DALAM minggu terakhir ini, media nasional diramaikan berita penyadapan terhadap para pejabat Indonesia oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Australia di Jakarta.
Tanggapan dari sejumlah komponen masyarakat pun ramai bermunculan, rata-rata dengan nada keras. Namun, pemerintah secara resmi baru menyampaikan tanggapan kerasnya setelah media Australia memublikasikan keterangan paling anyar dari Edward Snowden, mantan agen Badan Keamanan Nasional (NSA) AS, tentang disadapnya sepuluh pejabat tinggi Indonesia, termasuk Presiden SBY dan Ibu Ani Yudhoyono.
Secara geografis Indonesia bercirikan negara kepulauan, letaknya sangat strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Secara demografis memiliki penduduk 230 juta orang, nomor empat terbesar di dunia. Kondisi ini membuat banyak negara maju, terutama AS, Australia, dan China, berkepentingan terhadap Indonesia agar pemerintah dan rakyatnya dapat dikendalikan atau paling tidak dapat bekerja sama dengan mereka.
Karena itu, sejak kemerdekaan Indonesia, AS dan Australia tidak pernah absen dalam setiap pergantian pemerintahan, selalu berusaha untuk campur tangan secara terbuka atau diam-diam. Dalam mewujudkan kepentingannya, tentu mereka membutuhkan data intelijen yang akurat, untuk itu penyadapan adalah cara paling gampang, cepat, dengan hasil berakurasi tinggi. Jadi, jangan pernah berharap agar mereka berhenti memata-matai, termasuk lewat penyadapan.
Sebenarnya penyadapan terhadap pejabat atau institusi Indonesia oleh Australia sudah berlangsung lama. Lebih intens lagi saat Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia dan puncaknya pada saat dilakukan jajak pendapat tahun 1999. Pernah terjadi, transkrip pembicaraan antara seorang perwira Indonesia yang bertugas di Timor Timur dan Panglima TNI di Jakarta dipublikasikan media Australia beberapa hari sebelum pelaksanaan jajak pendapat. Protes pun dilayangkan, tetapi tindakan intel-mengintel memang tidak akan pernah berhenti.
Sebagai negara maju, Australia memiliki kemampuan dan penguasaan teknologi jauh di atas Indonesia. Fasilitas radarnya yang berkedudukan di Alice Spring, Australia Tengah, memiliki kemampuan meng-cover sebagian wilayah Indonesia. Mereka bisa mendeteksi pergerakan pesawat tempur kita sejak melakukan airborne dari pangkalan udara di Madiun atau Makasar.
Pada sisi lain, suatu kenyataan kodrati bahwa Indonesia dan Australia merupakan negara tetangga yang seharusnya hidup berdampingan secara harmoni, bersahabat dengan tulus, serta saling menghargai dan menguntungkan. Namun, sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, hubungan kedua negara justru sering kali diliputi masalah.
Penyebabnya, pertama jurang perbedaan kultur Barat dan Timur yang cukup lebar. Kedua, mungkin karena dilatari kesamaan kultur dan kepentingan, orientasi diplomasi Australia lebih memilih menjadi anteknya AS yang terletak nun jauh di sana ketimbang menjadi tetangga dan sahabat baik Indonesia serta negara ASEAN lainnya. Kedua hal inilah yang sering menjadi penyebab terjadinya gesekan antara Indonesia dan Australia.
Menatap ke depan
Globalisasi adalah proses "siapa mengendalikan siapa". Bagi AS dan Australia, globalisasi merupakan peluang emas untuk bisa mengendalikan dan memanfaatkan sumber daya serta potensi pasar Indonesia. Karena itu, mereka akan selalu berupaya "mengglobali" kita.
Agar tidak selalu "diglobali", kita "harus" berusaha keras untuk pada saat yang sama meningkatkan dua kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan mewujudkan "integrasi internal" agar dapat dicapai tingkat kohesivitas tinggi yang ditandai harmoni dalam keanekaragaman. Selain itu, kemampuan "adaptasi eksternal" agar mampu melakukan pembaruan-pembaruan dan modernisasi. Harus jujur diakui bahwa dalam kedua hal ini kita belum cukup kuat, bahkan cenderung melemah setelah kita membuka keran kebebasan nyaris tanpa batas saat memasuki era reformasi.
Bagi Indonesia yang memiliki kemajemukan superlebar-multidimensional, ditambah ciri geografisnya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Membuat kita menghadapi potensi konflik yang cukup besar dan risiko ekonomi biaya tinggi dalam pembangunan nasional. Itu berarti, betapa beratnya perjuangan mewujudkan dua kemampuan di atas. Itu sebabnya Indonesia sungguh memerlukan kepemimpinan nasional yang kuat, bersih, berkarakter, berkompetensi, serta teladan.
Dalam mewujudkan dua kemampuan tersebut, patut menjadi perhatian bersama kata-kata Bung Hatta sebagai berikut: "Selama Indonesia belum benar-benar merdeka dan mandiri, bersatu hati dengan Barat biasanya tidak akan ditolong, tetapi digolong." Itu pula sebabnya Bung Karno tidak pernah mau menyerahkan pengelolaan SDA kita terhadap kaum kapitalis (Barat) selama kita belum memiliki kemampuan sendiri untuk mengelolanya.
Kerja sama intelijen
Memang, tidak mungkin kita mengucilkan diri dari dunia internasional, kita juga belum memiliki kemampuan teknologi memadai untuk mengelola SDA, maka kita perlu menjalin kerja sama (termasuk bidang intelijen) dengan banyak pihak, termasuk Barat. Namun, tak boleh mengorbankan kepentingan nasional dan jangan pernah berperilaku membungkuk terhadap mereka, tetapi harus berani berdiri sama tegak. Cerita tentang Bung Karno mengancam akan meninggalkan Gedung Putih apabila Presiden Eisenhower tidak segera menemuinya dalam 15 menit, setelah beliau tersinggung karena harus menunggu cukup lama, adalah contoh konkret dari seorang pemimpin bangsa yang berani dan berkarakter.
Kewaspadaan tinggi adalah hal lain yang mutlak harus dilakukan karena tidak ada perang tanpa "pengelabuan" dan tidak ada diplomasi tanpa "intrik". Harus pula menjadi perhatian bahwa dalam perang ataupun diplomasi, akan selalu ada oknum pengkhianat, oportunis yang mencari keuntungan pribadi sehingga tega mendukung kepentingan pihak asing ketimbang bangsanya sendiri.
KIKI SYAHNAKRI, Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003307362
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar