Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 19 September 2013

Mencari ”Wakil Tuhan” (Tajuk Rencana Kompas)

DPR sedang menyeleksi empat hakim agung dari dua belas calon yang diajukan Komisi Yudisial. Hakim akan mengisi kekurangan hakim di MA.

Pasca-Perubahan UUD 1945, seleksi hakim agung berubah. Komisi Yudisial dilahirkan, selain untuk menjaga kehormatan hakim, juga ikut menyeleksi calon hakim agung. Seleksi calon hakim agung dibuat berjenjang melalui Komisi Yudisial dan DPR. Proses itu telah dilakukan beberapa kali.

Apakah seleksi hakim agung melalui Komisi Yudisial dan DPR telah bisa menghadirkan keadilan di bumi Indonesia? Jawabannya, belum! Bahkan, ada beberapa hakim agung yang direkrut Komisi Yudisial dan DPR membuat putusan yang mengecewakan. Kasus terakhir adalah diterimanya permohonan peninjauan kembali (PK) Sudjiono Timan yang berstatus buronan. Sudjiono dituduh merugikan negara Rp 2 triliun dan divonis majelis kasasi yang diketuai Bagir Manan, tetapi dibebaskan hakim PK. Anggota majelis hakim PK adalah hasil seleksi Komisi Yudisial yang selama ini rekam jejaknya baik di mata publik. Aroma tak sedap muncul.

Reformasi MA belum menunjukkan hasil. Skandal salah ketik putusan dalam kasus narkotika dan perdata tak boleh dipandang remeh dan diredusir hanya urusan teknis semata. Belum lagi putusan kontroversial korps jubah hitam dalam kasus narkotika dan korupsi yang mengecewakan masyarakat dan pencari keadilan. Pada peradilan pertama bahkan ada hakim yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena memperjualbelikan keadilan dan kemudian dihukum penjara!

Berbagai kasus yang terjadi menunjukkan reformasi peradilan belum mengubah kultur korps kehakiman. Lembaga keadilan tetaplah menjadi pasar gelap keadilan. Tuntutan organisasi hakim untuk melepaskan diri dari pemerintah demi alasan kemandirian kekuasaan kehakiman pada masa Orde Baru ternyata belum mendatangkan keadilan di muka bumi Indonesia.

Kita ikuti proses seleksi DPR untuk memilih wakil Tuhan. Namun, melihat peristiwa jual beli keadilan, salah ketik vonis yang terjadi di lingkungan MA, kita tak boleh terlalu banyak berharap pada proses seleksi itu. Kita hanya mau mengingatkan DPR agar sebisa mungkin mendapatkan hakim yang integritasnya tak tercela dan bukan mencari hakim yang bisa mengakomodasi kepentingan politisi yang terjerat kasus. DPR harus bisa memilih hakim yang bisa menangkap rasa keadilan masyarakat.

Masuknya tokoh yang selama ini dikenal baik, tetapi justru bermasalah saat berada di MA, menunjukkan ada sistem dan kultur di MA yang perlu dibenahi. Sistem persidangan tertutup di MA berpotensi membuka ruang terjadinya pasar gelap keadilan. Reformasi sistem peradilan harus dilakukan agar orang baik yang masuk ke MA tidak ikut larut dalam sistem yang tidak mendukung tegaknya hukum dan keadilan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002182638
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger