Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang dikutip Kompas kemarin, impor tujuh pangan utama meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir, yaitu beras, cabai, daging sapi, gula, jagung, kedelai, dan bawang merah. Selain itu, ada impor pangan lain yang tidak masuk kategori utama, seperti sayur, buah, dan ikan.
Pengamat menyebutkan, kenaikan impor tersebut menjadi simbol ekonomi nasional didorong oleh permintaan, tetapi tidak disertai peningkatan kapasitas produksi. Hal ini juga menggambarkan sikap pragmatis pemerintah, memilih jalan pintas impor pangan untuk menstabilkan harga dalam negeri demi menekan inflasi.
Namun, pemerintah abai pada biaya yang harus dibayar. Selain pengeluaran devisa, ketahanan pangan turun dan bahkan menjadi rawan, hilang pula kesempatan mendapat nilai tambah pertanian dan menyejahterakan petani kita.
Kita dapat berkaca dari pengalaman China yang membuka pasarnya untuk kedelai transgenik impor yang harganya lebih murah. Petani yang beralih ke komoditas lain tak mudah diajak kembali menanam kedelai ketika ketergantungan pada impor ingin dikurangi karena alasan ketahanan pangan.
Hal yang sama dapat terjadi di Indonesia. Persoalannya, kecil peluang petani kita beralih ke komoditas lain. Lahan, modal, pengetahuan, dan keterampilan petani yang terbatas menjadi kendala mobilitas horizontal, apalagi vertikal.
Masalah pertanian dan pangan sudah menjadi pengetahuan umum. Data produksi dan konsumsi sering tidak akurat. Gula, misalnya, tidak pernah jelas besar konsumsi rumah tangga dan industri. Produksi beras dihitung memakai sampel ubinan yang akurasinya diperdebatkan. Data populasi sapi dan kerbau kemudian diperbaiki dengan memilah sapi betina, jantan, anakan, dan dewasa.
Tata niaga produk pertanian tak tertata dan tak efisien sehingga menjadi disinsentif bagi petani. Pada musim panen harga jatuh dan saat paceklik harga melambung. Baik produsen maupun konsumen sama-sama merugi.
Insentif fiskal tampaknya belum semua mengena sasaran, sementara bea impor produk pertanian termasuk paling rendah di ASEAN. Insentif fiskal seharusnya diberikan juga untuk penelitian dan pengembangan pertanian serta penyebarannya kepada petani.
Otoritas bidang pertanian sering mengeluh, sekitar 60 persen kebijakan pertanian ada di luar bidang pertanian, seolah lupa adalah tugas pemerintah berkoordinasi di dalam pemerintahan sendiri. Kita berharap pemerintahan baru dapat membereskan sektor pangan karena menyangkut hidup-mati lebih dari separuh rakyat Indonesia, termasuk keberlangsungan pemerintahan. Jangan ada lagi praktik menjadikan pangan sumber rente ekonomi.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005533088
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar