Disebut "sepihak" karena referendum yang digelar oleh Parlemen Crimea, Minggu kemarin, oleh Kiev—Pemerintah Ukraina—dianggap ilegal. Dunia Barat pun berpendapat serupa. Karena itu, Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa tengah membahas sanksi yang akan dijatuhkan terhadap Rusia apabila Rusia yang selama ini ditengarai ada di balik "gerakan" Crimea menerima keputusan referendum tersebut.
Berbagai macam pendapat bermunculan. Tindakan Rusia itu dikategorikan melanggar hukum internasional. AS dan Uni Eropa yang berpendapat demikian. Namun, Rusia menyatakan bahwa "referendum itu sepenuhnya sesuai dengan hukum internasional dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa". Presiden Rusia Vladimir Putin berdalih seperti itu. Apalagi, pernah ada preseden, yakni pisahnya Kosovo dari Serbia atas bantuan Barat dan diterima internasional. Dalih inilah yang digunakan Rusia untuk mendukung langkah Crimea.
Karena itu, tepat kalau dikatakan bahwa referendum, Minggu kemarin, hanya merupakan penegasan kesimpulan yang selama beberapa hari terakhir ditulis. Sejak semula sudah diperkirakan bahwa referendum akan dimenangi etnik Rusia dan mereka yang berbahasa Rusia. Sebab, mereka inilah yang merupakan kelompok mayoritas (etnik Rusia 58,5 persen; etnik Ukraina 24,3 persen; dan Tartar Crimea 12,1 persen dari sekitar 2,4 juta penduduk Crimea) serta menginginkan bergabung dengan Rusia.
Referendum memang tidak diikuti oleh seluruh warga Crimea. Ada yang bersikukuh untuk tetap bersatu dengan Ukraina, sebuah sikap yang disepakati sejak 1991 setelah lepas dari Uni Soviet. Mereka ini terutama etnik Ukraina, Tartar Crimea, dan Turkic. Namun, menurut berita yang beredar, sebanyak 97 persen pemberi suara memilih untuk meninggalkan Ukraina dan "kembali" ke Rusia.
Dengan (nantinya) Crimea lepas dari Ukraina dan bergabung bersama Rusia, bertambahlah wilayah-wilayah di bekas Republik Uni Soviet yang memisahkan diri dan bergabung kembali dengan Rusia atas jasa Moskwa. Misalnya, Abkhazia dan Ossetia Selatan dari Georgia serta Transnistria yang meninggalkan Moldova meski tidak diakui oleh dunia internasional, termasuk PBB.
Bagi Rusia, memang, kalau Crimea pada akhirnya benar-benar bersatu kembali adalah sangat penting dalam konteks geostrategik dan geopolitik. Posisi Crimea di Laut Hitam sangat penting, apalagi di sana ada pangkalan angkatan laut Rusia. Akan tetapi, preseden seperti itu, kalau dianggap biasa, dengan mengatasnamakan hak menyatakan pendapat, tentu akan merusak tatanan internasional. Di sinilah sikap Rusia sebagai negara besar diuji.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005516152
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar