Wajar kalau pertanyaan di atas—yang menjadi judul ulasan pendek ini dan menjadi pembuka ulasan ini—yang pertama-tama diajukan. Tidak hanya kita di sini, di Indonesia, yang mengajukan pertanyaan seperti itu—saat ada warga negara Indonesia yang juga tengah menghadapi hukuman mati di Arab Saudi—tetapi kita yakin pertanyaan tersebut di atas juga diajukan oleh banyak orang di sejumlah negara. Bahkan, Amnesti Internasional pun tidak hanya bertanya, tetapi menggugat hal itu.
Angka 529 bukanlah jumlah yang sedikit. Apalagi, mereka itu adalah manusia. Sungguh, ini menjadi peristiwa pertama dalam sejarah modern Mesir. Sejarah itu dimulai ketika Senin lalu, menurut berita yang diturunkan harian ini kemarin, pengadilan pidana di kota El-Minya, sebelah selatan Kairo, menjatuhkan vonis hukuman mati kepada 529 dari 545 terdakwa yang disebut sebagai pengikut dan simpatisan Ikhwanul Muslimin.
Kantor berita Reuters memberitakan, sidang Senin lalu hanya dihadiri 147 dari 545 terdakwa. Sisanya masih buron atau bahkan sudah dibebaskan dengan jaminan. Mereka didakwa telah membunuh polisi, berusaha membunuh dua polisi wanita, membakar pos polisi, dan merusak sarana publik di Rabaa, Agustus lalu, ketika terjadi demo besar-besaran menyusul penurunan Presiden Mursi.
Setelah peristiwa Rabaa itu, muncul aksi kekerasan dan kerusuhan di berbagai pelosok Mesir. Para pendukung Mursi menyerang pos polisi, merusak gereja, dan membunuh polisi. Diberitakan, lebih dari 200 polisi tewas. Rangkaian peristiwa itu yang, antara lain, menjadi dasar jatuhnya hukuman mati tersebut.
Ada alasan terhadap jatuhnya vonis itu, memang. Apalagi, Mesir adalah salah satu dari 40 negara di dunia ini yang belum menghapus hukuman mati. Menurut berita yang beredar di Mesir, seperti dikutip Ahram Online, dari 1981 hingga 2000, sebanyak 709 orang dijatuhi hukuman mati di Mesir, tetapi hanya 249 orang yang dieksekusi.
Meski ada landasan hukumnya, toh vonis mati terhadap 529 orang itu memancing perdebatan. Apakah keputusan itu tidak melanggar hak asasi manusia? Apakah keputusan itu tidak keterlaluan, kebablasan, meski mereka dianggap bersalah? Inikah yang namanya keadilan?
Mungkin hukuman mati merupakan keadilan. Namun, apakah karena terpidana membunuh orang sebelumnya harus dibalas dengan pembunuhan juga? Apakah ini bukan sebuah tragedi? Kalau demikian, benar apa yang dikatakan Thrasymachus, warga zaman Yunani dulu, "Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat." Apabila demikian, wajar kalau kita bertanya, "Ada apa dengan Mesir sekarang ini?" Sungguh memprihatinkan.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005670825
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar