Hal yang meleset adalah momentum terbukanya jendela peluang (Kompas, 16 Januari 2014). Menjelaskannya tidak cukup hanya dari hasil regresi, tetapi juga harus mendalami perubahan perilaku melahirkan dan perubahan pola kematian. Mari kita memanusiakan angka.
Indonesia menikmati bonus demografi sebagai dampak keberhasilan program KB dan peningkatan upaya kesehatan dengan menurunnya angka kelahiran (TFR) dan meningkatnya usia harapan hidup. Di sini terjadi peningkatan tajam proporsi penduduk usia produktif. Transisi demografi ini menyumbang 30 persen keajaiban ekonomi Asia Timur, termasuk Indonesia (Bloom dkk, 2003).
Dikaitkan dengan stabilnya pertumbuhan ekonomi, Indonesia menghasilkan kelas menengah cukup besar sehingga berhasil mengatasi tantangan krisis keuangan global 2008 yang antara lain karena besarnya konsumsi domestik. Dibandingkan jumlah anak banyak masa lalu, keluarga dengan jumlah anak dua atau tiga menikmati kehidupan yang lebih berkualitas.
Menikmati jendela peluang
Namun, ekspektasi TFR 2.01 dan angka ketergantungan 44 orang per 100 pekerja tahun 2020 tidak terpenuhi (proyeksi PBB versi 2002). Proyeksi dengan simulasi jika tren penurunan fertilitas masa lalu berlanjut tanpa memperhitungkan kondisi program KB yang jalannya business as usual mengakibatkan jendela peluang hanya terbuka lima tahun, 2020-2025. Dampak diserahkannya program KB ke daerah tahun 2004 baru kelihatan di Sensus 2010, TFR meningkat dari 2.3 menjadi 2.4. Dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, TFR menjadi 2.6 anak per wanita.
Proyeksi penduduk yang baru saja diresmikan memperhitungkan kenaikan fertilitas dan mengingat perilaku pasangan usia subur 15-24 tahun yang pada saat program KB gencar-gencarnya dilaksanakan masih kecil atau belum lahir. Jadi, belum mengerti pentingnya perencanaan keluarga. Selain itu, penurunan angka kematian bayi (AKB) juga makin sulit dilaksanakan karena kemiskinan.
Melalui rembuk berkali-kali antarsektor terkait, terutama masukan para pakar demografi, akhirnya disepakati bahwa skenario terbaik TFR 2.1 dan NRR 1.0 (penduduk tumbuh seimbang) dicapai tahun 2025 dan jendela peluang melebar menjadi 2020-2035 dengan angka ketergantungan stabil pada 47 per 100 pekerja. Agak konservatif memang.
Bonus akan berakhir?
Perkiraan berakhirnya bonus demografi atau menutupnya jendela peluang tahun 2035 ditandai dengan meningkatnya penduduk lansia dan angka ketergantungan. Para ahli ekonomi kependudukan membuktikan bahwa meningkatnya penduduk lansia lebih disebabkan oleh kecepatan penurunan fertilitas ketimbang peningkatan usia harapan hidup (HelpAge Internasional, 2013).
Karena itu, banyak usulan: kalau begitu diundurkan saja peningkatan penduduk lansia agar beban keuangan negara untuk perlindungan sosial lansia terkurangi. Namun, ini berarti fertilitas dibiarkan meningkat yang tentunya tak dikehendaki karena memicu kemiskinan (Birdsall and Sinding, 2001). Lagi pula, naiknya fertilitas akan sangat membebani keuangan negara (meningkatkan investasi tumbuh kembang anak, meskipun penting, selain pemenuhan kebutuhan lainnya yang tak produktif).
Upaya pencapaian penduduk tumbuh seimbang, yaitu menyeimbangkan proporsi anak, proporsi usia kerja, dan proporsi lansia—serta mempertimbangkan dampaknya pada kemampuan keuangan negara—perlu kebijakan menyeluruh yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Sarannya adalah tetap meneruskan upaya penurunan fertilitas dibarengi sosialisasi kaum muda dan fasilitasi pemerintah agar kelak tercipta lansia yang aktif, berproduksi, dan mampu membayar iuran jaminan sosial nasional. Jumlah penerima bayaran iuran (PBI) pun akan berkurang.
Harus dimanfaatkan
Perubahan struktur umur penduduk tak otomatis memicu pertumbuhan ekonomi. Bonus demografi dapat terus dinikmati melalui harmonisasi kebijakan mengacu satu tujuan: menurunnya laju pertumbuhan penduduk dan meningkatnya produktivitas pekerja Indonesia. Ini dicapai melalui revitalisasi program KB, menyiapkan pekerja sehat dan produktif melalui kecukupan pangan dan gizi, serta perawatan penyehatan preventif sejak dini.
Saat bersamaan dibarengi upaya peningkatan pendidikan berkualitas karena keterampilan kognitif terbukti lebih berperan dalam memicu pertumbuhan ekonomi (Hanushek dan Woesmann, 2008). Penting juga menggalakkan dan memperluas pelatihan keterampilan masa transisi dari sekolah menuju dunia kerja dan mengurangi skill gap dan mismatch di pasar kerja. Agar pekerja ini terserap di dunia kerja, kebijakan ekonomi dan penciptaan iklim investasi yang kondusif terhadap perluasan kesempatan kerja sangat diperlukan.
Transformasi struktural yang berfokus pada penciptaan kesempatan kerja akan menyerap tenaga kerja yang makin berkompeten. Hal ini memerlukan tata pemerintahan yang baik dan benar. Cita-cita ini hendaknya jadi desain akbar pembangunan berwawasan kependudukan yang pada akhirnya Indonesia akan terhindar dari jebakan kelas menengah yang kini menjadi isu mengemuka.
Sri Moertiningsih Adioetomo, Guru Besar Ekonomi Kependudukan FEUI; Ketua Program Kependudukan dan Ketenagakerjaan Sekolah Pascasarjana UI
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004418896
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar