Artikel Yudi Latif, "Harmoni Soekarno-Hatta" (Kompas, 16/8), telah menggambarkan harmoni di antara kedua tokoh proklamator.
Sebuah ungkapan tepat, yaitu "… Laksana sepasang sayap, Soekarno-Hatta saling melengkapi, yang menentukan keserampakan gerak dalam keseimbangan… ketidakfungsian salah satunya membawa kepincangan pada gerak terbang kebangsaan yang bisa berujung kepada kekandasan…."
Tetapi ada hal yang perlu diluruskan untuk mengerti sosok Hatta sang proklamator. Pertama, tidaklah tepat menggambarkan Mohammad Hatta melalui pandangan Hildred Geertz (1960), sebagai berkebudayaan "Indonesia luar" yang bercorak perdagangan pesisir yang secara kuat dipengaruhi Islam dan kemudian oleh stimulus kultur Barat. Kalau kita mengenal Bung Hatta secara pribadi ataupun mau menyelami otobiografi dan biografi politik Hatta, jelaslah Hildred Geertz mengada-ada.
Kedua, untuk pelurusan sejarah, saya mengingatkan kembali memori sejarah bahwa Hatta membuat dua Maklumat Wakil Presiden dan dua Wasiat. Dua Wasiat Bung Hatta tidak dikemukakan di sini.
Maklumat X adalah Maklumat Wakil Presiden 16 Oktober 1945 (jangan rancu dengan maklumat berikutnya, 3 November 1945, sebagaimana dikemukakan Yudi Latif). Tentang Maklumat X, itu adalah ketika diadakan Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), diusulkanlah agar badan ini bisa berfungsi sebagai MPR dan DPR sebelum ada pemilihan umum. Usul ini disambut oleh sebagian besar anggota KNIP dan dapat diterima oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Maka lahirlah pada 16 Oktober 1945 Maklumat Wakil Presiden No X, yang isinya sebagai berikut.
Sesudah mendengar pembicaraan Komite Nasional Pusat tentang usul supaya sebelum MPR dan DPR dibentuk yang hingga sekarang kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional, yaitu Komite Nasional Pusat (Menurut Pasal IV aturan peralihan dari UUD) dan supaya pekerjaan KNIP sehari-hari dijalankan oleh sebuah badan yang bertanggung jawab kepada KNIP.
- Menimbang bahwa dalam keadaan yang genting ini perlu ada badan yang ikut bertanggung jawab tentang nasib
bangsa Indonesia di samping pemerintah.
- Menimbang selanjutnya bahwa usul tadi berdasarkan faham kedaulatan rakyat.
Memutuskan:
Bahwa KNIP sebelum terbentuk MPR dan DPR diberi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan KNIP sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih dari antara mereka dan bertanggung jawab kepada KNIP.
Jakarta, 16 Oktober 1945
Wakil Presiden RI
Mohammad Hatta.
Keberadaan parpol
Menurut keputusan ini, Badan Pekerja (BP KNIP) berkewajiban dan berhak dengan bekerja sama dengan Presiden untuk turut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. BP KNIP tak berhak ikut campur dalam kebijaksanaan pemerintah sehari-hari.
Sementara itu, pada 3 November 1945 keluarlah "Maklumat Wakil Presiden" tentang Partai Politik (yang bukan Maklumat X), yang berbunyi:
Partai politik: Dianjurkan pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik. Berhubung dengan usul Badan Pekerja Komite Nasional Pusat kepada pemerintah, supaya diberikan kesempatan kepada rakyat seluas- luasnya untuk mendirikan partai-partai politik, dengan restriksi, bahwa partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat, pemerintah menegaskan pendiriannya yang telah diambil beberapa waktu yang lalu bahwa:
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan
yang teratur segala aliran faham yang ada dalam masyarakat.
2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun, sebelum dilangsungkan pemilihan anggota badan
perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.
Jakarta, 3 November 1945
Wakil Presiden RI
Mohammad Hatta
Tentu aneh sekali bila meledaknya jumlah parpol peserta pemilu-pemilu yang lampau sering dituding sebagai akibat dari "kesalahan" lahirnya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945. Sebab, bila memang bangsa ini menghendaki jumlah parpol yang kecil, maka Maklumat Wakil Presiden ini dapat dikoreksi atau dicabut oleh maklumat baru atau oleh peraturan perundang- undangan lain. Adanya jumlah partai yang besar sebenarnya mencerminkan wujud ambivalensi bangsa ini sendiri berikut tokoh-tokoh partainya.
Yang perlu disimak, Maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 itu tegas-tegas menyebutkan bahwa "partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan kita mencapai kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat". Prasyarat ataupun penekanan ini kelihatannya tak dicerna dengan saksama dan dalam praktiknya partai- partai politik tidak menjadikan hal itu sebagai amanah; terutama partai-partai politik yang hidup ingar-bingar di era Reformasi saat ini. Di tahun 1950-an, jumlah partai sempat mencapai 19 buah dan pada Pemilu 1955 jumlah partai bertambah menjadi 28 buah, Hatta menyatakan bahwa jumlah partai itu terlalu banyak.
Kekecewaan Hatta
Alangkah kecewa Hatta ternyata partai-partai politik, langsung atau tidak, oknum fungsionarisnya terlibat korupsi. Terjadilah penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan keuangan negara besar-besaran. Apa yang terjadi saat ini sudah diwaspadai Mohammad Hatta pada tahun 1960, seperti dipetik dari tulisannya, "Demokrasi Kita".
"… bagi beberapa golongan, menjadi partai pemerintah berarti 'membagi rejeki'; golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan. Seorang menteri memperoleh tugas dari partainya untuk melakukan tindakan yang memberi keuntungan partainya. Seorang menteri perekonomian misalnya, menjalankan tugasnya dengan memberikan lisensi dengan bayaran tertentu untuk kas partainya. Atau dalam pembagian lisensi itu kepada pedagang dan importir atau eksportir, orang yang separtai didahulukannya. Keperluan uang untuk biaya pemilihan umum menjadi sebab kecurangan itu…."
Dengan kata lain keberadaan dan kehidupan partai tidak sesuai dengan konsideran (restriksi) Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945. Hatta sebagai negarawan kecewa bahwa korupsi di Indonesia telah membudaya.
(Halida Hatta, Alumnus Pascasarjana International University of Japan)
(Kompas cetak, 20 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Saya cuma ingin memberikan komentar mengenai jumlah partai pada Pemilu 1955. Sebenarnya jumlah partai pada Pemilu 1955 sangat banyak d1 mana pesertanya bukan saja dari partai politik, tapi juga diikuti oleh Ormas-Ormas dan peserta perorangan, sbb.:
BalasHapusPemilu untuk anggota DPR diikuti 118 peserta yang terdiri dari 36 partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 perorangan, sedangkan untuk Pemilu anggota Konstituante di ikuti 91 peserta yang terdiri dari 39 partai politik, 23 organisasi kemasyarakatan, dan 29 perorangan.
Sedangkan Hasilnya adalah sbb.:
Untuk DPR Sebanyak 28 partai termasuk Ormas dan satu Peserta Peorangan berhasil mendapatkan kursi di Parlemen (DPR)
Untuk Konstituante: Sebanyak 32 partai dan dua Peserta Perorngan berhasul mendapat kursi si Lembaga Konstituante.
Berdasarkan hala-hal tersebut jumlah partai pada Pemilu 1955, jauh lebih banyak dari pada yang dibayangkan oleh Penulis. (Lihat Komisi Pemilahan Umum).
Salam,
Tarmizi Bustamam