Akurasi data adalah persoalan klasik yang tak pernah benar-benar tuntas di negeri ini. Data jumlah penduduk kategori miskin, misalnya, tidak pernah sama di sejumlah kementerian dan lembaga. Lalu, apakah kisruh daftar pemilih tetap pemilu tahun 2009 akan terulang pada pemilu mendatang?
Pengalaman buruk kisruh DPT lima tahun lalu semestinya menjadi pengalaman pahit dan pelajaran berharga bagi pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membenahi sistem pendataan pemilih. Namun alih-alih berkaca pada pengalaman buruk ketika jutaan pemilih tak bisa menggunakan hak politik mereka, pemerintah dan KPU terkesan menganggapnya sebagai persoalan sepele. Harapan publik agar pemerintah dan KPU duduk bersama menuntaskan data pemilih agar benar-benar akurat tak kunjung dilakukan hingga akhirnya penetapan DPT gagal dilakukan Rabu (23/10) yang lalu.
Sebenarnya tersedia rentang waktu cukup lama bagi pemerintah—Kementerian Dalam Negeri—untuk menyiapkan data penduduk yang akurat sebelum akhirnya dimutakhirkan KPU menjadi data pemilih. Sesuai perintah UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, pemerintah berkewajiban menyerahkan data agregat kependudukan per kecamatan (DAK2) dan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) kepada KPU dan jajarannya paling lambat 16 bulan sebelum pemilu. Data penduduk dan DP4 telah diserahkan oleh Kementerian Dalam Negeri sejak Desember 2012, tetapi tampaknya masih bermasalah sehingga daftar pemilih sementara (DPS), daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP), dan DPT yang menjadi tanggung jawab KPU pun masih amburadul.
Secara nominal selisih data yang dimiliki KPU melalui sistem informasi data pemilih (sidalih) dan data KPU kabupaten/kota se Indonesia "hanya" sekitar 400.000 (Kompas, 24/10). Jumlah ini mungkin relatif kecil dibandingkan total 186 juta pemilih, tetapi karena menyangkut hak politik warga negara, jelas tidak layak untuk memaksakan penetapan DPT ketika sebagian warga negara dicederai hak politiknya.
Pertanyaannya, apakah benar data pemilih bermasalah tinggal 400.000? Soalnya, pada awal Oktober 2013 yang lalu, Kemendagri dan KPU mengakui, masih ada sekitar 20,3 juta data pemilih yang tidak sinkron satu sama lain (antaranews.com, 4/10). Apakah "perbaikan" dan "sinkronisasi" data benar-benar serius dilakukan, atau sekadar kutak-katik di belakang komputer, kita tidak tahu.
Akar masalah
Ada beberapa faktor di balik potensi kisruh data pemilih Pemilu 2014 mendatang. Pertama, kecenderungan umum jajaran pemerintah merekam dan mendokumentasikan data, termasuk data pemilih, dalam perspektif "proyek". Data penduduk bisa dibesarkan atau sebaliknya dikecilkan dalam rangka hitungan proyek yang menguntungkan bagi aparat birokrasi itu sendiri. Kehadiran nomor induk kependudukan (NIK) tunggal diharapkan dapat meminimalkan manipulasi seperti ini, tetapi hingga kini proyek NIK sendiri belum sepenuhnya selesai.
Kedua, perubahan data penduduk (DAK2 dan DP4) menjadi data pemilih (DPS, DPSHP, dan akhirnya DPT) dilakukan dua institusi yang berbeda, yakni pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dan jajaran KPU. Potensi terdokumentasinya data yang tidak akurat dan tak sinkron cenderung tetap tinggi karena rentang tanggung jawab kelembagaan yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Belum lagi menghitung dinamika penduduk yang tinggi (pindah domisili, meninggal, kelahiran baru, dan lain-lain) dalam rentang waktu yang panjang, yakni sejak 2009 hingga akhir 2012. Pertanyaannya, siapa yang mengecek akurasi data penduduk yang disiapkan pemerintah sebelum diserahkan kepada KPU? Tidak ada. Sementara itu, pada tingkat data pemilih, pemutakhiran data pemilih oleh KPU diawasi Bawaslu (nasional dan provinsi) dan Panwaslu (kabupaten/kota).
Ketiga, pemberlakuan stelsel pendaftaran aktif. Seperti diketahui, sejak 2009 diberlakukan stelsel pendaftaran aktif, dalam arti pemilih harus mendatangi petugas pendata pemilih jika namanya belum terdaftar. Pada Pemilu 1999 dan 2004, petugas/panitia pendaftaran pemilih (pantarlih) yang aktif mendata pemilih ke rumah-rumah penduduk.
Pertanyaannya, berapa banyak jumlah warga negara yang benar-benar sadar dan mau mengecek nama mereka di kantor desa, kelurahan, atau di situs web KPU? Patutkah rakyat kita disalahkan apabila mereka tidak sempat mengecek namanya di kantor desa dan kelurahan? Mengapa kita tidak menghitung energi, waktu,
dan biaya yang harus dikeluarkan rakyat kita yang berdomisili di pelosok-pelosok yang jauh dari kantor desa dan kelurahan?
"Roh" pemilu
Pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada), kini telah menjadi keseharian demokrasi kita. Pilkada bahkan berlangsung beberapa kali dalam seminggu di sejumlah daerah yang berbeda di seluruh Tanah Air. Data pemilih semestinya memiliki akurasi tinggi karena setiap kali berlangsung pilkada, KPU setempat melakukan pemutakhiran data pemilih. Karena itu, menjadi keprihatinan kita jika pemerintah dan KPU tidak kunjung mampu mengelola dan menyinkronkan data penduduk dan data pemilih yang bisa berdampak pada tercederainya hak politik sebagian warga negara.
Oleh karena itu, sebelum pengalaman buruk Pemilu 2009 terulang, pemerintah, KPU, dan DPR perlu duduk bersama untuk merumuskan solusi terbaik, tak hanya terkait finalisasi DPT, tetapi juga memastikan agar semua warga negara yang berhak memilih dapat menggunakan hak politik mereka.
Keputusan menunda pengesahan DPT sudah diambil KPU Rabu kemarin. Namun, di luar prosedur formal-administratif dalam bentuk penetapan DPT, di atas segalanya, yang jauh lebih penting adalah memberi jaminan bahwa pemilih yang tidak terdaftar di dalam DPT pun semestinya diberi ruang yang dipermudah untuk menggunakan hak politiknya. Jangan sampai hak politik rakyat dikorbankan demi pemenuhan prosedur pemilu yang semakin birokratis.
Terlampau berat bagi bangsa kita melangkah lebih maju ke depan bila data penduduk dan data pemilih saja tidak terkelola secara benar, akurat, dan akuntabel. Tanpa harus menunjuk siapa yang bersalah, kegagalan mengelola data pemilih secara benar bagaimanapun merefleksikan kualitas pencapaian demokrasi kita.
Persoalannya, data pemilih bukan sekadar deretan nama pemilih berikut identitas administratif lain yang melekat padanya, melainkan justru "roh" pemilu itu sendiri. Di balik data pemilih yang tampak administratif, sesungguhnya terekam harapan jutaan rakyat akan hadirnya para wakil rakyat dan pemimpin yang lebih bertanggung jawab, serta mimpi akan perubahan hidup yang lebih baik bagi mereka. Juga, di balik data pemilih yang cenderung disepelekan itulah masa depan demokrasi dan bangsa kita dipertaruhkan.
Tidak ada pemilu tanpa pemilih, dan tentu saja, tidak ada demokrasi tanpa keduanya. Karena itu, mengelola dan merawat data pemilih secara benar pada dasarnya adalah kewajiban luhur dalam rangka mengelola demokrasi yang kita rebut dengan biaya sosial, politik, dan ekonomi yang tak ternilai harganya.
(SYAMSUDDIN HARIS, Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002809128
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar