Kuil Yasukuni yang dibangun tahun 1869, pada masa Restorasi Meiji itu, dianggap sebagai simbol agresi militer Jepang pada masa Perang Pasifik (1941-1945). Itu sebabnya, kunjungan Abe ke kuil itu dianggap China dan Korsel sebagai memberikan penghormatan kepada para penjahat perang Jepang yang telah menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan pada negara-negara yang mereka duduki dalam Perang Pasifik dulu.
Kemarahan Pemerintah China dan Korsel atas ziarah itu ditunjukkan dengan memanggil masing-masing Duta Besar Jepang untuk China di Beijing dan Duta Besar Jepang untuk Korsel di Seoul.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyebut apa yang dilakukan Abe telah mendorong Jepang ke arah yang "sangat berbahaya". Sementara Menteri Kebudayaan, Olahraga, dan Turisme Korsel Yoo Jin-ryong menyebut tindakan itu sebagai perbuatan yang menyalahi sejarah.
Namun, kita harus menyadari bahwa pandangan China dan Korsel itu, yang menempatkan diri sebagai korban itu barulah pandangan dari satu sisi. Ada juga pandangan dari sisi lain, yakni pandangan Abe. Menurut Abe, kunjungannya ke Kuil Yasukuni sama sekali tidak bertujuan menghormati penjahat perang. Ia datang untuk berdoa, dan "melapor" kepada arwah para korban perang masa lalu, tentang upayanya memastikan tidak akan ada lagi rakyat (Jepang) menderita dan mengalami kengerian akibat perang.
Mengingat, Kuil Yasukuni itu tidak hanya menjadi tempat untuk menghormati ratusan orang yang kini dianggap sebagai penjahat perang, tetapi juga untuk menghormati 2,5 juta orang yang menjadi korban perang. Selain itu, menurut Abe, adalah normal bagi pemimpin di Jepang untuk berziarah dan menghormati mereka yang gugur demi negeri itu. "Dan, saya berdoa bagi perdamaian. Jangan sampai Jepang melancarkan perang lagi," ujar Abe, seraya mengatakan, "Tidak bermaksud melukai hati China dan Korsel."
Setiap perbuatan memang dapat dinilai dari berbagai sisi, tetapi harus diakui bahwa mungkin pemilihan waktu (timing)-nya yang kurang tepat. Mengapa Abe harus berkunjung ke Yasukuni di saat hubungan antara Jepang dan China sedang memanas karena sengketa wilayah di Laut China Timur. Itu pula sebabnya, Amerika Serikat pun menyesalkan pemilihan waktu pelaksanaan ziarah itu.
Sama seperti Amerika Serikat, kita pun berharap Jepang dan dua tetangganya itu mampu mencari cara konstruktif untuk mengatasi masalah sensitif itu dan tetap menjaga hubungan baik dan kerja sama demi mempertahankan perdamaian dan stabilitas di kawasan itu.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003868355
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Kalau dipikir-pikir, politik kadang sangat lucu ya, masak menghormati tradisi dan melaksanakan keyakinan negeri sendiri, kok harus meminta izin kepada tetangga, apalagi hal tersebut dilakukan hanya secara seremonial budaya. Tetapi, itulah seninya memainkan logika politik dan kekuasaan.
BalasHapus