Indonesia menghadapi pilihan sulit: apakah ekonomi Indonesia akan mengambang dalam "jebakan pendapatan menengah" (middle-income trap) atau berkembang jadi kekuatan yang menciptakan kesejahteraan merata. Akankah kesejahteraan di Indonesia hanya membuat orang kaya jadi lebih kaya? Atau, akankah berkat-berkat yang dimilikinya mampu menjadikan Indonesia negara berpenghasilan tinggi yang kesejahteraannya dapat dinikmati seluruh warga negara?
Selama dekade terakhir, kesejahteraan yang besar diciptakan di Indonesia berkat faktor eksternal yang menguntungkan dan pengelolaan makroekonomi secara baik. Antara 2001 dan 2012, total PDB dan PDB per kapita hampir dua kali lipat (dalam kurs dollar konstan). Mega tren yang menguntungkan, seperti karakter demografi yang menguntungkan 10 tahun ke depan, generasi muda yang paham teknologi informasi, dan peningkatan biaya produksi manufaktur di Tiongkok, dapat terus dimanfaatkan untuk menciptakan lebih banyak kesejahteraan di masa depan. Faktor-faktor ini menawarkan berbagai insentif untuk investasi industri manufaktur di Indonesia. Namun, akankah penciptaan kesejahteraan ini terwujud? Apabila ya, akankah kemakmuran terbagi secara merata untuk semua warga negara?
Inilah fokus laporan terbaru Bank Dunia, Indonesia: Avoiding the Trap. Laporan ini melihat bagaimana pembangunan dapat mewujudkan cita-cita bangsa untuk jadi kekuatan ekonomi berpenghasilan tinggi. Bahaya perangkap pendapatan menengah sungguh nyata. Brasil tumbuh cepat 1960-an dan 1970-an, tetapi sejak PDB per kapita mencapai 3.939 dollar AS (hampir sama dengan Indonesia kini) pada 1981, negara itu terlanda perlambatan pertumbuhan yang relatif lama hingga 2004.
Pengalaman Indonesia 10 tahun terakhir menunjukkan pentingnya berkembang bersama. Indonesia patut bangga tingkat kemiskinan telah berkurang secara signifikan. Namun, pertumbuhan ekonomi telah menjadikan yang kaya semakin kaya. Ketidaksetaraan semakin meningkat. Hampir 100 juta orang tergolong miskin atau rentan dan kurang memiliki akses ke layanan-layanan penting, seperti kesehatan. Angka kematian ibu di Indonesia terlalu tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pembangunan negara ini.
Lebih sejahtera dan adil
Dalam jangka pendek, kebijakan yang dapat mengubah masa depan adalah meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya (efficient spending) oleh sektor publik. Ini berarti mengarahkan belanja publik untuk prioritas pembangunan. Manfaat subsidi BBM—2,6 persen dari PDB—sebagian besar hanya dinikmati orang kaya. Padahal, jumlah subsidi lebih besar dibandingkan jumlah gabungan pengeluaran pemerintah pusat dan subnasional untuk infrastruktur (2,5 persen dari PDB). Jumlah itu juga hampir tiga kali jumlah yang dibelanjakan untuk kesehatan (0,9 persen dari PDB). Dana subsidi BBM dapat digunakan untuk mengatasi ketidaksetaraan, misalnya lewat peningkatan kualitas program bantuan sosial.
Untuk jangka menengah, Indonesia butuh revolusi dalam sisi penawaran. Hal ini berarti menutup tiga kesenjangan besar, yakni di bidang infrastruktur, pendidikan dan keterampilan, serta pasar-pasar utama, seperti lahan dan tenaga kerja.
Indonesia telah kehilangan setidaknya 1 persen pertumbuhan ekonomi setiap tahun selama dekade terakhir karena tingkat investasi rendah. Total investasi infrastruktur (oleh pemerintah pusat, pemda, BUMN, dan sektor swasta) tetap kurang dari 4 persen dari PDB selama dekade terakhir. Jumlah ini hanya sekitar setengah dari yang dibutuhkan.
Pada saat sama, pertumbuhan ekonomi telah menciptakan kebutuhan yang lebih besar. Jumlah kendaraan telah meningkat empat kali lipat, sedangkan kapasitas jalan hanya bertambah 35 persen. Pelabuhan utama di Indonesia, meski beroperasi dalam kapasitas penuh, tetap kesulitan mengatasi peningkatan lalu lintas peti kemas. Padahal, kapasitas penuh tersebut hanya seperlima dari kapasitas pelabuhan di Singapura. Konsumsi listrik meningkat dua kali lipat dalam tujuh tahun terakhir dan akan terus meningkat serta butuh investasi besar untuk pembangkit listrik agar dapat memenuhi permintaan.
Di bidang pendidikan, Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam memperluas akses. Namun, sistem pendidikan tampaknya kurang berhasil dalam menyediakan keterampilan yang paling dibutuhkan pengusaha, yaitu keterampilan teknis yang tepat dan perilaku yang diinginkan seperti disiplin, sikap kerja sama, dan kepemimpinan. Pada tingkat dasar, Indonesia kurang beruntung dibandingkan negara berpendapatan menengah lain dan tetangga Asia Timur dalam penilaian belajar, seperti PISA.
Sekitar 50 persen lulusan sekolah menengah akhirnya bekerja di bidang tidak terampil dan berpenghasilan rendah. Hal ini mencerminkan kurangnya keterampilan yang tepat untuk memperoleh pekerjaan yang semestinya. Sekitar 70 persen perusahaan mengaku "sangat sulit" mendapatkan keterampilan yang tepat untuk posisi profesional.
Yang tampaknya diperlukan saat ini adalah sistem jaminan mutu yang efektif untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Dalam bidang terkait, pengurangan nilai pesangon yang tinggi akan mendorong ikatan kontrak yang lebih formal dan mobilitas tenaga kerja yang lebih tinggi.
Keterlibatan pemerintah
Kualitas keterlibatan pemerintah dalam pengaturan pasar adalah bidang dasar ketiga. Pendekatan pemerintah baru-baru ini untuk meningkatkan rantai nilai adalah dengan membuat UU dan mengatur dahulu, kemudian menegosiasikan dengan swasta yang investasinya dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan pemerintah tersebut. Hal ini tak mungkin berhasil. Pendekatan yang dilakukan saat ini adalah mengimplementasikan reformasi untuk mengurangi hambatan administrasi dan regulasi serta memfasilitasi investasi dan perizinan di beberapa sektor.
Namun, pada saat sama, penyusunan peraturan-peraturan melahirkan kebijakan yang sangat berdampak dan mengganggu kementerian tertentu—seperti kebijakan di bidang industri dan perdagangan—sehingga menyebabkan ketidakpastian usaha dan membingungkan investor. Pengalaman internasional menekankan pentingnya transparansi dan seharusnya dengan minimal atau nol keberatan jika kebijakan yang ada memang dimaksudkan untuk menguntungkan banyak orang. Mengatasi kesenjangan di bidang infrastruktur, keterampilan serta regulasi pasar dapat membantu menciptakan kemakmuran dan pekerjaan. Sejauh mana kelompok masyarakat miskin dan rentan menerima manfaatnya bergantung pada kebijakan-kebijakan yang dibuat.
Tantangan bagi Indonesia amat besar. Imbalan yang diterima jika mengambil pilihan yang tepat akan sangat besar dalam pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi lebih dari 7 persen yang dapat menyerap 15 juta tenaga kerja baru yang siap bergabung pada 2020.
Ndiame Diop
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007474094
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar