Tempo (15/9/2013), mengutip hasil survei CSIS Juli-September 2013, menempatkan Joko Widodo 28,6 persen, Prabowo Subianto 15,6 persen, Aburizal Bakrie 7 persen, Megawati Soekarnoputri 5,4 persen, Jusuf Kalla 3,7 persen, Mahfud MD 2,4 persen, dan Hatta Rajasa 2,2 persen. Survei Lembaga Survei Indonesia lebih spektakuler lagi: Jokowi 35,2 persen, Jusuf Kalla 21,2 persen, Hatta Rajasa 17,1 persen, Mahfud MD 15,1 persen, Suryadharma Ali 2,9 persen, Muhaimin Iskandar 2,2 persen, dan Anis Matta 1,9 persen.
Dari segi elektabilitas partai politik pendukung bakal calon presiden, Kompas (14/9) memaparkan perolehan suara PDI-P 23,6 persen, Partai Golkar 16 persen, Partai Gerindra 13,6 persen, Partai Demokrat 10,1 persen, PKB 5,7 persen, PPP 4,8 persen, Partai Nasdem 4,1 persen, Partai Hanura 2,7 persen, PAN 2,5 persen, dan PKS 2,2 persen. Rupanya partai berbasis ideologi nasionalisme dan partai Islam berbasis sebagian besar kaum nahdliyin masih dapat tempat di hati pemilih.
Partai Hanura, PAN, dan PKS harus berjuang keras memenuhi ambang batas parlemen agar tetap punya wakil di DPR. Impian Partai Hanura mengusung Wiranto-Hary Tanoesoedibjo, PAN dengan Hatta Rajasa sebagai capres, dan PKS dengan Anis Matta seakan-akan sirna. Namun, kompetisi belumlah usai. Energi politik bisa saja muncul di kala figur atau partai berada di ambang titik nadir. Semua bergantung pada strategi dan taktik politik. Figur bakal calon presiden dapat terdongkrak jika partai yang mengusungnya bercitra baik di mata publik. Jika tokoh muda atau bintang di dalam partai tercela karena tersangkut korupsi, hancur pula citra dan elektabilitas partai. Sebaliknya, elektabilitas figur bakal capres dapat pula mendongkrak elektabilitas partai seperti tergambar dari paparan Kompas di atas.
Strategi
Partai dan figur memiliki strategi masing-masing untuk menghancurkan pesaing politiknya atau mendongkrak elektabilitas politiknya. Ada usaha menghancurkan kredibilitas Jokowi melalui penagihan janji politiknya saat menjadi cagub DKI Jakarta (2012), ada yang menyatakan Jokowi hanya pelaksana program yang dibuat pendahulunya, mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, ada pula yang menyatakan bahwa seorang politikus harus konsisten ucapan-perbuatan.
Lepas dari beragam kritik terhadap Jokowi, termasuk dari Amien Rais, elektabilitas Jokowi malah kian meroket. Partai Golkar juga berupaya menarik Partai Nasdem agar seiring sejalan pada Pemilu 2014. Ini baik buat Golkar, tetapi bisa negatif buat Nasdem yang mencitrakan partainya sebagai pembaru politik Indonesia.
PKS masih berjuang keras agar citranya tak semakin terpuruk akibat nama Ketua Majelis Syura PKS Ustaz Hilmi dan Presiden PKS Anis Matta mulai disebut-sebut dalam penyidikan dan interogasi di KPK.
Ada juga partai yang memilih konvensi nasional sebagai cara memperbaiki citra politiknya. Partai Demokrat, misalnya, di tengah citra yang amat buruk akibat skandal korupsi yang dilakukan "bintang-bintang mudanya", berupaya mendongkrak elektabilitas melalui konvensi nasional untuk menjaring bakal capres dari partai itu. Padahal, kita semua tahu, konvensi nasional mengandung dua konsekuensi politik: memberi pesona politik seakan-akan parpol ini amat demokratis dalam menjaring bakal capres dari dalam dan luar parpol. Di sisi lain, ini menunjukkan betapa Partai Demokrat tak mampu melakukan pengaderan dan suksesi kepemimpinan yang baik di dalam, kecuali menghasilkan "bintang muda korup".
Konvensi Partai Demokrat, September 2013-April 2014, diikuti Anies Baswedan, Ali Masykur Musa, Dahlan Iskan, Dino Patti Djalal, Endriartono Sutarto, Gita Wirjawan, Hayono Isman, Irman Gusman, Marzuki Alie, Pramono Edhi Wibowo, dan Sinyo Harry Sarundajang. Dari 11 nama itu, hanya Sinyo Harry Sarundajang yang memiliki jabatan dan pengalaman paling lengkap: dosen di Universitas Sam Ratulangi, birokrat di Kementerian Dalam Negeri, Wali Kota Bitung, pejabat gubernur paling sukses di dua daerah konflik (Maluku Utara 2002 dan Maluku 2002-2003), serta kini masih Gubernur Sulawesi Utara untuk masa jabatan kedua.
Penerima Bintang Mahaputra Utama ini juga menerima doktor honoris causa dari Universitas Islam Negeri Malang Maulana Malik Ibrahim karena jasanya menjadi pemimpin yang adil di Maluku Utara yang mayoritas penduduknya Muslim walau ia penganut Kristiani.
Strategi figur bakal capres Partai Demokrat amat beragam. Gita Wirjawan, selain mengandalkan posisi sebagai Menteri Perdagangan melalui iklan di kereta api eksekutif, bandara, dan TV mengenai 100 persen Indonesia untuk membeli produk dalam negeri, juga melakukan survei pribadi yang mudah-mudahan tak menggunakan anggaran Kementerian Perdagangan. Gita punya jaringan relawan yang masih berpusat di Jakarta—Relawan Gerakan Cinta Tanah Air, disingkat Relawan Gita—dan bermarkas di Jaringnews, media online pimpinan Kastorius Sinaga di bilangan Setiabudi Barat, Jakarta. Gita yang tak punya akar sampai di daerah lebih mengandalkan jaringan dalam politisi di Partai Demokrat dan Partai Golkar, akademisi, tokoh Ansor, dan pengusaha.
Marzuki Alie masih mengandalkan jaringan relawan di Partai Demokrat yang dulu pendukung utamanya di Kongres Partai Demokrat (2010). Mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto mengandalkan jaringan angkatannya di akademi militer dulu dan tak membuat slogan politik apa pun untuk menarik pendukungnya. Anies Baswedan punya jaringan kelompok masyarakat yang bisa saja jadi pendukungnya: Indonesia Mengajar, Kelas Inspirasi, Komunitas Sabang-Merauke, dan Universitas Paramadina. Tentu tak semua orang yang aktif dalam jaringan itu mau dikaitkan dengan aktivitas politik inspirator muda pendidikan Indonesia ini.
Paling ramai
Dari semua bakal capres Partai Demokrat, Dahlan Iskan memiliki strategi paling ramai. Silaturahim politiknya bersama tim relawan di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, 22 Agustus 2013, benar-benar bergaya muda. Ia juga membentuk Relawan ReDI (Relawan Demi Indonesia) yang mungkin berasal dari kata dalam bahasa Inggris, ready, atau siap jadi presiden RI.
ReDI pada mulanya kumpulan pengagum Dahlan Iskan yang terserak di beberapa komunitas dunia maya, seperti Dahlanis, Diskon (Dahlan Iskan Koneksi), dan TrenDI. Dahlan tentu juga memiliki media massa yang amat diandalkannya meningkatkan popularitas dan elektabilitas politiknya: jaringan kelompok Jawa Pos.
Partai Demokrat tentu ingin memiliki bakal capres yang dapat mengimbangi Jo- kowi atau bisa disandingkan dengan Jokowi pada Pilpres 2014 jika Megawati Soekarnoputri mengizinkannya.
Di tengah kompetisi politik yang tak simetris dan juga tak sehat ini, PDI-P jangan terlalu jemawa. Strategi, langkah politik, dan pernyataan politik yang salah dari Jokowi atau tokoh PDI-P bisa dijadikan sasaran tembak mereka yang tak ingin Jokowi muncul sebagai capres, bahkan presiden RI mendatang. Energi yang melimpah dalam 10 bulan ke depan bisa saja menghasilkan strategi dan taktik buruk yang dapat mengurangi meroketnya elektabilitas PDI-P pada pemilu legislatif dan figur Jokowi pada Pilpres 2014.
(Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset LIPI, Jakarta)
(Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002143536 )
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar