Pertama, kembangkan rasa bangga menggunakan bahasa Indonesia tak hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga identitas bangsa. Kegemaran pejabat publik menyelipkan kosakata asing, padahal ada padanannya dalam Indonesia, tentu kontroversial dan kontraproduktif.
Kedua, bahasa adalah konvensi sehingga dijaga jangan muncul seloroh "ayatulloh bahasa" (mengutip Rosihan Anwar). Sebaliknya, jangan biarkan bahasa Indonesia berkembang liar sehingga fungsi pokok sebagai sarana komunikasi mandul, apalagi sebagai identitas diri.
Ketiga, pendidikan sebagai salah satu sarana memperkuat posisi bahasa Indonesia setuju perlu dibenahi. Tak hanya pembenahan dari sisi alokasi jam pelajaran, tetapi juga sistem dan praksis pengajaran bahasa.
Keempat, langkah-langkah persuasif perlu dilakukan, misalnya diintrodusir persyaratan penerimaan pegawai negeri lewat kecakapan berbahasa Indonesia.
Kelima, sebagai sarana membahasakan ilmu pengetahuan, perlu semakin banyak ilmuwan berbagai disiplin ilmu memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi.
Kelima syarat itu jangan mematikan keharusan melihat ke depan dan ke lingkungan global yang tengah berkembang. Menghapus bahasa Inggris sebagai pelajaran wajib dalam Kurikulum 2013 bukan kebijakan yang bijak.
Karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional, selain sebagai sarana lingua franca, juga bahasa keilmuan antarbangsa di dunia, kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Inggris adalah keharusan kalau kita tidak ingin terkucil dari pergaulan dunia.
Potensi besarnya jumlah penutur, argumentasi bahasa Indonesia (sekitar 240 juta) sebagai embrio bahasa ASEAN, seperti yang disuarakan peserta Kongres Bahasa Indonesia X (28-31 Oktober 2013), kurang memadai. Pun dengan dimasukkannya sekitar 30 juta warga Malaysia dan sekitar 420.000 warga Brunei yang bertutur dengan bahasa Melayu. Sebab, kedua bangsa itu selaras menggunakan bahasa Melayu sekaligus Inggris.
Yang dihadapi bahasa Indonesia, meskipun perkembangannya lebih cepat dibandingkan Melayu, laju "kerusakan" berjalan seiring dengan keinginan menjadikannya sebagai embrio bahasa ASEAN. Bahasa komunitas yang sebenarnya dialek suatu komunitas, karena disebar dalam waktu serempak dan luas, diamini sebagai ragam bahasa. Bahasa "gaya bebas" Vicky Prasetyo tanpa sadar mengeksklusifkan bahasa Indonesia sendiri.
Catatan di atas semoga menjadi pertimbangan mencegah rekomendasi kongres yang sloganistis kental aroma politik yang menambah tumpukan sampah rekomendasi dan instruksi.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002910567
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar