ADA semacam kegembiraan yang tidak bisa saya tutupi, setidaknya dari diri saya sendiri, mengenai hal apa pun yang berkenaan dengan kata "kebudayaan" belakangan ini.
Kegembiraan itu, tentu saja, adalah sebuah sinyal positif dari seseorang yang selama ini sering dianggap sebagai pesimis dalam menyikapi realitas mutakhir negeri ini. Setidaknya tiga penanda yang memberi alasan kegembiraan itu.
Pertama, kata tersebut belakangan, sekurangnya dalam lima tahun terakhir, mulai terlihat dan terdengar cukup intensif dibicarakan oleh banyak kalangan. Ia telah menjadi salah satu topik yang cukup kuat untuk menciptakan sebuah perbincangan publik (public discourse). Berbagai komunitas yang diisi para praktisi mulai membincangkan dan memperhitungkannya sebagai bagian penting, signifikan, bahkan vital dalam operasi kerja mereka sehari-hari. Entah itu dalam komunitas politik, ekonomi, hukum, akademik, hingga religius.
Hal pertama ini sungguh penting lantaran kesadaran yang berkecambah di atas menjadi bukti dari apa yang kerap saya nyatakan tentang bangunan kenegaraan kita semestinya diereksi dari fundamen nilai-nilai yang berdiam dalam kebudayaan. Dasar itu yang selaiknya ditumbuhkan dalam memperoleh apa yang kita sebut dengan "budaya politik nasional", "budaya ekonomi nasional", "budaya hukum nasional", dan seterusnya. Hal yang menurut saya selama ini terabaikan, tepatnya tidak disadari urgensinya, sehingga dengan mudahnya kita mengadopsi dan menginternalisasi—hingga detail-detailnya—budaya asal (oksidental) yang tersembunyi dalam ilmu-ilmu modern yang kita pelajari sejak usia dini.
Tentu saja, semua kebutuhan kultural itu belum terpenuhi, belum dapat diformat atau didefinisikan apalagi didiseminasi secara luas ke kalangan yang menjadi anggota komunitas-komunitas itu. Namun, awal yang baik ini menunjukkan sebuah niat dan semangat dari bangsa kita untuk menjadikan diri mereka sendiri sebagai manusia atau bangsa yang penuh adab, terhormat, dan penuh dengan rasa percaya diri. Dalam bahasa lain, bangsa yang (berniat dan bekerja untuk) berkebudayaan tinggi.
Apa yang cukup membuat miris adalah kesimpangsiuran, ketidakjelasan, atau obskuritas juga kesembronoan dalam memahami makna dasar dari terma besar itu. Kita mafhum bagaimana komprehensi tentang makna kebudayaan sekurangnya ditarik-tarik sesuai kepentingan sektoral dari tiap komunitas. Katakanlah sebuah contoh, antara dua kementerian dalam kabinet RI terakhir: Pariwisata dan Industri Kreatif serta Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun, kenyataan itu bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Bahkan sesungguhnya wajar, lebih jauh lagi memang harus terjadi. Kekacauan sejak di tingkat etimologis dan semantik itu justru memberi kita peluang untuk menciptakan sebuah pemahaman yang lebih lapang dan komprehensif karena ia telah diosmosa oleh keragaman pikiran yang luar biasa, sebagaimana ragam budaya dan subbudaya yang nyata ada di negeri ini.
Keremangan akademik
Kenyataan yang obskur dan agak khaotik di atas sebenarnya juga terjadi di level yang lebih tinggi, level keilmuan (saintifik) atau akademik. Berkembangnya diskursus kebudayaan di level ini sebenarnya menjadi alasan kedua kegembiraan di atas. Selain bisa kita seksamai dalam pelbagai mimbar dan forum yang diselenggarakan banyak pihak atau organisasi, tulisan-tulisan di media massa juga menunjukkan hal itu. Betapa pun sebenarnya perbincangan semacam ini masih dilihat sebagian orang sebagai celotehan mereka yang ada di "menara gading" dan sulit mendapatkan kenyataan praktis atau implementasinya.
Pembicaraan di tingkat ini memang sesungguhnya bermain di alam abstrak, bahkan kadang "entah-berentah". Namun, justru ia menjadi kunci karena posisinya sebagai landasan nilai (yang abstrak) bagi perilaku atau praksis kehidupan di semua bidang. Peran media massa, semacam harian ini, penting bagi renungan-renungan kontemplatif para saintis, akademisi, dan pemikir kebudayaan umumnya. Sayangnya, memang sangat sedikit media yang menyediakan halaman-halaman untuk itu, seperti harian ini, berhadapan dengan tulisan yang memiliki news-pack yang tinggi, panas, sensual, dan sensasional.
Tulisan sahabat saya, pengajar filsafat Universitas Indonesia, Donny Gahral Ardian, di Kompas, 23 November 2013, menjadi salah satu contohnya. Dengan analisisnya yang cerdas, Donny memaparkan betapa vital dan strategisnya (keharusan) kita memiliki semacam "mata angin" (tentu yang dimaksud semacam "strategi") kebudayaan, untuk memberi kita satu direksi menuju ruang dan waktu yang begitu penuh tantangan kritis di masa depan.
Memang masih ada beberapa pengertian dasar, dalam proposisi atau (yang sebenarnya masih bersifat) premis di dalamnya yang bisa mengundang semacam kekaburan atau obskuritas di tengah upaya yang sama dilakukan pemikir atau akademisi yang lain. Misalnya, tentang tidak adanya "visi kebudayaan" dalam konstitusi yang disusun founding fathers-mothers kita dahulu. Satu hal yang mungkin bisa dipahami dengan cara lain, seperti apakah bukan "visi pertahanan", "visi ekonomi", atau "visi diplomasi" yang disebut sang penulis juga adalah sebuah (produk) kebudayaan dalam arti yang justru dijelaskan dalam bagian tengah tulisan itu. "Visi kebudayaan" sebagai sesuatu yang komprehensif dan integral tentu bukan bagian terpisah atau tersendiri di luar visi-visi yang lain. Ia justru membingkai dan memberi fondasi (embedded) di dalam visi-visi yang ada. Atau bisa dikatakan semua visi sektoral itu adalah "kebudayaan" dalam makna dan realitas umum atau universe-nya.
Hal kedua yang krusial adalah formulasi atau semacam definisi—yang sesungguhnya agak prematur—tentang kebudayaan yang diajukan tulisan itu, juga tulisan pakar sebelumnya. "Definisi" Donny, menurut saya, melupakan sebuah relasi yang juga penting dalam memahami kebudayaan, yakni (dalam bahasa dia) "inovasi manusia dalam merespons manusia yang lain", jadi tidak hanya terhadap alam. Bangunan peradaban masa sekarang memang diisi oleh hal yang absen disebut Donny di atas, seperti ilmu-ilmu sosiologi, psikologi, kriminologi, dan politik.
Tapi, ada persoalan besar dalam inovasi-inovasi saintifik di atas, karena mereka juga berpegang pada pengertian kebudayaan sebagaimana yang disebut Donny sebagai sebuah tindak mental dan fisikal manusia terhadap alam sekitar di mana manusia adalah subyek dan alam (diposisikan) sebagai obyeknya. Inilah dasar antroposentrisme kultural yang jauh melampaui antroposentrisme astronomik kalangan Copernican, misalnya.
Ini juga argumentasi kuat dari logosentrisme Eropa (yang pada gilirannya menjadi basis ilmiah dari kapitalisme, demokrasi, bahkan agama dan seterusnya) untuk memosisikan manusia sebagai makhluk superior, paling berkuasa, berhak untuk mendominasi, menjadi khalifah di atas muka bumi ini. Sebuah argumentasi yang kita sadar, sebenarnya hanya menjadi semacam apologi saintifik untuk penjarahan dan pemerkosaan sumber-sumber daya alam.
Maka, frase yang menyebut "demi hidup yang bermakna" berkonotasi lebih (bahkan melulu) untuk manusia saja bukan juga untuk realitas atau entitas-entitas yang ada di sekitarnya. Dalam kehidupan tradisi dan kesadaran primordial yang kita kebaharian, posisi eksistensial itu sangat bertolak belakang. Posisi itu selaras dengan modus eksistensial manusia bahari kita: "manusia tak bisa bertahan dan mulia tanpa mempertahankan dan memuliakan apa yang ada di lingkungannya". Inilah saya pikir basis terkuat yang bisa diberikan kebudayaan untuk apa yang disebut dengan sustainable development.
Jalan budaya bagi dunia
Kalimat terakhir di atas menjadi pembuka alasan kegembiraan ketiga saya, ketika "peran kebudayaan" dilihat sebagai sebuah isu internasional bahkan global dalam—katakanlah—menentukan keberlanjutan kehidupan dan kemuliaan subspesies mamalia yang bernama manusia ini. Diselenggarakannya Forum Budaya Dunia (WCF) yang konon digagas Presiden SBY (dalam rilis-rilis resminya), tetapi sebenarnya penyimpangan kecil dari ide yang saya lontarkan kepadanya tentang Summit on Culture, adalah upaya kita menggalang pendapat dunia tentang peran kebudayaan dalam turut menyelesaikan masalah-masalah dunia, dari tingkat lokal, regional, hingga global.
Walau tujuan itu diciutkan oleh WCF—yang diselenggarakan di awal minggu terakhir November di Bali ini—menjadi topik utama "peran kebudayaan dalam pembangunan berkelanjutan", buat saya, masih menyimpan makna dan tujuan yang hampir sama. Kebudayaan harus mulai dilihat oleh dunia, baik penduduk dan terutama para pemimpinnya, sebagai sebuah kekuatan yang masih berbentuk potensi (hidden) untuk digunakan sebagai alternatif jalan keluar berbagai persoalan dan konflik dunia mutakhir.
Betapa pun perbedaan masih banyak tersimpan dalam memaknai terma tersebut, apalagi jika dibenturkan dengan terma besar lain "peradaban" (civilization)—dan membuat pemaknaan atau signifikansinya kian obskur—tetap ia menjadi awal yang luar biasa untuk usaha kita membangun tata dunia baru, dari tatanan sebelumnya yang begitu tidak adil dan imbang serta dikuasai oleh semata logika (pemenang) Perang Dunia II. Indonesia adalah negara yang paling tepat untuk mengajukan proposal alternatif itu karena realitas kulturalnya yang luar biasa dan diakui dunia sejak lama. Bukan karena realitas negaranya, yang dalam perhitungan lain masih akan kesulitan menjelaskan bagaimana "kebudayaan (selama ini) berperan dalam pembangunan". Kita tahu, kita seperti akan memukul diri sendiri jika harus menjelaskan hal terakhir itu.
Maka, untuk upaya besar di Bali di atas, sepantasnyalah kita menyelesaikan dulu pekerjaan rumah kita berkait dengan topik-topik di atas. Dan tugas ini, selain harus dilakukan tanpa henti oleh para pekerja budaya, juga harus diemban dengan penuh komitmen dan dedikasi oleh para pemikir dan ilmuwannya. Diskursus harus diperkuat dan diperhangat sehingga mereka bisa meretas atau babad alas jalan setapak yang akan dilalui oleh para pekerjanya, lalu sebuah "konsensus" yang tidak perlu tertulis akan lahir secara wajar serta dipraktikkan secara alamiah oleh seluruh komponen bangsa ini. Semua itu bisa menjadi dasar tentang urgensi disusunnya sebuah strategi kebudayaan (yang memang belum pernah kita miliki) demi mengetahui ke mana kebudayaan kita akan pergi.
Bukan satu hal yang buruk apabila semua dimulai dari keremangan, kekacauan, bahkan arogansi di satu dua sisi. Yang penting ia dijaga kesehatan dan staminanya. Terakhir ini tugas dan obligasi pemerintah, yang dipercaya rakyat dengan pajak ribuan triliunnya, untuk menciptakan semua infrastruktur, keras maupun lunak, bagi terselenggaranya diskursus dan terciptanya konsensus kolektif di atas. Betapa pun kabinet dan presidennya sudah menjelang garis finis, mereka masih berpeluang meninggalkan warisan (legacy) ini. Tak peduli di finis itu ia kalah atau menang. Waktu yang akan menjadi jurinya.
Radhar Panca Dahana, Budayawan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003359908
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar