Pertama, menaikkan upah minimum provinsi 50 persen. Kedua, penghapusan sistem kerja alih daya (outsourcing). Ketiga, pelaksanaan jaminan kesehatan secara langsung tanpa tahapan.
Tulisan ini hanya akan membahas perihal usulan penghapusan sistem alih daya. Apakah hal ini dimungkinkan untuk dihapuskan? Apakah permasalahannya serta bagaimana solusinya?
Kontroversial alih daya
Konsep sistem alih daya pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 oleh CK Prahalad dan Gary Hamel melalui sebuah artikel berjudul "The Core Competences of the Corporations". Disebutkan bahwa dalam persaingan bisnis global saat ini, agar bisa bertahan hidup serta sukses dalam jangka panjang setiap perusahaan harus memiliki keunggulan kompetitif dalam menjalankan bisnisnya. Di antaranya dengan cara penerapan konsep pekerja alih daya.
Secara sederhana, alih daya artinya menyerahkan pekerjaan yang bukan pekerjaan pokok perusahaan tersebut kepada pihak di luar perusahaan. Diharapkan perusahaan hanya fokus pada pekerjaan pokoknya sehingga dapat mengurangi biaya perusahaan secara keseluruhan.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 64 disebutkan, "Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis". Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, antara lain dalam Pasal 2 disebutkan, "Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dapat dilakukan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh". Butir-butir ketentuan inilah yang dijadikan landasan legalitas bagi perusahaan di Indonesia dalam menerapkan sistem alih daya.
Pelaksanaan sistem alih daya menuai kontroversi dikarenakan kurang berperannya sistem kontrol pihak Kemenakertrans dalam pelaksanaan amanat UU dan peraturan menteri di atas. Tuntutan buruh bahwa sistem alih daya harus dihapuskan jelas bukan merupakan solusi yang tepat. Hal ini mengingat sistem alih daya merupakan sebuah keniscayaan yang dibutuhkan agar perusahaan tetap dapat beroperasi secara efisien dan menguntungkan, yang pada akhirnya juga menguntungkan semua pihak, termasuk buruh, pemerintah, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Namun, apakah pelaksanaan sistem alih daya yang dijalankan perusahaan telah mengikuti ketentuan yang berlaku, sebagaimana yang disampaikan para demonstran buruh tersebut, harus dilakukan klarifikasi dan dilakukan pengecekan oleh instansi ketenagakerjaan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, bahkan di pusat. Ada dua hal pokok yang berpotensi menjadi penyebab masalah sistem alih daya ini. Pertama, perihal definisi kegiatan utama dan kegiatan penunjang perusahaan. Kedua, perihal konsistensi pemberian perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja alih daya.
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 65 bahwa kegiatan yang dapat dikerjakan secara alih daya antara lain adalah bukan kegiatan utama, bukan kegiatan penunjang perusahaan. Pasal ini merupakan pasal karet yang dapat dijadikan justifikasi oleh perusahaan dalam mendefinisikan kegiatan utama dan kegiatan penunjang. Sepanjang perusahaan dapat menjelaskan bisnis modelnya perihal definisi kegiatan perusahaan, maka perusahaan telah mengikuti UU dan Permenakertrans tersebut.
Namun pertanyaannya adalah siapa yang berhak menghakimi bahwa definisi sebuah perusahaan A telah sesuai dan perusahaan B belum sesuai? Hal ini adalah yang paling sulit karena ini adalah judgment masing-masing perusahaan. Berdasarkan Pasal 4 Permenakertrans No 19 Tahun 2012, masalah alur proses serta definisi kegiatan perusahaan tersebut diserahkan kepada asosiasi industri masing-masing.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah Kemenakertrans telah mendapatkan alur proses dan definisi dari setiap asosiasi serta telah melakukan pengontrolan di lapangan? Aspek ini juga merupakan hal yang harus dijelaskan kepada publik oleh pihak Kemenakertrans.
Konsistensi perlindungan
Sepanjang perusahaan telah memberikan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja sesuai undang-undang, maka tidak ada alasan untuk menuntut penghapusan sistem alih daya. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, yang harus dituntut juga bukan sistemnya melainkan konsistensi pelaksanaannya.
Dengan hal ini telah jelas bahwa semua pihak memiliki kontribusi atas terjadinya kontroversial ini. Oleh karena itu, semua pihak hendaknya dapat berdiskusi dengan akal pikiran yang jernih dan melakukan introspeksi bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk menyelesaikan PR masing-masing.
Pihak buruh hendaknya bekerja secara produktif dan dapat menyampaikan aspirasi secara argumentatif disertai data dan fakta secara spesifik dan tak terjebak dengan generalisasi. Pengusaha hendaknya menjalankan bisnis dengan etika dan memperhatikan hak dan kewajiban karyawan sesuai amanat UU. Pemerintah hendaknya menjalankan amanah UU secara konsisten dengan melakukan fungsi pengontrolan dan pengawasan secara adil.
Semoga kita semua dapat bekerja sama membangun bangsa Indonesia menuju bangsa yang makmur dan sejahtera. Amin.
Muhammad Shodiq, Human Capital Development Sampoerna Financial Group
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003019660
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar