Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 13 Juli 2013

Paranoia (Boni Hargens)

Oleh: Boni Hargens 

Lebih dari sekadar judul novel Joseph Finder yang begitu laris sejak terbit 2004, paranoia (Yunani: para "di luar", nous "pikiran") adalah gangguan pikiran yang ditandai dengan kecemasan dan ketakutan berlebihan. Orang menjadi tak rasional dan cenderung berujung delusif.
Sepintas paranoia dapat dise- lami lewat figur-figur dalam susastra, seperti Philip Dick, Ishmael Reed, Lovecraft, Lyacos, Robert Wilson, atau Burroughs yang memakai nama pena William Lee.

Menarik bahwa sejak abad ke-16, paranoia menjadi kesibukan kaum intelektual. Setidak-tidaknya itu terungkap dalam Paranoia and Modernity, John Farrell (2006). Dengan mengupas Luther, Bacon, Cervantes, Descartes, Hobbes, Pascal, La Rochefoucauld, Swift, dan Rousseau, ia memperlihatkan betapa paranoia bertumbuh dan melekat dalam sejarah.

Dunia yang paranoid
Hari ini pun paranoia menjadi wabah mondial. Ia menjadi tema dunia setelah pada Juni lalu Edward Snowden membuka jaringan data rahasia intelijen Amerika Serikat. Pria 29 tahun itu mengingatkan kita kepada aktivis Australia, Julian Paul Assange, dengan Wikileaks-nya pada 2010 lalu. Snowden ditersangkakan pada 14 Juni 2013 atas pengungkapan data rahasia negara.

Tak lama kemudian, kawan dekat Sarah Harrison dari Wiki- leaks ini melarikan diri ke Hongkong, lalu Moskwa. Di Moskwa ia mengajukan suaka, tetapi ditolak. Polandia melakukan hal yang sama sebagaimana Jerman.

"Tidak ada alasan kuat bagi su- aka Snowden", lebih kurang begitu juru bicara pemerintahan Angela Merkel, Steffen Seibert. Benarkah alasan suaka tidak cukup atau Berlin kekosongan alasan membenarkan penolakan itu? Polling yang diadakan Radio Television Luxembourg (RTL), sebuah televisi swasta, pada 2 Juli 2013, memperlihatkan 83,3 persen publik Jerman mengharapkan suaka Snowden diterima. "Mestinya pendekatan humanitarian juga dipertimbangkan," kritik Renata Künast dari Partai Hijau dalam dialog Anne Will di stasiun televisi Arbeitsgemeinschaft der öffentlich-rechtlichen Rundfunkanstalten der Bundesrepublik Deutschland (ARD), 3 Juli 2013.

Paranoia terkait dengan kebebasan manusia bertindak. Ada kecemasan, kebebasan bertindak itu dirampas oleh pihak lain. Ketakutan yang cenderung tak rasional melingkungi kebebasan tersebut. "Paranoia sedang memwabah di dunia hari ini," kata Gabriel Sigmar dari Partai Sosialis (SPD) dalam program dialog Anne Will itu.

Bagi Jerman, Snowden sebuah simalakama. Tak diberi suaka, rakyat mempertanyakan sikap pemerintah. Diberi suaka, hubungan Berlin-Washington bisa terganggu. Apalagi, Berlin memang sedang tersinggung dengan Washington setelah Snowden membuka dusta. Jerman ditempatkan dalam daftar "mitra kelas ketiga", yang dalam data rahasia NSA diberi warna kuning. Kuning berarti harus dipantau.

Tercatat, 500 juta komunikasi dalam sebulan di seluruh Jerman disadap NSA. "Kalau itu benar, ini sungguh sebuah insiden serius. Kita tak lagi dalam Perang Dingin," kata Kanselir Merkel di depan sejumlah redaktur media massa pada 2 Juli lalu.

Gangguan kolektif
Tampak bahwa paranoia menjadi gangguan kolektif. Tak hanya di jenjang dunia, tetapi juga di jenjang domestik. Setelah ICW merilis 36 nama politisi yang diragukan komitmennya melawan korupsi, tak sedikit politisi mau memolisikan ICW. Sepakat bahwa subyektivitas ICW perlu diklarifikasi, terutama kenapa lembaga independen itu tidak menyebut lengkap politisi besar yang sempat tersandung korupsi dalam daftarnya. Sebut saja dua ketua umum partai di Kabinet SBY Jilid Dua. Namun, tak ada yang salah dengan rilis ICW. Toh itu kritik biasa, yang menjadi luar biasa karena politisi terlalu paranoid.

Masih dalam konteks ini, teringat bagaimana sebuah partai pernah terpukul. KPK dituduh sebagai arsitek di balik proyek penghancuran partai itu. "Tuduhan oleh teman-teman (di partai) itu terlalu berlebihan. Boleh dikategorikan paranoid," kata Ketua KPK Abraham Samad terkait tersebarnya foto pengurus partai tersebut dengan seorang menteri terkait dengan sebuah perkara.

Paranoia sudah menjadi wabah dalam politik. Kepercayaan sudah hilang. Kecurigaan, ketakutan, insekuritas, dan perasaan sejenisnya menjadi bagian dari kepribadian politik hari ini. Lantas, di mana ruang bagi perubahan demokratis?

Ketika pelaku politik paranoid, ekosistem politik menjadi ruang yang tidak aman. Di dalamnya tidak mungkin demokrasi bisa bertumbuh normal. Boleh saja kita melihat bahwa dalam kondisi seperti inilah istilah "2013 sebagai tahun politik"-nya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperoleh kepenuhan maknanya. Namun, politik elektoral bukan sekadar pertarungan kepentingan atau benturan saling menghancurkan.

"Fairness" sebagai solusi

Persaingan elektoral harus dibangun atas fondasi fairness. Di dalamnya ada kejujuran, keterbukaan, dan respek satu sama lain. Lawan dilihat bukan sebagai musuh yang dihancurkan, melainkan sebagai friendly enemy (Mouffe, 2002). Fairness juga dilihat sebagai prinsip moral politik yang mencakup secara inheren prinsip keadilan dan prinsip kesetaraan (Rawls, 1971).

Perubahan demokratis hanya bisa dibangun dalam konteks demikian, tidak dalam habitat politik paranoid. Bahkan, dengan mendalami dan mempraksiskan prinsip fairness, pelaku politik bisa bebas dari perangkap gangguan psikis paranoia.

(Boni Hargens, Direktur Lembaga Pemilih Indonesia, Sedang Belajar di Humboldt-Universität zu Berlin, Jerman)

(Kompas cetak, 13 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger