Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 04 April 2014

TAJUK RENCANA Ketimpangan dan Ironi Pembangunan (kompas)

Evaluasi kinerja ekonomi 10 tahun terakhir menyoroti kegagalan kita memerangi penyakit kronis: kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Kita gagal mengapitalisasi modal dan sumber daya yang kita miliki serta memanfaatkan momentum yang diciptakan oleh booming ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi tak mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan secara signifikan. Yang terjadi, ketimpangan justru melebar. Industri manufaktur stagnan dan mengalami deindustrialisasi. Petani dan nelayan kian termarjinalkan. Kealpaan investasi besar-besaran dalam pembangunan manusia membuat kita terancam kehilangan peluang bonus demografi yang hanya sekali lewat.

Risiko kita tak akan mampu meloloskan diri dari perangkap pertumbuhan ekonomi rendah untuk menggapai lompatan kesejahteraan juga kian menakutkan, dengan begitu banyak momentum yang kita sia-siakan.

Ada yang salah dengan kebijakan pembangunan kita sehingga pertumbuhan gagal mengangkat kelompok masyarakat bawah sebagai sasaran dari pembangunan itu sendiri. Yang terjadi bukan pembangunan, melainkan konsentrasi modal dan aset, karena pertumbuhan hanya dinikmati sebagian kecil penduduk. Sejak 2004, tren rasio gini yang mengukur ketimpangan justru meningkat.

Kita melihat, kita kian terseret dalam agenda besar liberalisasi yang meninggalkan agenda pembangunan dan penguatan fondasi ekonomi dalam negeri. Desain kebijakan tak pernah menyerang langsung jantung persoalan terbesar ekonomi: kemiskinan struktural. Pembangunan mensyaratkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dan itu tak terjadi karena kepentingan politik populis. Strategi pro growth, pro poor, pro job lebih banyak slogan.

Di sisi lain, kita telanjur percaya, persoalan pengangguran dan kemiskinan akan selesai dengan sendirinya dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. Persoalannya, pertumbuhan 6 persen saat ini tak cukup untuk menyerap penganggur dan angkatan kerja baru setiap tahun. Apalagi pertumbuhan terkonsentrasi di sektor nontradables dan padat modal, kian menjauh dari sektor riil padat karya.

Insentif kebijakan juga cenderung bias ke sektor eksploitatif ketimbang sektor produksi bernilai tambah tinggi berorientasi ekspor. Pertanian terpinggirkan, sementara persoalan manufaktur, seperti daya saing, infrastruktur, dan ekonomi biaya tinggi, tak pernah serius ditangani.

Akibatnya, sektor andalan penyerapan tenaga kerja tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional dan ketergantungan impor melonjak. SDM juga tak pernah disiapkan sehingga 70 persen angkatan kerja tamatan SMP ke bawah terlempar dari pasar kerja dan terserap di sektor informal yang tak menjanjikan perbaikan kesejahteraan.

Kita telah kehilangan banyak momentum akibat kepemimpinan nasional yang membiarkan kepentingan nasional terbajak agenda global dan kepentingan sempit golongan. Mendesak dilakukan koreksi atas kebijakan yang kian memperlebar kesenjangan dan merealisasikan skema redistribusi aset, seperti reforma agraria.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005847528
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger