Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 02 November 2013

Dari Akil ke Hamdan (Tajuk Rencana Kompas)

Sebuah drama dipertontonkan Mahkamah Konstitusi. Setelah Majelis Kehormatan memecat Akil Mochtar, MK langsung memilih ketua baru MK.

Saran Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan agar MK menunda terlebih dahulu pemilihan Ketua MK, sampai DPR menyatakan sikapnya atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013, tidak dihiraukan MK. Pemilihan Ketua MK dilakukan delapan hakim konstitusi meskipun Pasal 24C UUD 1945 menyebutkan MK terdiri atas sembilan hakim konstitusi.

Melalui pemilihan dua babak, Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva, yang sebelumnya anggota Komisi Hukum DPR, terpilih sebagai Ketua MK 2013-2016 menggantikan Akil Mochtar yang pernah menjadi anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Golkar. Hamdan terpilih dengan lima dukungan hakim konstitusi, sementara Arief Suharyadi mendapat tiga dukungan. Pemilihan Wakil Ketua MK bahkan harus berlangsung tiga putaran. Baru pada putaran ketiga, terpilih Hakim Konstitusi Arief Hidayat, seorang akademisi, mengungguli Patrialis Akbar yang pernah menjadi pengurus Partai Amanat Nasional. Pemilihan harus dilakukan tiga putaran karena baik Ketua MK maupun Wakil Ketua MK harus mendapat dukungan mayoritas dari hakim konstitusi.

Pemilihan Ketua MK/Wakil Ketua MK seharusnya menjadi pelajaran bagi MK bahwa hanya dengan delapan konstitusi yang jumlahnya genap bisa terjadi deadlock dalam pengambilan keputusan kasus uji materi undang-undang. Pemilihan tiga babak itu juga menunjukkan adanya perkubuan di dalam tubuh MK. Kondisi itu harus diantisipasi sehingga DPR harus segera mengusulkan pengganti Akil.

Kepemimpinan MK yang baru punya pekerjaan rumah yang berat. Anjloknya kepercayaan rakyat terhadap MK adalah pekerjaan rumah yang harus dijawab MK. MK juga masih akan dihadapkan pada problem konstitusional yang tidak mudah setelah diterbitkannya Perppu No 1/2013 yang mengatur soal seleksi hakim konstitusi sesuai dengan persyaratan dengan melibatkan panel ahli, pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi permanen. Perppu itu merupakan hukum positif sebelum ditolak DPR.

MK harus bersiap dan mengantisipasi putusan PTUN Jakarta yang sedang menyidangkan keabsahan penunjukan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah aktivis LSM mempersoalkan penunjukan Patrialis yang dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.

MK juga harus bersiap dengan kemungkinan kesaksian Akil dalam pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi ataupun di pengadilan korupsi. Dalam persidangan terbuka, kita akan mengetahui apakah dalam penyelesaian sengketa Pilkada Gunung Mas dan Lebak serta pilkada lain Akil bermain sendiri atau ada keterlibatan hakim konstitusi lain. Situasi ini harus diantisipasi.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002950010
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger