Merebut kursi parlemen hanya kemenangan awal. Tantangan selanjutnya adalah memenangkan kembali kepercayaan publik yang pupus dan tenggelam diterjang badai korupsi.
Meski diwarnai praktik kecurangan dan rendah tingkat kepercayaannya, Pemilu Legislatif 2014 mampu mengubah komposisi dan konstelasi di parlemen. Parlemen nasional ke depan hampir dapat dipastikan tidak memiliki partai politik dominan. Selain itu, juga terjadi pengurangan jumlah aktor lama hingga kurang dari setengah jumlah kursi. Meski dilingkupi penilaian pesimistis terkait fakta maraknya politik uang di saat pemilu, kondisi parlemen ke depan sedikit memunculkan harapan.
Tiga lini perubahan
Tantangan parlemen baru ke depan untuk membenahi persoalan korupsi di parlemen terdapat pada tiga lini perubahan penting. Pertama, penguatan peran (role) yang bermuara pada peningkatan kinerja. Kedua, penguatan aspek tata kelola (good governance). Ketiga, peningkatan kapasitas kelembagaan dengan terbangunnya berbagai perangkat sistem kontrol dan pencegahan korupsi.
Peran dan kinerja parlemen adalah hal yang paling dinilai oleh publik. Kurangnya pemahaman akan peran akan bermuara pada buruknya kinerja. Dalam konteks individu politisi di parlemen, kinerja berkorelasi positif dengan kapasitas dan kompetensi. Sekadar kaya dan terkenal tidak cukup untuk menjadi anggota parlemen berkinerja baik. Rendahnya pemahaman akan posisi politisi sebagai jabatan publik, biasanya akan memunculkan bibit-bibit koruptor.
Jabatan akan dianggapnya komoditas untuk memaksimalkan keuntungan. Gejala ini tentu tidak pandang usia dan pengalaman, tetapi lebih pada ketahanan (antibodi). Ketahanan ini kemudian diperkuat oleh sistem pencegahan dan kontrol korupsi yang dilingkupi di dalam kode etik anggota parlemen.
Dalam konteks institusi, istilah kinerja (performance) sering dikaitkan dengan persoalan anggaran. Kinerja biasanya dilihat dari efektivitas dan efisiensi anggaran yang mendukung tercapainya manfaat anggaran (value for money). Pada tingkatan kinerja, yang dinilai bukan lagi keluaran (outputs), melainkan kemanfaatannya (outcomes) yang mendukung suatu tujuan strategis. Karena itu, parlemen dituntut memiliki dokumen strategis sebagai rujukan dari pencapaian pelaksanaan tiga fungsi utamanya, yaitu fungsi membuat undang-undang (legislasi), fungsi penganggaran (budgeting), serta fungsi pengawasan anggaran dan kebijakan.
Selama ini kinerja parlemen dinilai rendah bukan hanya karena parlemen tak sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya, melainkan belum menunjukkan aspek kemanfaatan dari kerja-kerjanya kepada publik. Sebagai institusi, parlemen memiliki posisi strategis sebagai fungsi penyeimbang (check and balances) terhadap pemerintah berkuasa. Secara perorangan, akuntabilitas kemanfaatan politisi di parlemen dinilai pada tingkatan basis pemilih (dapil).
Posisi strategis parlemen selama ini belum begitu kuat dan terlihat publik. Parlemen cenderung menjadi sekadar alat legitimasi bagi pemerintah dalam mendukung fungsi pemerintahan. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, misalnya, parlemen cenderung menjadi alat pembahas RUU usulan pemerintah yang jumlahnya sangat banyak. Bayangkan, parlemen dalam lima tahun harus menyelesaikan target Program Legislasi Nasional sebanyak 247 RUU, termasuk 124 RUU limpahan dari periode sebelumnya. Wajar saja jika kualitas legislasi rendah, banyak yang tumpang tindih, tambal sulam, bahkan copy paste. Terkait tujuan strategis, parlemen gagal menjelaskan kepada publik, masalah bangsa apa yang diselesaikan dengan produksi ratusan UU di setiap periodenya.
Fungsi anggaran
Pelaksanaan fungsi anggaran dan pengawasan juga setali tiga uang. Meski telah memiliki badan anggaran dan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), parlemen belum mampu menekan secara signifikan kebocoran anggaran dalam APBN dan APBD.
Padahal, dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan diserahkan kepada parlemen setiap semester anggaran. Kajian BAKN atas audit BPK jarang ditindaklanjuti untuk membangun sistem pencegahan korupsi anggaran di pemerintahan. Terjerat oleh kedekatan kepentingan komisi-komisi di parlemen dengan mitra kerjanya di pemerintahan.
Di sisi yang lain, fungsi anggaran tidak efektif memperbaiki pelayanan. Aspirasi rakyat lewat perencanaan berjenjang (musrenbang) tidak bersahut. Parlemen seakan patuh pada panduan plafon dan usulan anggaran pemerintah yang teknokratis, berulang, dan inkremental. Belum terlihat politik anggaran parlemen yang dekat dengan kepentingan rakyat. Akibatnya, anggaran yang sedikit diperebutkan oleh segelintir politisi lewat calo anggaran yang berujung kasus korupsi.
Terkait tata kelola, parlemen baru dipandang berhasil dalam meningkatkan transparansi. Hal ini juga didukung oleh peraturan DPR. Yang masih harus diciptakan adalah perluasan partisipasi publik. Harus lebih banyak mekanisme pelibatan publik dalam memberi masukan, pengaduan, dan mengawasi pelaksanaan tiga fungsi utama parlemen. Selama ini partisipasi di parlemen masih dipandang elitis.
Sistem kontrol etika penyelenggaraan lembaga parlemen juga harus ditinjau kembali. Badan Kehormatan DPR seharusnya lebih responsif terhadap progres penegakan hukum korupsi di penegak hukum dan tidak bergantung pada laporan masyarakat. Peran fraksi dan elite parpol juga penting dalam mengontrol kinerja dan perilaku politisi. Lemahnya kontrol partai politik terhadap politisi terbukti menjadi akar dari skandal korupsi di parlemen. Partai harus mampu membuat program politik untuk membangun pencitraan. Bukan malah memburu rente korupsi dari kebijakan politik dan secara sadar merusak citra politisi dan parlemen.
Ibrahim Fahmy Badoh
Direktur Program Transparency International Indonesia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007043934
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar