"Aura-aura demokrasi" sudah mulai dapat dibaca dari penampakan luar, tuturan, serta gestur capres dan cawapres. Kemampuan mengelola "gestur politik" jadi penentu dalam kompetisi menuju kursi kepemimpinan tertinggi negara-bangsa.
Pilpres kali ini meninggalkan enigma: sosok ideal pemimpin seperti apa yang pantas memimpin bangsa? Dimensi-dimensi kesadaran dan ketaksadaran para capres dan cawapres muncul ke permukaan dalam aneka wacana, debat, pidato, pernyataan, wawancara, talk show, komunikasi, dan interaksi head to head di antara mereka. Gestur-gestur ini menunjukkan karakter diri dan subyektivitas mereka sebagai penanda "gaya kepemimpinan" jika terpilih sebagai pemimpin bangsa.
Karena dalam pilpres yang dipilih adalah individu, "aura-aura individu" kini lebih dominan ketimbang ideologi partai. Dimensi-dimensi fisik, penampilan luar, pakaian, simbol, kemampuan komunikasi, gaya bahasa, logika berpikir, gestur, bahasa tubuh, dan gaya hidup para calon pemimpin jadi faktor penentu penting dalam kompetisi politik. Waktu yang relatif singkat menjadi tantangan besar bagi para kontestan dalam memoles "aura politik" sebagai modal penting kontestasi politik.
Penampilan diri para calon pemimpin di ranah publik tak ditentukan oleh diri itu sendiri an sich, tetapi juga oleh kekuatan di luar diri yang secara tak sadar membentuk diri. Di satu pihak, calon pemimpin membangun konsep "diri" dengan mengidentifikasi diri—misalnya melalui pencitraan— sesuai lukisan tentang "ego ideal" atau "pemimpin ideal" meski itu bukan lukisan diri sesungguhnya.
Di pihak lain, calon pemimpin dituntut menempatkan diri sebagai "diri sosial" yang harus patuh terhadap dan menampilkan dirinya agar selaras dengan aneka norma, aturan, kebiasaan, habit, adat, ajaran, habitus, dan keyakinan umum. Di sini, ia harus membangun dirinya sebagai "ideal ego", diri yang diterima secara sosial, karena dianggap memenuhi syarat dari apa yang diterima sebagai "kebaikan umum" oleh masyarakat. Para calon pemimpin berada dalam kondisi "tegangan" di antara dua kekuatan eksternal ini: antara membangun ego-ideal dan ideal-ego.
Di satu pihak, untuk membangun ego-ideal, calon pemimpin harus hidup dalam tataran "imajiner", tataran tempat ia membayangkan dan menampilkan diri sebagai diri ideal menurut pandangannya. Melukiskan diri "dekat dengan rakyat", "merakyat", atau "Macan Asia" adalah lukisan ideal tentang diri sebagai pemimpin. Di pihak lain, ia harus pula membangun dirinya pada tataran "simbolik", tataran ketika ia harus menampilkan, mengucapkan, dan melakukan apa pun sesuai apa yang diterima sebagai ideal oleh publik (Lacan, 1993). Apa yang dianggap ideal seorang calon pemimpin boleh jadi beda dengan yang dianggap ideal berdasarkan pandangan umum. Terbentuk jurang dalam antara imajinasi dan kenyataan.
Di sini ada dua tipe pemimpin. Pertama, pemimpin yang menempatkan diri pada "tataran simbolik": aturan, norma, kebiasaan, pandangan umum, budaya publik, habitus, dan common sense. Ia patuh pada "penanda besar", yaitu pada segala sesuatu yang dianggap "umum", "normal" atau "universal": prinsip dasar, prosedur, norma, hierarki, protokol. Pemimpin macam ini berpeluang menjaga stabilitas, tetapi dapat terjebak sifat prosedural, birokratis, linier, dan tak kreatif.
Kedua, pemimpin yang menempatkan diri sebagai "kontra-tataran simbolik" dengan mengusung revolusi, pembongkaran, dan dekonstruksi terhadap sistem pengetahuan umum dengan merayakan segala yang direpresi, ditekan, dimarjinalkan, dipinggirkan, tak normal atau tak sesuai kebiasaan umum, dengan menampilkan diri secara alamiah. Pemimpin macam ini membuka luas pintu kreativitas dengan risiko dapat menciptakan instabilitas karena cenderung asyik dengan diri sendiri.
Ruang antagonisme
Debat dalam konteks pilpres adalah arena pertarungan gagasan di antara para kontestan untuk menguji kemampuan mengomunikasikan gagasan, strategi, dan langkah implementasinya. Karena itu, materi perdebatan semestinya komprehensif agar dapat menggali totalitas kompetensi calon pemimpin. Amat disayangkan, dalam seluruh tema perdebatan pilpres, tak ada tema kebudayaan, padahal pemahaman serta penghayatan atas manusia dan kebudayaan adalah kompetensi paling mendasar seorang pemimpin.
Tak adanya tema manusia dan kebudayaan ini menyebabkan sulit menilai dimensi-dimensi "humanis" para kontestan, yaitu bagaimana mereka memperlakukan sesama lawan politik sebagai "manusia". Marjinalisasi terhadap dimensi manusia dan kebudayaan ini menjauhkan perdebatan dari esensi politik itu sendiri, yaitu politik sebagai "antagonisme", saat relasi antara "kita" dan "mereka" dalam pertarungan politik dibingkai melalui bingkai respek terhadap sesama manusia. Antagonisme politik mensyaratkan, lawan politik bukan "musuh" yang harus dimusnahkan, melainkan "adversari", yaitu manusia yang eksistensi mereka sah secara politik, yang gagasan politiknya kita tentang, tetapi hak politik mereka untuk mempertahankan gagasan itu kita hargai (Mouffe, 1993). Esensi debat politik adalah manifestasi antagonisme antara capres dan cawapres, saat pandangan dan gagasan politik lawan diserang, tetapi eksistensinya dihargai sebagai manifestasi budaya luhur politik.
Absennya dimensi manusia dan kebudayaan dalam arena pilpres kali ini kian diperparah aneka "kampanye virtual" di dalam media sosial yang kontra-antagonistik. Di sana, lawan politik diperlakukan sebagai "musuh" yang harus dihancurkan dengan membunuh karakter mereka secara ekstrem dengan membuka segala keburukan, aib, dan rahasia pribadi, dengan menyebar segala fitnah dan tuduhan palsu, serta dengan mengumbar segala kebencian secara vulgar sehingga sempurnalah arena pilpres yang tanpa nilai luhur budaya politik.
Di media sosial, "kekerasan simbol" tumbuh melampaui etika politik yang sehat yang meruntuhkan kategori-kategori etika politik tentang apa yang dianggap baik/buruk, benar/salah, pantas/tak pantas. "Kebenaran politik" di media sosial bergerak ke titik ekstrem, nyaris tak dapat lagi dibedakan antara yang benar dan salah, asli dan palsu, atau alamiah dan rekayasa, "Rezim kebenaran" dikendalikan oleh kekuatan simulasi media sosial yang mengancam kebenaran politik. Media sosial jadi ruang subur tumbuhnya "kampanye hitam", yaitu bentuk-bentuk kampanye mengumbar sisi-sisi gelap dari lawan politik. Sisi-sisi ini boleh jadi merupakan fakta, tetapi lebih sering merupakan rekayasa verbal atau visual yang dikembangkan berupa "imajinasi-imajinasi gelap" tentang individu atau kelompok, sebagai cara membunuh karakter lawan politik. Pembunuhan karakter macam ini menodai prinsip dasar politik sebagai arena antagonisme.
Imajinasi politik
Pemilu adalah momen krusial dalam menentukan pemimpin bangsa lima tahun ke depan. Kesalahan kecil dalam memilih pemimpin hari ini akan berakibat fatal di masa depan. Risiko fatalitas ini karena selalu saja ada jurang dalam antara "horizon pengharapan" pada calon pemimpin yang diimajinasikan sebagai pemimpin ideal di masa kini dan kenyataan di masa depan, seperti selalu berulang di beberapa pemilu sebelumnya. Ada dua mekanisme psikis yang jadi landasan dalam menentukan pilihan pemimpin. Pertama, "imajinasi", yaitu bayangan, gambaran, lukisan, ilustrasi, atau potret ideal seorang pemimpin dalam pikiran seseorang, yaitu seorang pemimpin sebagai ego-ideal. Kedua, "pemahaman", yaitu pengetahuan, data, informasi, fakta, dan realitas, sebagai dimensi "yang nyata" dari calon pemimpin. Pemimpin ideal adalah yang memiliki kecocokan antara imajinasi dan pemahaman utuh kita tentang dia.
Pertentangan muncul ketika ada kontradiksi antara imajinasi dan pemahaman utuh tentang seorang calon pemimpin. Pemahaman yang memerlukan kecakapan nalar-rasional untuk mendapatkan "kebenaran" tentang seorang calon pemimpin—dengan menggali data, informasi, dan fakta-fakta otentik tentangnya sehingga memperoleh gambaran utuh-menyeluruh—digerogoti oleh kekuatan "nir-nalar-irasional", saat orang dikendalikan gambaran sepotong-sepotong tentang seorang kontestan (Zizek, 2000).
Kondisi asimetris antara imajinasi dan pemahaman menggiring beroperasinya "mitos" dalam politik, di mana "imajinasi murni"—imajinasi tentang seorang calon pemimpin yang tak didukung pemahaman utuh—diyakini sebagai kebenaran tentang calon pemimpin tersebut. Media sosial adalah ladang subur tumbuhnya imajinasi murni tanpa realitas ini, yang mengondisikan irasionalitas dan politik, yaitu mitos-mitos politik tanpa nalar sehat. "Irasionalitas politik" dalam konteks pemilu adalah kondisi saat orang menentukan pilihan politiknya, tetapi tak didukung pemahaman utuh tentang pilihannya. Imajinasinya tentang sosok pemimpin sebagai ego-ideal—ia mengidentifikasikan diri dengannya, seakan-akan ia adalah lukisan dirinya sendiri—telah mengaburkan mata rasionalnya tentang pemahaman yang diperlukan tentang diri calon pemimpin itu. Ia dihipnotis oleh "aura" sang tokoh.
Irasional politik menempatkan figur idola sebagai yang "mutlak" harus dimenangkan, sementara lawan politik sebagai "musuh" yang harus dihancurkan. Padahal, keputusan ini dilandasi pengetahuan yang sama kaburnya tentang kawan dan musuh. Lawan politik diperlakukan sebagai musuh di atas kondisi absennya pengetahuan tentang mereka. Musuh "adalah seseorang yang cerita kehidupannya tak pernah Anda dengar" (Zizek, 2008). Apabila Anda berupaya memahami "sang musuh" dengan nalar rasional, boleh jadi ia sosok yang selama ini Anda idealkan. Menyambut pesta demokrasi yang kian dekat, rakyat diharapkan secara cerdas membaca "aura sejati" para calon pemimpin masa depan bangsa, bukan "aura palsu" yang diumbar melalui kampanye hitam di aneka media sosial dan media elektronik lainnya. "Aura demokrasi" pada abad digital hendaknya dapat dibaca secara rasional-kultural dan rakyat harus cerdas serta peka dalam menangkap "gestur politik" para calon pemimpin bangsa sehingga tak terperosok ke lubang yang sama: memilih pemimpin yang tak sesuai antara imajinasi dan realitasnya.
Yasraf Amir Piliang
Pemikir Sosial dan Kebudayaan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007274061
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar