Hasrat dari perguruan tinggi negeri eks Badan Hukum Milik Negara untuk memperjuangkan otonomi kampus akhirnya terkabul.
Empat PTN, Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), akhirnya menjadi PTN badan hukum setelah statuta keempat PTN tersebut disahkan oleh presiden pada Oktober lalu (Kompas, 23/10/13). Selanjutnya, empat PTN lain, yakni Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) akan menyusul kemudian.
Masih jauh dari harapan
PTN badan hukum merupakan solusi yang dipilih pemerintah untuk memberikan kejelasan status bagi PTN yang dulu menyandang predikat BHMN. Hal ini karena pasca-dibatalkannya UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi, praktis PTN BHMN tidak memiliki payung hukum lagi. Sebab PP No 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum sudah tidak berlaku setelah dikeluarkannya PP No 7/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
PTN badan hukum kini dipayungi UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Lebih lanjut diatur melalui PP No 58/2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Pertanyaannya kemudian, apakah kebijakan otonomi kampus melalui UU No 12/2012 dan PP No 58/2013 mampu menjamin peningkatan kualitas pendidikan tinggi dan aksesibilitasnya?
Bila kita telisik ke belakang, otonomi kampus dimulai dengan pembentukan PT BHMN pada 2000. PTN yang jadi BHMN memang punya kelebihan dan kekurangan. Kampus BHMN jadi lebih independen karena pemerintah mengurangi kewenangannya (otonom). Namun, sisi lain, biaya pendidikan jadi kian mahal. Hal ini sebagai konsekuensi atas dibolehkannya kampus mencari pendanaan sendiri dan pemerintah mengurangi kontribusinya.
Sebagai gambaran, sebelum menjadi BHMN biaya kuliah di UI sekitar Rp 250.000, tetapi begitu UI berubah menjadi BHMN, biaya operasional pendidikan (BOP) untuk sarjana reguler membengkak menjadi Rp 1.250.000 dan mencapai Rp 5 juta pada 2008/2009 (termasuk 2012/ 2013) untuk rumpun ilmu sosial dan humaniora. Hal ini belum termasuk kelas paralel, advokasi, dan internasional yang jauh lebih mahal. Banyak pihak akhirnya mengecam PT BHMN karena dinilai menyulitkan mahasiswa dan hanya menguntungkan segelintir elite di kampus. Mekanisme pembiayaan berkeadilan dan beasiswa ternyata tak mampu menyelesaikan ketimpangan kemampuan ekonomi mahasiswa.
Kemudian, bagaimana kualitas pendidikan kita semenjak era reformasi, atau era otonomi kampus. Menurut QS University World Rankings, kampus di Indonesia kalah bersaing dengan kampus negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, bahkan cenderung mengalami penurunan peringkat. Pada 2011, peringkat UI turun dari 201 (2009) menjadi 217. Sementara National University of Singapore (NUS) naik dari 30 (2009) jadi 28. Universiti Malaya juga naik peringkat dari 180 (2009) menjadi ke-167. Peringkat UI sebagai kampus unggulan di Indonesia terus merosot pada 2012, di mana UI ditempatkan pada peringkat ke-273 dunia. Sementara NUS dan Universiti Malaya masing-masing di peringkat ke-28 dan ke-167.
Kondisi ini tentu mengkhawatirkan. Otonomi yang dicita-citakan para pemilik kebenaran akademik nyatanya masih jauh dari harapan.
Kewenangan untuk mengelola keuangan kampus secara mandiri dan menetapkan kebijakan akademik tanpa campur tangan pemerintah tidak berbanding lurus dengan kualitas perguruan tinggi. Justru otonomi kampus menciptakan raja-raja kecil dan konflik internal di kampus. Kampus bahkan sudah masuk pusara korupsi, bahkan bersekongkol dengan kekuatan politik di parlemen. Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi juga sangat rendah, yakni 18,53 persen (data BPS, 2012), padahal target pada 2014 adalah 30 persen. Hal ini menunjukkan, aksesibilitas ke perguruan tinggi masih sangat sulit.
Meminjam istilah Agus Suwignyo, saat ini kampus sedang mengalami kekosongan (Kompas, 30/10/2013). Kekosongan ini antara lain terjadi karena dosen telah keluar dari orientasi kehidupan intelektual, dengan hanya mengejar jabatan struktural di kampus serta jabatan lain di birokrasi dan politik. Otonomi kampus sendiri berpeluang besar dalam menggiring insan akademis berebut mencari potongan kue kekuasaan. Bisa jadi, bukan karena kampus tak otonom dalam akademik ataupun tak memiliki otonomi dalam hal pengelolaan keuangan sebagai akibat mundurnya kampus kita, melainkan karena elite kampus sudah terkena sindrom syahwat kuasa.
Otonomi sejatinya diperlukan, tapi tidak melulu soal kebebasan mencari sumber dana lain yang cenderung mengarah pada usaha untuk melepaskan tanggung jawab (privatisasi) ketimbang membangun bangsa yang cerdas. Argumen yang menyatakan bahwa negara masih memberikan bantuan berupa biaya operasional dan beasiswa adalah logika yang sesat. Karena porsi anggaran pemerintah tidak lebih besar daripada beban yang harus ditanggung masyarakat. Padahal, mencerdaskan bangsa merupakan tanggung jawab negara, yang berarti andil negara harus lebih besar.
Pemerintah harus hadir
Pendidikan yang berkualitas memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, bukan berarti pemerintah menarik diri. Pemerintah justru harus hadir untuk melaksanakan tugas konstitusi dengan tetap memberikan akses pendidikan yang terjangkau dan berkualitas bagi setiap warga negara.
Penulis berkesimpulan bahwa otonomi kampus berdasarkan UU No 12/2012 dan PP No 53/2013 bukanlah satu bentuk otonomi yang mencita-citakan pencerdasan bangsa. Kedua aturan tersebut tak lain hanya memberikan jalan bagi pemerintah untuk tetap melaksanakan praktik semiprivatisasi guna mengurangi beban anggaran negara sekaligus melanggengkan zona nyaman (comfort zone) para birokrat kampus.
Otonomi yang baik adalah yang memberikan kewenangan kepada kampus untuk mengelola kampusnya, linear dengan arah kebijakan pendidikan nasional (mencerdaskan kehidupan bangsa) dan independensi pengelolaan kelembagaan. Termasuk masalah keuangan kampus yang bersumber dari negara secara akuntabel dan transparan.
(Tulus Santoso, Tenaga Ahli Anggota DPR Komisi X)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002950015
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar