dukungan masyarakat. Kini, sebagian dari mereka sudah mulai memasarkan diri, beriklan untuk menunjukkan citra dirinya. Selanjutnya, tergantung parpol untuk menyeleksi mereka.

Parpol seyogianya juga tidak ngotot memperjuangkan kadernya sendiri untuk mendapatkan capres. Jika memang ada kader nonparpol yang berkualitas dan cakap, kesempatan untuk menjadi capres bagi mereka juga harus dibuka. Dengan mekanisme internal parpol untuk mendapatkan capres, kita memandang revisi UU Pemilu Presiden tidak diperlukan. Selain karena waktu yang kian mepet, kita berpandangan membangun sistem presidensial yang kuat haruslah menjadi tujuan.

(Kompas cetak, 11 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger