Sejak awal, Indonesia mendorong penyelesaian secara damai, tanpa perlu penggunaan kekuatan militer. Sikap itu dipertegas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini di tengah lontaran keinginan Amerikat Serikat melancarkan serangan militer terbatas ke Suriah tanpa harus mendapat mandat PBB.
Sejumlah pertimbangan menjadi alasan Indonesia menolak serangan militer. Dalam serangkaian jumpa pers selama lawatan ke Kazakhstan, Polandia, dan Rusia awal bulan ini, Presiden SBY menyatakan, penggunaan kekuatan militer dalam skala apa pun hanya akan menambah tragedi kemanusiaan di Suriah. Serangan militer yang satu akan disusul serangan berikutnya, yang pasti meminta korban jiwa dan kerugian material.
Pilihan penyelesaian damai atas kasus Suriah juga sesuai dengan konstitusi, yang mengamanatkan bangsa dan negara Indonesia harus ikut menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia. Presiden SBY sudah menegaskan posisi Indonesia kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon di sela-sela pertemuan puncak negara-negara Grup 20 awal bulan ini di St Petersburg, Rusia. Lebih jauh, Presiden SBY menyatakan sudah mengirim surat kepada Presiden AS Barack Obama dan sejumlah pemimpin dunia lainnya agar segera dilaksanakan gencatan senjata di Suriah di bawah kontrol PBB. Belum diketahui dampak upaya Indonesia, tetapi AS sudah mengendurkan rencana serangan.
Tiba-tiba keadaan menjadi tegang dengan cepat lagi setelah tim peneliti PBB menemukan bukti penggunaan senjata kimia, khususnya gas sarin, dalam serangan 21 Agustus lalu di Damaskus. Serangan itu menewaskan 1.408 orang. Kalangan oposisi menuduh pemerintahan Presiden Bashar al-Assad bertanggung jawab atas pembantaian dengan gas beracun itu. Sebaliknya, penguasa menuduh oposisi berada di balik serangan senjata kimia itu.
Siapa pun otak dan pelaku serangan, penggunaan senjata kimia hanya menambah absurd atas konflik sosial politik di Suriah yang sudah berlangsung sekitar 2,5 tahun. Puluhan ribu orang tewas dalam kekacauan politik yang penuh darah itu. Bangsa Suriah sendiri ataupun negara-negara di kawasan Timur Tengah tidak mampu mengatasi krisis berdarah itu, sementara dunia terpecah antara kubu pendukung pemerintahan Assad dan pendukung oposisi.
Negara Barat, seperti AS, Inggris, dan Perancis, yang mendukung kubu oposisi mendorong intervensi militer, sementara Rusia dan China yang mendukung Presiden Assad menolak penggunaan kekuatan militer. Gagasan gencatan senjata di bawah kontrol PBB, seperti disampaikan Presiden SBY, jangan-jangan efektif sebagai jalan tengah untuk menghentikan konflik berdarah di Suriah.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002182599
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar