Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 11 November 2013

Terjebak Rivalitas Lembaga (Tajuk Rencana Kompas)

SKANDAL yang terjadi dalam tubuh Mahkamah Konstitusi kini malah menciptakan rivalitas kelembagaan antara Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Adalah kenyataan, ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar atas tuduhan memperdagangkan perkara di MK telah membuat MK terperosok di mata publik. Upaya penyelamatan telah diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah bertemu dengan pimpinan lembaga negara, di luar MK. Namun, upaya itu terkesan tidak dianggap.

Sesuai dengan kewenangan yang ada dalam konstitusi, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 pada 17 Oktober 2013. Substansi Perppu mengatur soal seleksi hakim konstitusi melalui panel ahli, persyaratan hakim konstitusi, pembentukan kode etik hakim konstitusi yang disusun MK dan KY, dan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.

Seiring berjalannya waktu, MK mengambil langkah sendiri. Setelah Akil dipecat sebagai hakim konstitusi, MK meneruskan langkahnya membentuk Dewan Etik. Panitia Seleksi Dewan Etik dibentuk meskipun dua orang mengundurkan diri, yakni ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, dan guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra. Mundurnya dua tokoh ditanggapi pimpinan MK secara sederhana dengan langsung mengganti keduanya. Dipilihlah Slamet Effendy Yusuf dan ahli hukum Prof Dr Aswanto.

MK sepertinya berjalan sendiri dengan membentuk Panitia Seleksi Dewan Etik tanpa melibatkan KY. MK dan KY punya tafsir sendiri terhadap substansi Perppu No 1/2013 yang diterbitkan Presiden Yudhoyono.

Ketua MK Hamdan Zoelva sudah menjelaskan posisi hukumnya bahwa Dewan Etik yang dibentuk MK dimaksudkan untuk memproses pelanggaran etik hakim konstitusi sebelum diserahkan ke Majelis Kehormatan MK. Sebaliknya, KY berpandangan, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi adalah satu-satunya instrumen. Pasal 27A Perppu No 1/2013 antara lain menegaskan, MK dan KY menyusun dan menetapkan Kode Etik dengan melibatkan pihak lain. Dan untuk menegakkan kode etik itu, MK bersama KY membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap.

Perppu No 1/2013 adalah hukum positif yang seyogianya diacu MK dan KY, meskipun status Perppu No 1/2013 itu sangat bergantung pada persetujuan DPR. Jika DPR menolak, perppu itu tidak jadi hukum positif. Sebaliknya, jika diterima DPR, perppu akan menjadi undang-undang. Dalam posisi seperti itu, kita berharap, baik MK maupun KY tidaklah bersaing untuk kepentingan sendiri.

Sebagai negarawan, MK dan KY perlu duduk bersama membicarakan bagaimana langkah penyelamatan MK karena esensi dalam negara demokrasi tak boleh ada satu lembaga yang dibiarkan bebas tanpa adanya pengawasan sama sekali. DPR pun dituntut segera bersikap soal Perppu No 1/2013.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003097898
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger